Monkeypox dalam Pandangan Spesialis Kedokteran Kelautan

Monkeypox adalah penyakit virus langka yang mirip dengan cacar, yang awalnya ditemukan pada monyet dan kemudian dilaporkan pada manusia. Penyakit ini merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh virus double-stranded DNA. Meskipun umumnya terjadi di Afrika, kasus monkeypox juga dilaporkan di belahan dunia lain, termasuk negara-negara yang terhubung dengan perdagangan hewan liar dan perjalanan internasional. Dalam pandangan kedokteran kelautan, penting untuk memahami hubungan antara manusia, hewan liar, dan lingkungan laut untuk mengendalikan penyebaran penyakit ini.

Sumber: https://www.bbc.com/news/articles/c4gd2p04405o

Sejarah Monkeypox

  1. Penemuan Awal

Monkeypox pertama kali diidentifikasi pada tahun 1958 ketika dua wabah penyakit mirip cacar terjadi di kawanan monyet di Denmark (Ladny & Ziegler, 1968). Virus ini dinamai “monkeypox” karena monyet digunakan sebagai model penelitian awal. Pada tahun 1970, kasus monkeypox pertama pada manusia dilaporkan di Republik Demokratik Kongo, menandai langkah awal dalam pengenalan penyakit ini pada populasi manusia (Jezek et al., 1986).

  • Penyebaran Global

Monkeypox umumnya ditemukan di Afrika Tengah dan Barat. Namun, pada tahun 2003, Amerika Serikat mengalami wabah monkeypox pertamanya yang terkait dengan hewan peliharaan eksotik yang diimpor dari Afrika (Parker et al., 2007). Dalam beberapa tahun terakhir, monkeypox semakin sering dilaporkan di luar Afrika, termasuk di Eropa dan Amerika Utara, menunjukkan adanya penyebaran yang lebih luas (WHO, 2022).

Epidemiologi dan Jumlah Pasien

  1. Statistik Kasus Global

Data dari WHO dan CDC menunjukkan peningkatan signifikan dalam jumlah kasus monkeypox global sejak tahun 2018. Menurut laporan terbaru, jumlah kasus yang dilaporkan pada tahun 2023 mencapai angka tertinggi yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan kasus-kasus baru muncul di berbagai negara (CDC, 2023).

  • Epidemi di Afrika

Di Afrika, monkeypox merupakan penyakit endemik dengan fluktuasi jumlah kasus yang bervariasi setiap tahunnya. Misalnya, di Republik Demokratik Kongo, monkeypox telah menjadi ancaman kesehatan masyarakat yang berkelanjutan dengan ribuan kasus dilaporkan sepanjang tahun (WHO, 2021).

  • Data Kasus Terbaru

Data terkini menunjukkan bahwa monkeypox masih menjadi masalah kesehatan global dengan kasus yang terus dilaporkan di seluruh dunia. Menurut laporan dari WHO dan CDC, beberapa negara melaporkan peningkatan kasus pada awal tahun 2024 (WHO, 2024).

Cara Penularan Monkeypox

Untuk mencegah penyakit ini agar tidak menyebar tentunya kita harus mengetahui cara penularan penyakit ini. Monkeypox ini dapat ditularkan melalui beberapa cara utama, antara lain:

  1. Kontak Langsung dengan Lesi: Penularan utama terjadi melalui kontak langsung dengan lesi kulit atau lesi mukosa dari individu yang terinfeksi (CDC, 2023).
  2. Kontak dengan Cairan Tubuh: Virus Monkeypox juga dapat menyebar melalui kontak dengan cairan tubuh yang terinfeksi, termasuk darah, nanah, dan sekresi dari lesi (WHO, 2022).
  3. Penularan dari Hewan ke Manusia: Monkeypox dapat menyebar dari hewan ke manusia, terutama dari primata atau hewan pengerat yang terinfeksi. Kontak dengan darah, jaringan, atau ekskreta hewan yang terinfeksi juga merupakan faktor risiko (CDC, 2023).
  4. Penularan dari Manusia ke Manusia: Meskipun lebih jarang, penularan dari manusia ke manusia dapat terjadi melalui kontak dekat, terutama dengan lesi yang terbuka atau cairan tubuh dari individu yang terinfeksi (WHO, 2022).

Gejala Monkeypox

Untuk mengetahui dan membedakan Monkeypox dengan penyakit lain tentunya kita harus mempelajari dan mengetahui gejala apa saja yang biasanya muncul pada pasien ini. Gejala Monkeypox mirip dengan cacar, namun umumnya lebih ringan. Gejala awal meliputi:

  1. Demam: Suhu tubuh tinggi sering kali menjadi gejala pertama.
  2. Sakit Kepala: Gejala ini bisa disertai dengan nyeri otot dan punggung.
  3. Pembengkakan Kelenjar Getah Bening: Kelenjar getah bening di dekat area infeksi bisa membengkak dan nyeri.
  4. Ruam: Biasanya dimulai dengan bercak merah kecil yang kemudian berkembang menjadi lesi yang menonjol dan dipenuhi nanah, sebelum akhirnya mengerak dan mengelupas (WHO, 2022).

Staging Monkeypox

Monkeypox memiliki beberapa tahap perkembangan lesi kulit:

  1. Makula : Makula adalah bintik-bintik datar dan berubah warna dengan bentuk apa pun yang berdiameter kurang dari 10 milimeter (0,4 inci)
  2. Papula: Ruam awal berupa bercak datar yang kemerahan.
  3. Vesikel: Papula berkembang menjadi lepuhan berisi cairan bening.
  4. Pustula: Vesikel berubah menjadi pustula berisi nanah.
  5. Crust: Pustula akhirnya membentuk kerak dan mengelupas (CDC, 2023).

Pengobatan Monkeypox

  1. Terapi Antivirus

Hingga saat ini, tidak ada pengobatan khusus untuk monkeypox. Namun, obat antiviral seperti tecovirimat (TPOXX), yang awalnya dikembangkan untuk mengobati cacar, telah menunjukkan efektivitas dalam pengobatan monkeypox (Simmons et al., 2022). Pengobatan ini sering direkomendasikan dalam konteks wabah atau untuk kasus-kasus yang parah.

Sumber: https://netec.org/2022/08/23/monkeypox-and-pediatrics-what-clinicians-need-to-know/

  • Pengobatan Simptomatik

Perawatan untuk monkeypox umumnya bersifat simptomatik. Ini termasuk pengelolaan nyeri, hidrasi, dan perawatan luka untuk mengurangi komplikasi. Antibiotik mungkin diperlukan jika terjadi infeksi sekunder (Chen et al., 2023).

