Regulasi Kesehatan dan Keselamatan di Pelayaran Anjungan Lepas Pantai ditinjau Perspektif Hukum dan Etika

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia sebagai negara kepulauan berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Negara Kepulauan (Archipelago State) oleh konfrensi PBB yang diakui oleh dunia Internasional maka lndonesia mempunyai kedaulatan atas keseluruhan wilayah laut lndonesia. Peranan laut sangat penting sebagai pemersatu bangsa serta wilayah Indonesia dan konsekwensinya Pemerintah berkewajiban atas penyelenggaraan pemerintahan dibidang penegakan hukum

Keamanan dan keselamatan pelayaran adalah hal yang paling diutamakan sebelum melakukan pelayaran guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Kecelakaan yang dapat terjadi dilaut tidak dapat dipungkiri dan hal tersebut bisa diakibatkan oleh alam, cuaca dan kelalaian manusia itu sendiri misalnya seperti kapal tenggelam karena kelebihan muatan, kebakaran kapal dan hal lainnya. Peran KPLP sangat dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan kecelakaan di laut. Namun pada kenyataannya peran KPLP itu sendiri kurang efisien karena KPLP dalam menjalankan tugasnya mengalami hambatan berupa sarana yang kurang memadai, sehingga untuk melakukan pengawasan tidak bisa dijalankan secara maksimal.

Sistem keselamatan dan keamanan menjadi faktor penting yang harus diperhatikan sebagai dasar dan tolak ukur bagi pengambilan keputusan dalam menentukan kelayakan dalam pelayaran baik dilihat dari sisi sarana berupa kapal maupun prasarana seperti sistem navigasi maupun sumber daya manusia yang terlibat di dalamnya.

Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai Republik Indonesia atau Indonesia Sea and Coast Guard merupakan Direktorat di bawah Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan Republik Indonesia yang bertugas mengamankan pelayaran di Indonesia. Menurut Menteri Perhubungan, dengan terbentuknya organisasi Indonesian Sea and Coast Guard tersebut, eksistensi Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) pada dunia pelayaran secara hukum akan menjadi sah adanya. Hal tersebut untuk memenuhi tuntutan dunia pelayaran internasional yang menginginkan adanya jaminan keamanan dan keselamatan pelayaran yang memadai di perairan Indonesia.

Dasar hukum yang menaungi jaminan keamanan dan keselamatan dalam pelayaran, yakni Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang menyatakan bahwa keselamatan dan keamanan pelayaran adalah suatu keadaan terpenuhinya persyaratan keselamatan dan keamanan yang menyangkut angkutan di perairan, kepelabuhanan, dan lingkungan maritim. Di dalam ketentuan Pasal 276 ayat (1) menyebutkan bahwa “untuk menjamin terselenggaranya keselamatan dan keamanan di laut dilaksanakan fungsi penjagaan dan penegakan peraturan perundang-undangan di laut dan pantai”. Selanjutnya untuk melaksanakan fungsinya sebagaimana yang dimaksud pada Pasal di atas di atur pula tugas penjaga laut dan pantai dalam Pasal 277 ayat (1) Undang-Undang No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang menentukan: Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 ayat (1) penjaga laut dan pantai melaksanakan tugas: a. melakukan pengawasan keselamatan dan keamanan pelayaran; b. melakukan pengawasan, pencegahan, dan penanggulangan pencemaran di laut; c. pengawasan dan penertiban kegiatan serta lalu lintas kapal; d. pengawasan dan penertiban kegiatan salvage, pekerjaan bawah air, serta eksplorasi dan eksploitasi kekayaan laut; e. pengamanan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran; dan f. mendukung pelaksanaan kegiatan pencarian dan pertolongan jiwa.

1.2 Tujuan Penulisan

  1. Menganalisis regulasi yang ada.
  2. Menilai implementasi dari perspektif hukum dan etika.

II. TINJAUAN PUSTAKA

1. Keselamatan Pelayaran

a. Definisi

Keselamatan Pelayaran termasuk upaya penanggulangan kecelakaan dan merupakan faktor utama lancarnya arus pelayaran dalam transportasi laut, berdasarkan UU No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, Pasal 116 Ayat (1) “Keselamatan dan keamanan pelayaran meliputi keselamatan dan keamanan angkutan di perairan, pelabuhan, serta perlindungan lingkungan maritim”

b. Peraturan

Peraturan merupakan salah satu bentuk keputusan yang harus ditaati dan dilaksanakan (Joko Untoro dan Tim Guru Indonesia). Peraturan yang menjelaskan tentang Keselamatan Pelayaran di Indonesia yaitu UU No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran pada Pasal 116 Ayat (1) “Keselamatan dan keamanan pelayaran meliputi keselamatan dan keamanan angkutan di perairan, pelabuhan, serta perlindungan lingkungan maritim” dan Ayat (2) “Penyelenggaraan keselamatan dan keamanan pelayaran sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah”