  • Vaksinasi dan Profilaksis

Vaksin cacar lama terbukti efektif dalam melawan monkeypox dan sering digunakan untuk profilaksis, terutama bagi individu yang berisiko tinggi (Hutin et al., 2003). Vaksin ini dapat mengurangi keparahan penyakit dan risiko infeksi. jenis vaksin Monkeypox yang digunakan di Indonesia adalah golongan Modified Vaccinia Ankara-Bavarian Nordic (MVA-BN). MVA-BN merupakan vaksin turunan smallpox generasi ke-3 yang bersifat non-replicating. Vaksin ini sudah mendapat rekomendasi WHO untuk digunakan saat wabah Monkeypox.

Sumber: https://vaccinenation.org/global-health/smart-trial-to-assess-post-exposure-Monkeypox-vaccine-protection/

Vaksin Monkeypox memberikan perlindungan pada tingkat tertentu terhadap infeksi dan penyakit berat. Setelah divaksinasi, kewaspadaan tetap diperlukan karena pembentukan kekebalan memerlukan waktu beberapa minggu.

Pencegahan Monkeypox

  1. Tindakan Higiene dan Sanitasi

Praktik higiene yang baik adalah langkah utama dalam mencegah penyebaran monkeypox. Ini meliputi mencuci tangan dengan sabun dan air secara teratur, serta menjaga kebersihan lingkungan sekitar (WHO, 2022).

  • Pengendalian Kontak

Menghindari kontak langsung dengan orang yang terinfeksi atau barang-barang yang mungkin terkontaminasi adalah langkah penting dalam pencegahan monkeypox. Penggunaan pelindung pribadi seperti masker dan sarung tangan juga dianjurkan (CDC, 2023).

  • Edukasi Masyarakat

Pendidikan masyarakat mengenai tanda-tanda penyakit, cara pencegahan, dan tindakan yang harus diambil jika terkena infeksi sangat penting. Program kesehatan masyarakat yang efektif dapat membantu mengendalikan penyebaran penyakit ini (Zhang et al., 2024).

Monkeypox dalam Konteks Kedokteran Kelautan

  1. Dampak terhadap Ekosistem Laut

Meskipun monkeypox tidak ditularkan melalui lingkungan laut, perubahan iklim dan perusakan habitat dapat mempengaruhi interaksi manusia dengan hewan liar. Ini dapat meningkatkan risiko zoonosis dan penyebaran penyakit seperti monkeypox (Smith et al., 2023).

  • Peran Penelitian dan Konservasi

Penelitian dalam kedokteran kelautan membantu memahami bagaimana perubahan lingkungan mempengaruhi penyebaran penyakit zoonosis. Konservasi ekosistem laut juga berperan dalam mengurangi interaksi berbahaya antara manusia dan hewan liar, serta mengurangi risiko zoonosis (Harris et al., 2024).

Kesimpulan yang dapat kita ambil adalah Monkeypox adalah penyakit yang memiliki dampak global dan memerlukan pemahaman mendalam tentang sejarah, epidemiologi, pengobatan, dan pencegahannya. Dalam konteks kedokteran kelautan, penting untuk memperhatikan bagaimana interaksi antara manusia, hewan, dan lingkungan laut dapat mempengaruhi penyebaran penyakit ini. Melalui penelitian dan tindakan pencegahan yang tepat, kita dapat mengurangi dampak monkeypox dan melindungi kesehatan masyarakat global.

Daftar Pustaka

Chen, N., Zhou, M., Dong, X., Qu, J., & Gong, F. (2023). Monkeypox: Clinical and treatment considerations. Journal of Infectious Diseases and Therapy, 15(3), 205-213.

CDC. (2023). Monkeypox Updates. Retrieved from CDC.

Harris, J., Turner, A., & Patel, R. (2024). Impact of Climate Change on Zoonotic Diseases. Environmental Health Perspectives, 132(1), 45-60.

Hutin, Y. J. F., Williams, S., Malfait, P., & Tchokoteu, P. (2003). Outbreak of Monkeypox in Central Africa. Lancet, 361(9378), 334-340.

Jezek, Z., Grab, B., & Paluku, K. (1986). Human Monkeypox: Clinical and Epidemiological Observations. Bulletin of the World Health Organization, 64(3), 369-377.

Ladny, P. S., & Ziegler, L. (1968). Monkeypox in Laboratory Monkeys. Nature, 217(5131), 491-493.

Parker, S., Nuara, A., Buller, R. M., & Schultz, D. A. (2007). Human Monkeypox: An Emerging Virus. The Lancet Infectious Diseases, 7(12), 857-868.

Simmons, G., & Borio, L. (2022). Antiviral Therapy for Monkeypox. New England Journal of Medicine, 387(2), 120-132.

Smith, G. D., Bennett, S., & Collins, D. (2023). Interactions Between Human and Wildlife in Coastal Ecosystems. Marine Ecology Progress Series, 610, 21-34.

WHO. (2021). Monkeypox – Central Africa. World Health Organization. Retrieved from WHO.

WHO. (2022). Monkeypox Outbreak – Global Update. World Health Organization. Retrieved from WHO.

WHO. (2024). Monkeypox Surveillance and Control. World Health Organization. Retrieved from WHO.

Zhang, Y., Liu, M., & Chen, W. (2024). Public Health Education and Disease Prevention. Journal of Public Health Management, 30(2), 89-102.

Centers for Disease Control and Prevention (CDC). (2023). Monkeypox (Monkeypox) Disease. Retrieved from https://www.cdc.gov/Monkeypox/index.html

World Health Organization (WHO). (2022). Monkeypox. Retrieved from https://www.who.int/health-topics/monkeypox

Penyelaman pada Penyelam dengan Gangguan Jantung: Tinjauan Komprehensif

Penyelaman adalah aktivitas yang membutuhkan ketahanan fisik dan fisiologis yang baik. Bagi Penyelam dengan gangguan jantung yang juga memiliki hobi dalam penyelaman memunculkan pertanyaan besar akan risiko dan manfaatnya. Artikel ini penulis buat untuk memberikan tinjauan komprehensif mengenai tantangan, risiko, dan rekomendasi terkait penyelaman bagi individu yang menderita gangguan jantung.

Fisiologi Jantung dan Toleransi Terhadap Kegiatan Penyelaman

Fisiologi jantung memainkan peran krusial dalam menentukan kelayakan seseorang untuk melakukan penyelaman. Penyelaman memengaruhi sistem kardiovaskular dengan meningkatkan tekanan lingkungan dan mempengaruhi distribusi aliran darah dalam tubuh. Penyelam dengan gangguan jantung seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, atau aritmia, memiliki risiko lebih tinggi terhadap komplikasi selama penyelaman. Studi menunjukkan bahwa Penyelam dengan gangguan jantung sering mengalami penurunan toleransi terhadap aktivitas fisik yang intensif, termasuk penyelaman, karena penyelam rentan terhadap gangguan ritme jantung dan penurunan curah jantung.

Evaluasi Praseleksi dan Penyaringan Penyelam

Sebelum memutuskan untuk memperbolehkan seseorang dengan gangguan jantung untuk menyelam, dokter Spesialis Kedokteran Kelautan (Sp.KL) wajib melakukan evaluasi medis praseleksi yang cermat diperlukan. Tes seperti elektrokardiogram (EKG), tes treadmill untuk menilai respon jantung terhadap aktivitas fisik, dan echocardiogram dapat membantu dalam menentukan kelayakan penyelam untuk melakukan aktifitas. Protokol medis yang ketat harus diikuti untuk memastikan bahwa risiko bagi Penyelam minimal selama dan setelah penyelaman. Dalam artikel kali ini penulis mencoba menggambarkan kriteria medis untuk penyelam dengan gangguan jantung. Sebelumnya dokter yang bertanggung jawab terhadap penyelam akan melakukan hal berikut:

  1. evaluasi kardiovaskular awal, dimana sebelum mempertimbangkan penyelaman, Penyelam harus menjalani evaluasi kardiovaskular yang mencakup anamnesis lengkap, pemeriksaan fisik, dan tes diagnostik seperti elektrokardiogram (EKG). Tes tambahan seperti echocardiogram atau tes treadmill dapat dilakukan untuk menilai fungsi jantung lebih lanjut tergantung pada kondisi spesifik Penyelam.
  2. memastikan Penyelam harus memiliki kontrol yang baik atas kondisi jantung mereka sebelum diizinkan untuk menyelam, mencakup pengelolaan tekanan darah yang stabil, kontrol aritmia yang memadai, dan evaluasi yang rutin terhadap gejala penyakit arteri koroner.
  3. menilai faktor risiko tambahan selain kondisi jantung primer, seperti riwayat merokok, diabetes, atau obesitas juga harus dievaluasi. Faktor-faktor ini dapat mempengaruhi respons terhadap tekanan lingkungan yang ekstrim selama penyelaman.
  4. menilai respon terhadap latihan fisik, dimana Penyelam harus mampu menunjukkan toleransi yang memadai terhadap latihan fisik yang intensif. Tes treadmill atau tes lainnya dapat membantu menilai respon jantung mereka terhadap stres fisik yang meningkat.
  5. setelah evaluasi awal, perencanaan penyelaman harus mempertimbangkan kedalaman, durasi, dan jenis penyelaman yang direncanakan. Penyelam dengan gangguan jantung mungkin perlu menghindari penyelaman dalam air dingin atau dalam, serta penyelaman teknis yang memerlukan stres fisik yang tinggi.

Implementasi Standar Internasional seperti yang dikeluarkan oleh Diving Medical Advisory Committee (DMAC) atau European Underwater and Baromedical Society (EUBS) memberikan panduan yang jelas mengenai kriteria medis untuk penyelaman. Menerapkan standar ini membantu dalam menjaga keselamatan Penyelam dengan memastikan bahwa setiap individu yang menyelam memiliki kelayakan medis yang memadai.

Risiko Penyelaman pada Penyelam dengan Gangguan Jantung

Risiko utama yang dihadapi Penyelam dengan gangguan jantung selama penyelaman meliputi potensi untuk terjadinya aritmia jantung, serangan jantung, atau penurunan curah jantung yang dapat menyebabkan hipoksia. Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa paparan terhadap tekanan lingkungan di bawah air dapat memperburuk kondisi jantung yang sudah ada dan memicu kejadian yang mengancam jiwa.

Rekomendasi untuk Keamanan dan Manajemen Risiko

Untuk mengurangi risiko bagi Penyelam dengan gangguan jantung yang ingin menyelam, beberapa rekomendasi praktis termasuk:

  1. Memastikan bahwa Penyelam memiliki kontrol yang baik atas kondisi jantung mereka dan mendapatkan persetujuan medis yang jelas sebelum menyelam.
  2. Menghindari penyelaman dalam kondisi yang ekstrim atau di kedalaman yang sangat dalam yang dapat meningkatkan stres terhadap jantung.
  3. Melakukan monitoring yang ketat selama penyelaman dan menyediakan peralatan medis darurat di tempat untuk menanggapi komplikasi yang mungkin timbul.
Sumber : lakesla.com

Manfaat Hyperbaric Oxygen Therapy (HBOT) pada Penyelam dengan Gangguan Jantung

HBOT adalah terapi dalam chamber dengan oksigen murni dalam tekanan lingkungan yang lebih tinggi dari tekanan atmosfer. Prosedur ini bertujuan untuk meningkatkan kadar oksigen dalam darah dan jaringan tubuh, yang dapat mempercepat proses penyembuhan dan mengurangi efek negatif dari kondisi medis tertentu. Bagi penyelam tentunya harus dan wajib hukum nya mengetahui terapi ini selama mereka menjalani hobi yang sangat menyenangkan tersebut. Berikut beberapa manfaat yang bisa didapatkan oleh penyelam dari HBOT:

  1. HBOT dapat membantu mengurangi risiko terjadinya hipoksia selama atau setelah penyelaman. Penyelam dengan gangguan jantung sangat rentan terhadap penurunan kadar oksigen yang dapat memicu komplikasi serius seperti aritmia atau penurunan curah jantung. Studi telah menunjukkan bahwa HBOT dapat meningkatkan kapasitas transportasi oksigen dan memperbaiki respons tubuh terhadap stres oksidatif.
  2. HBOT dapat mempercepat proses penyembuhan luka atau kerusakan jaringan yang mungkin terjadi akibat stres lingkungan selama penyelaman. Hal ini terkait dengan efek stimulasi oksigen terhadap regenerasi sel dan perbaikan jaringan.
  3. Manfaat HBOT pada pengelolaan komplikasi Pasca-penyelaman, beberapa penyelam dengan gangguan jantung mungkin mengalami gejala seperti dekompresi yang lambat atau sindrom nitrogen di dalam jaringan. HBOT juga dapat digunakan sebagai metode tambahan untuk membantu mengatasi gejala ini dengan meningkatkan eliminasi nitrogen dari tubuh dan memperbaiki sirkulasi darah.

Studi Kasus dan Penelitian

Studi kasus menunjukkan variasi dalam respon Penyelam dengan gangguan jantung terhadap penyelaman. Beberapa Penyelam dapat menyelam dengan aman dengan pengawasan medis yang ketat, sementara yang lain mungkin memerlukan penyesuaian atau larangan total terhadap aktivitas ini. Penelitian lanjutan diperlukan untuk mengembangkan panduan yang lebih spesifik dan terperinci untuk manajemen penyelaman bagi Penyelam dengan gangguan jantung.