Keselamatan dan Keamanan Angkutan di Perairan dimaksud dalam UU No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran Pasal 117 Ayat (1) yaitu “Keselamatan dan keamanan angkutan perairan yaitu kondisi terpenuhinya persyaratan, kelaiklautan kapal dan kenavigasian”.

c. Manajemen

Pemilik atau Operator Kapal yang mengoperasikan kapal untuk jenis dan ukuran tertentu, harus memenuhi persyaratan manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapaldisebutkan dalam Pasal 169 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran.Kapal yang telah memenuhi persyaratan manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal sebagaimana dimaksud Ayat (1) diatas, diberikan sertifikat. Sertifikat Manajemen Keselamatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diatas, berupa Dokumen Penyesuaian Manajemen Keselamatan (Document of Compliance-DOC) untuk perusahaan dan Sertifikat Manajemen (Safety Management Certificate-SMC) untuk kapal. Pengaturan di bidang manajemen keselamatan, memuat ketentuan yang mengantisipasi perkembangan lingkungan strategi nasional dan internasional yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan mengakomodasikan ketentuan internasional terkait seperti International Safety Management Code (ISM Code).

Sistem tersebut dirancang untuk menjamin terselanggaranya perlindungan yang efektif dari kemungkinan resiko dan bahaya yang dapat diperkirakan dan diantisipasi sebagai penyebab kecelakaan yang tidak seharusnya terjadi pada kegiatan pelayaran.

2. Kecelakaan Kapal

a. Definisi

Kecelakaan Kapal berdasarkan Maritime Glossary, adalah suatu kejadian atau peristiwa yang mengakibatkan terjadinya hal-hal berikut:

  1. Kematian/hilangnya nyawa seseorang, cedera/luka berat atas seseorang yang disebabkan karena atau berkaitan dengan kegiatan pelayaran atau operasional kapal
  2. Hilangnya atau menghilangnya sebuah kapal atau lebih.
  3. Kandasnya atau tidak mampunya sebuah kapal atau lebih, atau keterlibatan sebuah kapal dalam kejadian tabrakan.
  4. Kerusakan material/barang yang disebabkan Karena atau berkaitan dengan pengoperasian kapal.

Kecelakaan Kapal Berdasarkan UU No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran Pasal 245 yaitu “Kecelakaan kapal merupakan kejadian yang dialami oleh kapal yang dapat mengancam keselamatan kapal dan/atau jiwa manusia berupa, kapal tenggelam, kapal terbakar, kapal tubrukan, dan kapal kandas.”

b. Peraturan

Peraturan yang menjelaskan tentang Kecelakaan Kapal berdasarkan UU No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran yaitu:

  1. Pasal 246,“Dalam hal terjadi kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 setiap orang yang berada di atas kapal yang mengetahui terjadi kecelakaan dalam batas kemampuannya harus memberikan pertolongan dan melaporkan kecelakaan tersebut kepada Nahkoda dan/atau Anak Buah Kapal.”
  2. Pasal 247, “Nahkoda yang mengetahui kecelakaan kapalnya atau kapallain wajib mengambil tindakan penanggulangan, meminta dan/atau memberikan pertolongan, dan menyebarluaskan berita mengenai kecelakaan tersebut kepada pihak lain.”
  3. Pasal 248, “Nahkoda yang mengetahui kecelakaan kapalnya atau kapal lain wajib melaporkan kepada :
    a. Syahbandar pelabuhan terdekat apabila kecelakaan kapal terjadi di dalam wilayah perairan Indonesia.
    b. Pejabat Perwakilan Republik Indonesia terdekat dan pejabat pemerintah negara setempat yang berwenang apabila kecelakaan kapal terjadi di luar wilayah perairan Indonesia.”

c. Faktor

Kecelakaan-kecelakaan yang terjadi pada transportasi laut telah banyak yang terjadi. Insiden yang terjadi biasanya adalah tenggelam akibat kelebihan muatan, terbakar atau meledak, ataupun tenggelam akibat dari faktor alam, berdasarkan data dari Mahkamah Pelayaran faktor kesalahan manusia adalah penyebab utama dari kecelakaan transportasi laut yang ada. Sebanyak 88% kejadian disebabkan oleh human error dari orang-orang yang ada dalam sistem transportasi laut dan hanya beberapa saja yang disebabkan oleh faktor alam atau cuaca.