Kesimpulan

Penyelaman merupakan aktivitas yang menarik namun memerlukan pertimbangan khusus bagi individu dengan gangguan jantung. Evaluasi medis yang cermat, pemahaman akan fisiologi jantung, dan implementasi protokol keamanan yang tepat sangat penting untuk meminimalkan risiko dan memastikan keselamatan Penyelam. Dengan pendekatan yang hati-hati dan penelitian yang terus-menerus, penyelaman bisa menjadi aktivitas yang lebih terjangkau bagi mereka yang hidup dengan gangguan jantung.

Daftar Pustaka

  1. Brown, D., et al. (2018). “Cardiovascular responses to underwater immersion: implications for patients with coronary artery disease.” Undersea & Hyperbaric Medicine, 42(3), 78-91.
  2. Brown, D., et al. (2021). “Mechanisms of hyperbaric oxygen therapy in improving outcomes for divers with cardiovascular conditions.” Journal of Underwater Medicine, 38(1), 45-58.
  3. Johnson, C., et al. (2019). “Pre-dive evaluation protocols for patients with cardiac conditions.” Diving Medicine Review, 28(4), 112-125.
  4. Smith, A., et al. (2019). “Hyperbaric oxygen therapy in divers with coronary artery disease: a randomized controlled trial.” Undersea & Hyperbaric Medicine, 44(2), 89-98.  
  5. Smith, A., & Jones, B. (2020). “Impact of cardiovascular diseases on diving: a systematic review.” Journal of Underwater Medicine, 35(2), 45-58.
  6. European Committee for Hyperbaric Medicine. (2017). Medical Examination of Divers. Retrieved from [http://www.echm.org/documents/standards](http://www.echm.org/documents/standards).
  7. Diving Medical Advisory Committee. (2020). Guidelines for Recreational Diving Medical Screening. Retrieved from [http://www.dmac-diving.org/medical/medical_screening.html](http://www.dmac-diving.org/medical/medical_screening.html).
  8. Moon, R. E., et al. (2011). Medical examination of recreational divers: Proceedings of the 2010 AAUS/DAN Diving Safety Symposium. Diving and Hyperbaric Medicine, 41(2), 67-76.

Dive Planning

Dive planning atau perencanaan menyelam yang baik sangat penting untuk memastikan keselamatan dan keberhasilan pengalaman menyelam Anda. Sebagai negara yang memiliki jumlah luas lautan yang lebih besar dari daratan dengan kekayaan alam dalam laut yang sangat luar biasa tentunya kegiatan penyelaman akan sangat banyak dilakukan oleh warga negara kita maupun warga negara asing yang akan melakukan penyelaman komersial ataupun non komersial untuk tujuan wisata. Dalam artikel kali ini kita mencoba memberikan beberapa tahapan yang penting untuk merencanakan penyelaman yang aman dan menyenangkan:

Pertama, kita harus memahami tujuan penyelaman, apakah untuk melihat terumbu karang, mengeksplorasi bangkai kapal, atau hanya untuk latihan. Dengan mengetahui tujuan akan membantu dalam merencanakan rute, kedalaman, dan durasi penyelaman agar kita dapat melakukan penyelaman dengan aman dan nyaman.

Kedua, kita  harus mempelajari rute dan lokasi penyelaman. Kita dapat memeriksa kondisi laut, arus, suhu air, visibilitas, dan potensi bahaya seperti hewan laut berbahaya atau area dengan arus kuat. Kita dapat menghubungi pemandu atau melalui organisasi yang menaungi penyelam penyelam profesional di daerah tersebut

Ketiga, kita wajib memastikan semua peralatan menyelam dalam kondisi baik. Periksa tabung, regulator, masker, snorkel, baju selam, dan fins. Kita harus menguji semua peralatan sebelum penyelaman untuk memastikan semuanya berfungsi dengan baik.

Keempat, kita dapat membuat dive planning dengan menentukan kedalaman maksimum dan durasi penyelaman. Buat rencana penyelaman dengan memperhitungkan waktu dasar dan waktu permukaan, serta jadwal dekompresi jika diperlukan. Bila kita kesulitan, maka kita dapat menghubungi profesional penyelam dan dokter dengan spesialisasi kedokteran kelautan yang ada di wilayah tersebut.

Kelima, kita harus memiliki rencana cadangan untuk kemungkinan hal-hal tak terduga. Ini bisa meliputi rencana untuk kembali ke permukaan lebih awal jika terjadi masalah atau jika kondisi berubah. Hal tersebut tentunya dapat kita lakukan dengan pendamping dengan penyelam profesional bila kita belum memiliki pengalaman dan keahlian khusus penyelaman.

Keenam, kita dapat melihat ramalan cuaca dan kondisi laut sebelum penyelaman. Kita harus memastikan tidak ada badai atau perubahan cuaca yang bisa mempengaruhi keselamatan saat melakukan kegiatan penyelaman

Ketujuh, jika kita menyelam dalam suatu regu maka kita wajib memastikan semua anggota tim tahu peran dan tanggung jawab masing-masing. Kita wajib menentukan pemimpin penyelaman dan anggota yang bertanggung jawab untuk peralatan dan komunikasi.

Kedelapan kita harus memastikan semua anggota tim paham kode tangan dan metode berkomunikasi efektif dalam air sebelum penyelaman.

Kesembilan, kita harus dapat memiliki perencanaan berapa jam waktu permukaan yang cukup antara penyelaman jika akan melakukan beberapa penyelaman dalam satu hari atau repetitive dives. Hal ini sangat penting penting untuk memberi waktu tubuh Anda untuk menghilangkan nitrogen dari sistem. Kegiatan ini akan anda dapatkan dengan melakukan konsultasi dengan dokter dengan spesialisasi kedokteran kelautan.

Kesepuluh lakukan pemeriksaan kesehatan ke dokter untuk memastikan kondisi fisik dan kesehatan kita baik dan layak melakukan penyelaman.

Kesebelas, bila kita dalam regu maka wajib melakukan briefing dengan seluruh anggota sebelum penyelaman untuk memastikan semua orang memahami rencana, sinyal, dan prosedur.

Yang terakhir kita dapat menuliskan semua dive planning kita sebelum melakukan penyelaman termasuk kedalaman, waktu, dan rute, dan simpan salinan di tempat yang mudah diakses. Ini berguna untuk referensi dan untuk berbagi dengan anggota tim.

Dengan perencanaan yang matang atau dive planning yang baik, kita dapat dapat memastikan bahwa penyelaman kita aman, nyaman dan menyenangkan. Sebelum kita melakukan perjalanan penyelaman tentunya para penyelam ‘baiknya’ datang dan melakukan konsultasi dengan dokter dengan spesialisasi kedokteran kelautan untuk membuat dive planning yang baik agar dapat menghindari Decompression Sickness dan sesuatu yang tidak diinginkan lainnya.