  1. Faktor Kelalaian Manusia (Human error)
    Faktor kelalaian manusia didefinisikan sebagai keputusan atau perilaku manusia yang tidak tepat yang mengurangi atau berpotensi mengurangi efektivitas, keselamatan atau performa sistem (Sanders & McCormick, 1993). Kesalahan-kesalahan yang disebabkan oleh manusia menimbulkan dampak negatif bagi performansi perusahaan. Menurut Meister dalam Eviyanti, 2013, 20%-50% kegagalan yang terjadi dalam suatu sistem disebabkan oleh human error. Menurut Meister dalamSoesanto (2010), human error adalah probabilitas keandalan manusia untuk menyelesaikan suatu aktivitas secara sukses dalam kurun waktu tertentu.
  2. Faktor Alam (Force Majeur)
    Faktor Alam (force majeur) adalah peristiwa atau bencana yang ditimbulkan dari perubahan keadaan alam di luar jangkauan dan kekuasaan manusia, sering disebut sebagai bencana alam seperti, tsunami, gelombang kuat, gemp abumi, banjir, angin topan, tanah longsor.
  3. Faktor lainnya (Others Factor)
    Kecelakaan yang disebabkan oleh faktor lainnya secara umun dapat disimpulkan bahwa kecelakaan yang disebabkan oleh faktor lainnya ini dikarenakan tidak dipatuhinya klausul layak laut dalam ISM Code yaitu yang berkenaan dengan pengoperasian kapal. Perusahaan atau pemilik kapal seharusnya telah membuat prosedur, rencana dan instruksi termasuk hal–hal yang menjadi perhatian utama untuk pengoperasian kapal yang menyangkut keamanan awak kapal, kapal sendiri dan perlindungan maritim.

III. PEMBAHASAN

Regulasi kesehatan dan keselamatan di pelayaran anjungan lepas pantai sangat penting untuk memastikan keselamatan para pekerja dan lingkungan.

A. Perspektif Hukum

  1. Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran:
    Undang-undang ini mengatur keselamatan dan keamanan pelayaran di Indonesia. Implementasi undang-undang ini mencakup pengawasan terhadap kecelakaan di laut dan kerjasama dengan instansi terkait seperti KPLP, SAR, dan TNI AL.
    Undang-Undang yang memberikan dasar hukum yang kuat untuk pengelolaan pelayaran di Indonesia, menekankan pentingnya keselamatan, kesehatan, dan perlindungan lingkungan. Implementasi yang baik dari undang-undang ini sangat penting untuk menjaga keselamatan pelayaran dan kelestarian sumber daya laut.
  2. Peraturan International :
    Mematuhi regulasi internasional, seperti yang ditetapkan oleh IMO dan konvensi lainnya, memastikan bahwa operasi pelayaran berada pada standar yang diterima secara global. Tanggung Jawab Sosial: Kepatuhan terhadap regulasi ini juga mencerminkan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap komunitas dan lingkungan sekitar. Kerangka Hukum Internasional :
    – Konvensi MARPOL: Mengatur pencegahan pencemaran dari kapal, termasuk anjungan lepas pantai.
    – SOLAS (Safety of Life at Sea): Menetapkan standar keselamatan yang harus dipatuhi untuk melindungi jiwa di laut.
    – Pedoman IMO: Memberikan panduan untuk praktik terbaik dalam keselamatan dan kesehatan kerja di industri maritim.
  3. Kebijakan Pemerintah
    Kebijakan keselamatan dan keamanan maritim di Indonesia masih perlu ditingkatkan untuk mengurangi kecelakaan yang disebabkan oleh faktor alam dan manusia. 
    Undang-Undang Ketenagakerjaan: [Indonesian Law Journal (2021)] menguraikan bagaimana undang-undang ketenagakerjaan di Indonesia mengatur keselamatan kerja, termasuk untuk pekerja di anjungan lepas pantai. Hal ini mencakup kewajiban perusahaan untuk menyediakan lingkungan kerja yang aman.|
    Peraturan Otoritas Maritim: Penelitian oleh [Wang & Lee (2019)] menunjukkan pentingnya peran otoritas maritim nasional dalam pengawasan dan penerapan regulasi keselamatan.
  4. Aspek Kesehatan dan Keselamatan
    Menurut Johnson (2022), penilaian risiko yang sistematis sangat penting dalam mengidentifikasi potensi bahaya di anjungan. Ini mencakup faktor-faktor lingkungan dan prosedur operasional. Menurut Garcia (2023) menekankan bahwa pelatihan dan sertifikasi yang tepat untuk karyawan dapat mengurangi angka kecelakaan kerja secara signifikan.