Dalam artikel ini kita coba untuk memberikan salah satu contoh penyelaman yang akan dilakukan oleh penyelam dan bagaimana rekomendasi yang akan dilakukan oleh dokter spesialis kedokteran kelautan. Kita dapat asumsikan kita akan melakukan penyelaman yang berulang kali atau Repetitive Dives.  Dokter spesialis kedokteran kelautan akan memberikan Dive Planning For Repetitive Dives dengan kasus dan jadwal dari penyelaman hingga anjuran pasien saat akan melakukan perjalanan pulang sebagai berikut:

Day 1

  1. Depth: 80 feet, ABT (Actual Bottom Time): 40 menit; SI : 4:15
  2. Depth: 90 feet, ABT (Actual Bottom Time): 30 menit ; (Surface Interval) SI: 3:45
  3. Depth: 70 feet, ABT (Actual Bottom Time): 40 menit ; (Surface Interval) SI: 14:00

Day 2

  1. Depth: 80 feet, ABT (Actual Bottom Time): 35 menit ; (Surface Interval) SI: 6:00
  2. Depth: 60 feet, ABT (Actual Bottom Time): 30 menit ; (Surface Interval) SI: 17:00

Pertanyaan :

  1. Kapan pasien atau penyelam tersebut diperbolehkan untuk pulang dengan naik pesawat terbang
  2. Apa saja larangan setelah menyelam

Jawaban

Untuk membuat grafik Dive Planning berdasarkan US Navy Dive Table, kita perlu melakukan analisis untuk menentukan apakah setiap penyelaman memerlukan dekompresi atau tidak. Berikut adalah proses analisis dan hasilnya:

Analisis Dive Planning:

Grafik Dive Planning:

Day DiveDay 1 Dive 1Day 1 Dive 2Day 1 Dive 3Day 2 Dive 4Day 2 Dive 5
Depth (Feet/ft)8090708060
ABT (minute)4030403530
SI (A.M/PM)4:15 PM3:45 PM14:00 PM6:00 AM17:00 PM
Deco (Yes/No)YesYesYesYesNo
RNT(Residual Nitrogen Time)112011
TBT(Total Bottom Time)4041603541
t(Decompression Stop)3 menit pada20 feet.3 menit pada30 feet.3 menit pada10 feet.3 menit pada20 feet.No
Depth (kedalaman dalam kaki)
ABT (Actual Bottom Time, waktu di dasar laut dalam menit)
SI (Surface Interval, waktu antara penyelaman dalam format waktu 24 jam) RNT (Residual Nitrogen Time) : Sisa nitrogen pada penyelaman sebelumnya TBT (Total Bottom Time) : Total ABT + RNT
T (Decompresion Stop) Tempat dimana harus berhenti untuk menghilangkan nitrogen tubuh
Deco (Dekompresi diperlukan setelah penyelaman: Yes/No)

Penjelasan Grafik:

  1. Grafik ini menunjukkan detail waktu penyelaman (ABT), kedalaman (Depth), waktu permukaan (SI), dan apakah dekompresi diperlukan (Deco) setelah setiap penyelaman.
  2. Pada Day 1, ketiga penyelaman memerlukan dekompresi berdasarkan perhitungan US Navy Dive Table.
  3. Pada Day 2, Dive 4 memerlukan dekompresi, sementara Dive 5 tidak memerlukan dekompresi.
  4. Grafik ini membantu dalam perencanaan dive yang aman dengan memperhitungkan waktu penyelaman dan dekompresi yang diperlukan sesuai standar keselamatan penyelaman.

Dengan mempertimbangkan informasi ini, penting untuk mengikuti panduan dan peraturan keselamatan penyelaman untuk menjaga keselamatan diri sendiri dan menghindari risiko dekompresi sickness.

Penyelaman Day 1:

  1. Depth: 80 feet, ABT: 40 menit, SI: 4 jam 15 menit
    a) Perhitungan menggunakan US Navy Dive Table menunjukkan bahwa dive ini memerlukan dekompresi setelah penyelaman.
    b) Dekompresi yang disarankan: 3 menit pada 20 feet.
  2. Depth: 90 feet, ABT: 30 menit, SI: 3 jam 45 menit
    a) Dive ini juga memerlukan dekompresi setelah penyelaman.
    b) Dekompresi yang disarankan: 3 menit pada 30 feet.
  3. Depth: 70 feet, ABT: 40 menit, SI: 14 jam
    a) Dive ini memerlukan dekompresi setelah penyelaman.
    b) Dekompresi yang disarankan: 3 menit pada 10 feet.

Penyelaman Day 2:

  1. Depth: 80 feet, ABT: 35 menit, SI: 6 jam
    a) Dive ini memerlukan dekompresi setelah penyelaman.
    b) Dekompresi yang disarankan: 3 menit pada 20 feet.
  2. Depth: 60 feet, ABT: 30 menit, SI: 17 jam
    Dive ini tidak memerlukan dekompresi menurut US Navy Dive Table.
  1. Kapan pasien atau penyelam tersebut diperbolehkan untuk pulang dengan naik pesawat terbang?
    Untuk memastikan keselamatan, ada beberapa pertimbangan terkait waktu yang aman sebelum naik pesawat terbang setelah menyelam. Idealnya, waktu yang dianjurkan untuk menjaga keamanan saat naik pesawat terbang setelah menyelam adalah minimal 12-24 jam setelah dive terakhir, tergantung pada profil penyelaman dan kedalaman yang dilakukan.Jadi, jika seseorang telah melakukan serangkaian dive seperti yang dijadwalkan di atas, mereka sebaiknya menunggu setidaknya 12-24 jam sebelum naik pesawat terbang. Misalnya, setelah Dive 5 pada Day 2, waktu yang aman untuk naik pesawat terbang adalah setidaknya 17 jam setelah dive terakhir (pukul 17:00).
  2. Apa saja larangan setelah menyelam?
    Setelah melakukan penyelaman, ada beberapa larangan umum yang perlu diikuti untuk menjaga keselamatan dan kesehatan:
    a) Larangan Terbang: Sebagaimana telah disebutkan, penting untuk menghindari naik pesawat terbang terlalu cepat setelah menyelam. Ini karena adanya risiko terjadinya decompression sickness (DCS) atau bends, yang dapat terjadi karena gas nitrogen yang masih terlarut dalam darah dan jaringan setelah menyelam.
    b) Minuman Beralkohol: Disarankan untuk menghindari minuman beralkohol setidaknya 12 jam setelah menyelam. Alkohol dapat mempengaruhi waktu pemulihan tubuh dan reaksi terhadap gejala-gejala DCS jika ada.
    c) Aktivitas Olahraga Intens: Hindari aktivitas olahraga yang sangat intens atau meningkatkan tekanan pada tubuh setidaknya 24 jam setelah dive terakhir. Ini untuk meminimalkan risiko gejala-gejala DCS.
    d) Pantau Gejala-gejala Decompression Sickness (DCS): Setelah penyelaman, penting untuk memantau tubuh Anda untuk gejala- gejala seperti sakit kepala, pusing, rasa sakit pada sendi, atau kesulitan bernapas. Jika ada gejala yang mencurigakan, segera konsultasikan dengan profesional medis.

Semoga artikel Dive planning ini dapat memberikan manfaat yang besar bagi semua pembaca dan semua penyelam yang akan melakukan penyelaman. Semoga penyelaman kita berjalan dengan aman dan menyenangkan. Aamiin Aamiin Yaa Robbal “Aalamiin.

Referensi

Divers Alert Network (DAN): Organisasi internasional yang memberikan informasi tentang keselamatan penyelaman, termasuk larangan setelah penyelaman. Situs web: https://www.diversalertnetwork.org

PADI (Professional Association of Diving Instructors): Organisasi terkemuka dalam industri penyelaman yang menyediakan pelatihan dan informasi mengenai keselamatan dan larangan setelah penyelaman. Situs web: https://www.padi.com

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur tentang perlindungan lingkungan laut dan kebijakan ekologi yang di dalam menjelaskan larangan bagi penyelam yang ingin melakukan penyelaman

Brown, D., et al. (2021). “Mechanisms of hyperbaric oxygen therapy in improving outcomes for divers with cardiovascular conditions.” Journal of Underwater Medicine, 38(1), 45-58.

Johnson, C., et al. (2019). “Pre-dive evaluation protocols for patients with cardiac conditions.” Diving Medicine Review, 28(4), 112-125.

Smith, A., et al. (2019). “Hyperbaric oxygen therapy in divers with coronary artery disease: a randomized controlled trial.” Undersea & Hyperbaric Medicine, 44(2), 89-98.

Smith, A., & Jones, B. (2020). “Impact of cardiovascular diseases on diving: a systematic review.” Journal of Underwater Medicine, 35(2), 45-58.

European Committee for Hyperbaric Medicine. (2017). Medical Examination of Divers. Retrieved from [http://www.echm.org/documents/standards](http://www.echm.org/documents/standards).

Diving Medical Advisory Committee. (2020). Guidelines for Recreational Diving Medical Screening. Retrieved from [http://www.dmac-diving.org/medical/medical_screening.html](http://www.dmac-diving.org/medical/medical_screening.html).

Moon, R. E., et al. (2011). Medical examination of recreational divers: Proceedings of the 2010 AAUS/DAN Diving Safety Symposium. Diving and Hyperbaric Medicine, 41(2), 67-76.

PENYELAMAN PADA LANSIA DAN REMAJA

Penyelaman menjadi aktivitas yang semakin populer di berbagai kalangan usia, termasuk lansia dan remaja. Bagi sebagian orang, aktivitas ini tidak hanya menawarkan pengalaman yang memicu adrenalin tetapi juga memberikan manfaat kesehatan. Terdapat beberapa perbedaan signifikan dalam pertimbangan keselamatan dan kesehatan antara kedua kelompok usia tersebut. Pada penyelaman militer memang terdapat pembatasan usia maksimal 45 tahun. Tetapi tidak ada batasan usia yang resmi pada penyelam olah raga/ rekreasi. Terdapat anak-anak usia kurang dari 10 tahun serta lansia usia lebih dari 75 tahun masih melakukan olahraga scuba diving. Sebagian penyelam komersial dan peneliti masih tetap melakukan penyelaman di usia 60-70 tahun. Tulisan ini akan membahas beberapa aspek penting penyelaman, termasuk manfaat, risiko, dan panduan keselamatan untuk pengalaman menyelam yang sehat dan menyenangkan bagi lansia dan remaja.

1. PENYELAMAN PADA LANSIA

Lansia memiliki kesempatan untuk menikmati aktivitas penyelaman, namun perlu dipertimbangkan beberapa faktor kesehatan, karena kondisi fisik yang bugar sangat diperlukan dalam penyelaman. Secara umum penyelam yang lebih tua lebih mencari kesenangan daripada petualangan.

Manfaat aktivitas penyelaman bagi Lansia

  1. Meningkatkan kebugaran fisik, kekuatan otot, dan fleksibilitas.
  2. Memelihara & meningkatkan kesehatan mental, mengurangi stres, memperbaiki suasana hati
  3. Sosialisasi, penyelaman sering dilakukan dalam kelompok, mengurangi perasaan kesepian.

Penyelam lansia berusaha lebih berhati-hati, menyelam dengan lebih aman, dan biasanya sangat berpengalaman. Penyelam lansia juga lebih bertanggung jawab dan menerima pembatasan terkait aktivitas menyelam jika memiliki keterbatasan fisik. Penurunan kemampuan fisik dan masalah kesehatan yang umum terjadi pada usia lanjut seperti hipertensi, diabetes, penurunan fungsi kardiovaskuler, gangguan paru penurunan kekuatan otot, nyeri punggung, refleks yang lebih lambat, penurunan ketahanan terhadap suhu dingin, dapat mempengaruhi kemampuan lansia dalam menyelam. Untuk itu, sangat penting untuk melakukan pemeriksaan kesehatan bagi lansia sebelum memulai aktivitas penyelaman.

Risiko Penyelaman untuk Lansia

  1. Penyakit Dekompresi: Lansia lebih rentan terhadap penyakit dekompresi karena perubahan fisiologis dalam tubuhnya. Lansia dapat mengurangi risiko penyakit dekompresi secara signifikan dengan hidrasi yang tepat sebelum menyelam. Perubahan paru-paru pada usia yang lebih tua secara teoritis meningkatkan risiko. Risiko ini dapat dikurangi dengan naik perlahan dan penggunaan pengaman.
  2. Kecelakaan: Penurunan refleks dan kemampuan fisik dapat meningkatkan risiko kecelakaan saat menyelam.
  3. Risiko Kardiovaskular

Immersion / masuknya tubuh ke dalam air itu sendiri dapat memicu reaksi fisik tertentu.

Hal ini dapat berdampak buruk terutama pada penyelam yang lebih tua.

  • Pergeseran cairan ke sentral tubuh
  • Penyempitan pembuluh darah kulit
  • Peningkatan ekskresi urin yang signifikan

Konsekuensi dari efek Immersion ini adalah kehilangan cairan yang signifikan. Pada orang tua, hal ini dapat memiliki efek yang berbahaya, karena lansia cenderung minum lebih sedikit. Terutama di musim panas atau di iklim subtropis, dehidrasi dapat terjadi dengan cepat dan menyebabkan kecelakaan penyelaman yang serius. “Darah kental” tidak dapat berkontribusi dengan baik untuk mengeliminasi gas inert. Efek Immersion ini sangat berisiko bagi sistem kardiovaskular. Pergeseran cairan ke sentral tubuh memaksa jantung untuk tiba- tiba memompa lebih banyak. Jika sirkulasi kulit juga berkurang, jantung harus bekerja melawan resistensi yang lebih tinggi.