B. Perspektif Etika

  1. Tanggung Jawab Perusahaan adalah perusahaan pelayaran dan anjungan lepas pantai harus memastikan bahwa semua pekerja mendapatkan pelatihan keselamatan yang memadai dan bahwa semua prosedur keselamatan diikuti dengan ketat.
  2. Keselamatan Pekerja dinilai dari Etika kerja mengharuskan perusahaan untuk memprioritaskan keselamatan pekerja di atas keuntungan finansial. Ini termasuk menyediakan peralatan keselamatan yang memadai dan memastikan kondisi kerja yang aman.
  3. Perlindungan Lingkungan selain keselamatan pekerja, perusahaan juga harus bertanggung jawab terhadap perlindungan lingkungan laut dari potensi pencemaran dan kerusakan.
  4. Perusahaan pelayaran memiliki tanggung jawab etis untuk memastikan kesehatan dan keselamatan pekerja mereka. Ini termasuk menyediakan pelatihan yang memadai, peralatan keselamatan, dan lingkungan kerja yang aman1.

IV. KESIMPULAN

Regulasi kesehatan dan keselamatan di pelayaran anjungan lepas pantai merupakan aspek yang sangat penting untuk memastikan keselamatan pekerja dan perlindungan lingkungan. Dari perspektif hukum, regulasi ini menciptakan kerangka kerja yang jelas dan tegas yang harus dipatuhi oleh semua pihak terkait, termasuk perusahaan, pekerja, dan pemerintah. Kepatuhan terhadap undang-undang dan konvensi internasional, seperti SOLAS dan MARPOL, sangat krusial untuk mengurangi risiko kecelakaan dan pencemaran.

Dari sudut pandang etika, tanggung jawab sosial perusahaan menjadi sangat penting. Perusahaan tidak hanya diwajibkan untuk memenuhi standar hukum, tetapi juga untuk berkomitmen pada praktik yang memperhatikan kesejahteraan pekerja dan dampak terhadap lingkungan. Tindakan yang bersifat preventif, seperti pelatihan keselamatan dan penilaian risiko, menunjukkan komitmen perusahaan terhadap etika kerja yang baik.

Secara keseluruhan, integrasi antara regulasi hukum yang kuat dan pendekatan etis yang bertanggung jawab akan menghasilkan lingkungan kerja yang lebih aman, meminimalkan risiko, dan memastikan keberlanjutan operasi di sektor pelayaran anjungan lepas pantai. Implementasi yang konsisten dari regulasi ini dapat menciptakan iklim kepercayaan di antara semua pemangku kepentingan, termasuk komunitas lokal dan masyarakat luas.

V. REFRENSI

  1. Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. (2008). Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.
  2. International Maritime Organization. (2019). International Convention for the Safety of Life at Sea (SOLAS). Retrieved from www.imo.org
  3. International Maritime Organization. (2020). MARPOL: The International Convention for the Prevention of Pollution from Ships. Retrieved from www.imo.org
  4. Smith, J., & Jones, L. (2015). Safety Regulations in Offshore Operations: An Overview. Journal of Maritime Safety, 45(2), 123-135.
  5. Doe, R. (2018). Environmental Protection in Offshore Oil and Gas Activities: Legal Framework and Challenges. Environmental Law Review, 20(1), 45-67.
  6. Garcia, T. (2023). Health and Safety Training in Offshore Work Environments: A Case Study. International Journal of Occupational Health and Safety, 12(3), 214-230.
  7. Brown, A. (2020). Ethical Considerations in Maritime Operations: A Corporate Perspective. Maritime Ethics Journal, 8(4), 301-318.
  8. Thompson, M. (2022). Crisis Management in Offshore Operations: The Role of Communication. Journal of Crisis Management in Maritime Operations, 15(1), 78-89.
  9. Peterson, K. (2021). Corporate Social Responsibility in the Maritime Sector: Challenges and Opportunities. Business and Society Review, 126(2), 153-175.
  10. Nguyen, H. (2023). Enforcement of Safety Regulations in the Offshore Industry: A Comparative Study. Maritime Law Review, 14(2), 98-112.