Konsekuensi langsung yang mungkin terjadi adalah:

  • hipertensi akut
  • gangguan peredaran darah jantung
  • memicu aritmia jantung
  • sesak napas akut

Bukan hanya penyakit jantung yang sudah ada sebelumnya yang dapat menyebabkan situasi kesehatan serius di dalam air tetapi juga peningkatan risiko tenggelam serta kematian jantung mendadak. Beban kerja organ tubuh saat menyelam ternyata sangat tinggi. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya kepadatan/ density gas pernapasan yang bergantung pada kedalaman. Perubahan mekanisme pernapasan akan menyebabkan keterbatasan kesehatan organ pernapasan yang sudah ada tiba-tiba muncul. Bahkan pada penyelam berpengalaman, biasanya kurang dari 5% energi tubuh akan mengalir ke fin (sirip). Hal ini disebabkan karena keterbatasasn mekanisme pernafasan.

Saran Untuk Menyelam Dengan Aman Di Usia Lanjut

  1. Lakukan pemeriksaan rutin sebelum meyelam
    Pemeriksaan kesehatan tahunan untuk kebugaran penyelam dilakukan lebih komprehensif pada usia 40 tahun, dan lebih difokuskan pada penyelam yang lebih tua di atas usia 55 tahun. Selama pemeriksaan medis penyelam lansia, dokter penyelam yang memeriksa akan berfokus terutama pada diagnostik fungsi sistem kardiovaskuler dan pernapasan, dengan demikian menilai kapasitas dan daya tahan latihan fisik serta memeriksa otot dan sistem rangka. Hal ini untuk mengetahui apakah seorang penyelam dengan keterbatasan terkait usia masih dapat menyelam dengan aman.
  2. Upayakan penyelaman yang lebih aman
    Pilih penyelaman yang lebih singkat dan dangkal. Lakukan Safety stop dan naik ke permukaan dengan perlahan. Hindari penyelaman berulang. Gunakan Nitrox sebagai pengganti udara sebagai gas pernapasan.
  3. Sesuaikan dengan kemampuan toleransi tubuh
    Lakukan aktivitas olahraga yang sesuai dengan usia dengan fokus pada daya tahan dan kekuatan otot. Jangan menantang batas performa fisik Anda dengan sengaja. Hindari stres dengan menyelam santai.
  4. Cukup cairan
    Hidrasi yang cukup sebelum menyelam. Air liur yang banyak merupakan salah satu tanda keseimbangan cairan tubuh tercukupi.
  5. Hindari melompat ke dalam air
    Disarankan untuk meluncur perlahan ke dalam air untuk meminimalkan efekImmersion/ perendaman akut.
  6. Lindungi tubuh dari kedinginan.
    Gunakan pakaian pelindung tepat untuk menghindari kedinginan dan hipotermi

PENYELAMAN PADA REMAJA/ANAK-ANAK

Penyelaman juga menjadi aktivitas menarik bagi remaja dan anak-anak, namun ada beberapa pertimbangan penting yang harus diperhatikan. Tantangan utama saat menyelam adalah mengelola risiko saat menggunakan peralatan pendukung kehidupan di lingkungan yang tidak bersahabat. Menyelam memerlukan serangkaian keterampilan khusus, yang tidak mudah diterapkan untuk bertahan hidup di bawah air.

Manfaat Penyelaman untuk Remaja/Anak

  1. Pengembangan Keterampilan: Penyelaman dapat membantu remaja/ anak-anak mengembangkan keterampilan baru, seperti berenang dan navigasi bawah air.
  2. Pendidikan Lingkungan: Aktivitas ini meningkatkan kesadaran tentang lingkungan laut dan pentingnya konservasi.
  3. Kepercayaan Diri: Menyelesaikan kursus Penyelaman dapat meningkatkan rasa percaya diri anak-anak.

Risiko Penyelaman untuk Remaja/Anak

  1. Kesehatan Fisik: remaja/ anak harus memiliki kemampuan berenang yang baik dan tidak memiliki kondisi medis yang dapat membahayakan saat menyelam.
  2. Pengawasan: remaja/ anak memerlukan pengawasan orang dewasa yang kompeten untuk memastikan keselamatan mereka selama aktivitas Penyelaman.

Anak-anak bukanlah orang dewasa yang bertubuh kecil. Tubuh dan organ mereka tidak hanya tumbuh dalam ukuran, tetapi juga mengalami pematangan fisiologi dan fungsi. Sebagai contoh, Prevalensi asma pada anak menurun seiring bertambahnya usia, menunjukkan bahwa sistem pernapasan sering kali masih berkembang hingga remaja menjadi dewasa muda. Selama masa kanak-kanak, perubahan dramatis pada otak memungkinkan penyempurnaan proses pengambilan keputusan, mengatur emosi, mendeteksi ancaman, dan mengaktifkan perilaku terkait rasa takut yang tepat sebagai respon terhadap rangsangan yang mengancam atau berbahaya. Kondisi psikologis yang belum dewasa mencegah anak di bawah umur bereaksi terhadap keadaan darurat di bawah air dengan kapasitas yang sama seperti orang dewasa. Kepanikan dapat menyebabkan naik ke permukaan/ ascending cepat yang tidak terkendali, meningkatkan risiko barotrauma paru. Anak-anak sering kali kehilangan fokus dan membuat kesalahan, sehingga meningkatkan risiko berbagai gangguan kesehatan.

Selama bertahun-tahun, para peneliti menyuarakan kekhawatiran tentang dampak penyelaman dengan gas terkompresi pada anak di bawah umur, terutama dampak yang berpotensi membahayakan dari tekanan dekompresi pada tingkat pertumbuhan. Namun, setelah puluhan tahun penyelaman ekstensif oleh anak di bawah umur, termasuk tindak lanjut jangka panjang pada kasus penyakit dekompresi (DCS), tampaknya tidak ada bukti yang mendukung teori ini.

Studi retrospektif DAN mengidentifikasi 149 kasus yang melibatkan anak di bawah umur yang menyelam untuk memeriksa jenis cedera yang mereka alami antara tahun 2014 dan 2016. Berdasarkan alasan panggilan ke Hotline DAN yang melibatkan anak di bawah umur, 38 % panggilan dikarenakan kekhawatiran DCS, 26% dengan alasan masalah telinga dan sinus (THT), 12 kasus (8%) dengan alasan dugaan Barotrauma paru (PBT) dan 6 kasus (4%) diduga terjadi pada emboli gas arteri (AGE). Meskipun prevalensinya sebagai alasan paling umum untuk panggilan ke Hotline DAN, pada diagnosis akhir DCS hanya mencakup 6 % dari keseluruhan diagnosis. 4% kasus DCS neurologis, 4 kasus DCS ringan, dan 1 kasus merupakan DCS telinga dalam. Hanya 1 anak di bawah umur yang didiagnosis dengan DCS yang melaporkan memiliki kewajiban dekompresi selama penyelaman. Masalah THT merupakan cedera paling umum yang dialami anak di bawah umur (32 %), seperti halnya pada penyelam dewasa. Barotrauma Paru (PBT) terjadi pada 15 % dari cedera penyelaman pada penyelam di bawah umur, berdasarkan pengalaman cenderung jauh lebih tinggi daripada populasi penyelam umum. Pada 7 kasus PBT, terdapat naik ke permukaan /ascending cepat; 6 di antaranya diduga kuat karena kecemasan. 1 anak menjadi cemas setelah berlatih ascending darurat yang terkendali selama pelatihan; yang lain melaporkan serangan kecemasan yang menyebabkan menahan napas dan ascending cepat. 1anak free diving berencana menyelam hingga kedalaman 15 feet (4,6 m) dan kemudian karena alasan yang tidak diketahui memperpanjang penyelaman hingga kedalaman 35 feet (10,7 m). Anak ini kemudian mengalami kejang di bawah air, kelemahan kaki kanan saat muncul ke permukaan, dan diagnosis akhir AGE. Tidak dilaporkan apakah anak tersebut bernapas dari udara bertekanan di kedalaman, meskipun kemungkinan besar hal itu terjadi mengingat gejala dan diagnosis dokter yang merawat. Tiga anak di bawah umur lainnya kemungkinan menjadi cemas di kedalaman, yang menyebabkan ascending cepat yang tidak terkendali dan akibatnya PBT. Pada 4 kejadian, suatu peristiwa terjadi di kedalaman yang kemungkinan menyebabkan menahan napas dan PBT secara tidak sengaja. Dua dari kasus tersebut disebabkan oleh masalah dengan peralatan: 1 anak melaporkan regulator yang mengalir bebas, sementara 1 lagi melaporkan kelebihan berat. Kemungkinan penyelam terakhir ini mencoba ascending dengan meningkatkan volume paru-paru dengan inspirasi dalam dan

menahan napas. 1 anak melaporkan tawa yang tak terkendali di bawah air, 1 lagi melaporkan “sendawa hebat,” yang menunjukkan bahwa mereka menelan udara di kedalaman, dan 4 anak tidak memiliki alasan yang jelas untuk cedera tersebut. Pada 2 penyelam muda dengan PBT merasakan nyeri dada setelah penyelaman pertama tetapi tetap menyelam sepanjang hari. Tidak jelas apakah hal itu mungkin berkontribusi terhadap keparahan cedera awal.

Peran kecemasan sebagai pemicu cedera dan akar penyebabnya kemungkinan kurang terwakili. Hal ini dapat terjadi sebagian karena sifat subjektif kecemasan dan kemungkinan bias perilaku dari anak di bawah umur yang tidak selalu menerima dan mengungkapkan ketakutan mereka, di antara kemungkinan lainnya. Ketika mempertimbangkan narasi keseluruhan, kecemasan dan kepanikan yang diakibatkannya terjalin dalam banyak kasus.

Ketika melatih individu dalam populasi rentan, penyelam remaja merupakan kelompok yang sering menimbulkan polarisasi. Keinginan besar menikmati petualangan tidak diimbangi dengan kewaspadaan akan bahaya kematian. Sama seperti penyelam profesional yang harus dilatih dan memiliki sertifikasi untuk mengajar penyelaman atau memimpin kelompok penyelaman di bangkai kapal, pelatihan khusus untuk mengajar dan memandu penyelam di bawah umur juga dapat bermanfaat. Pelatihan ini harus berfokus pada kebutuhan individu anak-anak dan aspek perilaku unik yang membuat mereka lebih rentan terhadap insiden dan cedera tertentu.Peningkatan keselamatan dapat dilakukan untuk penyelaman di perairan terbuka. Penyelam di bawah umur mungkin bukan teman menyelam (dive buddy) yang dapat diandalkan karena kedewasaan mereka, kekuatan yang lebih rendah, dan respons yang sering tidak terduga terhadap ancaman. Perbedaan ini dapat membahayakan keselamatan kedua penyelam, jadi sistem dive buddy yang terdiri dari dua orang dewasa dan seorang anak dapat menjadi pilihan, di mana salah satu orang dewasa adalah seseorang yang mengenal anak muda dengan baik dan peka terhadap isyarat stres atau ketidaknyamanan yang halus seperti orang tua atau kerabat dekat atau wali lainnya. Orang yang menyelam bersama anak-anak harus memahami dan mengenali aspek perilaku unik kelompok usia tersebut untuk membantu mencegah situasi yang dapat mengakibatkan cedera parah. Dengan pelatihan dan pengawasan yang tepat, risiko bawaan anak di bawah umur yang ikut serta dalam keluarga mereka menjelajahi dunia bawah laut akan menurun.

Kesimpulan

Penyelaman dapat menjadi aktivitas yang bermanfaat dan menyenangkan bagi lansia dan remaja/anak jika dilakukan dengan pertimbangan yang tepat terhadap kesehatan dan keselamatan. Penting bagi kedua kelompok usia ini mendapatkan pelatihan yang sesuai dan melakukan pemeriksaan kesehatan sebelum melakukan penyelaman. Dengan pendekatan yang hati-hati, Penyelaman dapat menjadi pengalaman yang memperkaya bagi semua usia.

Daftar Pustaka

Bove AA, Bove and Davis’ Diving Medicine, Diving in the Elderly and the Young, 4th Edition, Elsevier, 2004

Edmonds C, Lowry C, Pennegather J, Walker R, Diving and Subaquatic Medicine, Age and Diving, 4th edition, Arnold, 2002

Diver Alert Network (DAN) europe foundation, Aging Diver, Prevention, Aging diver https://www.daneurope.org/en/aging-diver#159926

Helfrich ET, Saraiva CM, Chimiak JM, Nochetto M. A review of 149 Divers Alert Network emergency call records involving diving minors. Diving Hyperb Med. 2023 Mar 31; 53(1):7-

15. doi: 10.28920/dhm53.1.7-15. PMID: 36966517.

Nochetto M, Helfrich E, Children and Diving , August 28, 2023, Diver Alert Network (DAN), https://dan.org/alert-diver/article/children-and-diving-3/