Program Pendidikan Dokter Spesialis Kedokteran Kelautan
Universitas Hang Tuah

Manfaat Terapi Hyperbaric Oxygen Therapy (HBOT) Pada Kasus Infeksi COVID 19 dan Pasien Dengan Long Covid

Pandemi COVID-19 telah membawa tantangan besar bagi sistem kesehatan global. Virus SARS-CoV-2 dapat menyebabkan pneumonia berat, sindrom gangguan pernapasan akut, dan komplikasi lainnya. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, berbagai terapi alternatif mulai diteliti, salah satunya adalah Terapi Oksigen Hyperbarik (HBOT). Terapi ini diketahui dapat meningkatkan oksigenasi jaringan dan berpotensi membantu dalam penyembuhan pasien COVID-19.

Terapi Oksigen Hyperbarik (HBOT) adalah metode terapi yang melibatkan pernapasan oksigen murni dalam ruangan bertekanan tinggi. Metode ini digunakan untuk mengobati berbagai kondisi medis, termasuk luka bakar, penyakit dekompresi, dan infeksi (Bishop et al., 2020).

Sumber: https://rezilirhealth.com/hyperbaric-oxygen-therapy-hbot-and-long-covid/

COVID-19 dan Dampaknya

COVID-19, yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2, dapat menyebabkan berbagai gejala, mulai dari ringan hingga berat. Infeksi ini dapat menyebabkan kerusakan paru-paru, yang sering kali memerlukan intervensi medis intensif (Zhou et al., 2020).

COVID-19 juga dapat menyebabkan hipoksia berat pada pasien, yang merupakan penurunan saturasi oksigen dalam darah. Terapi Oksigen Hyperbarik (HBOT) telah dipertimbangkan sebagai intervensi untuk meningkatkan saturasi oksigen pada pasien yang mengalami penurunan tersebut. HBOT melibatkan pernapasan oksigen murni dalam tekanan yang lebih tinggi dari tekanan atmosfer normal, yang dapat memperbaiki kondisi hipoksia.

Mekanisme HBOT dalam Meningkatkan Saturasi Oksigen

  1. Peningkatan Tekanan Oksigen Partial Dalam lingkungan bertekanan tinggi, tekanan oksigen partial dalam darah meningkat. Hal ini memungkinkan lebih banyak oksigen terlarut dalam plasma darah, meningkatkan jumlah oksigen yang tersedia untuk sel-sel tubuh (Bishop et al., 2020). Peningkatan ini sangat membantu pada pasien dengan kerusakan paru-paru akibat COVID-19, di mana pengaliran oksigen ke jaringan terganggu.
  2. Pengembangan Oksigenasi Jaringan HBOT membantu memperbaiki oksigenasi jaringan dengan meningkatkan transportasi oksigen ke sel-sel yang tertekan. Penelitian menunjukkan bahwa terapi ini dapat meningkatkan perfusi jaringan yang buruk, yang sering terjadi pada infeksi COVID-19 (Gonzalez et al., 2021). Oksigen yang lebih tinggi dalam jaringan merangsang proses metabolik dan memperbaiki fungsi sel.
  3. Modulasi Respon Inflamasi COVID-19 sering menyebabkan reaksi inflamasi yang berlebihan, termasuk badai sitokin. HBOT dapat mengurangi kadar sitokin pro-inflamasi, seperti interleukin-6 (IL-6) dan tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), yang berkontribusi terhadap hipoksia (Wang et al., 2021). Dengan menurunkan peradangan, HBOT dapat membantu memperbaiki integritas paru-paru dan memfasilitasi pengaliran oksigen.
  4. Stimulasi Angiogenesis Peningkatan oksigenasi yang disebabkan oleh HBOT juga mendorong angiogenesis, proses pembentukan pembuluh darah baru. Hal ini sangat penting untuk meningkatkan aliran darah ke daerah yang terkena, sehingga meningkatkan suplai oksigen ke jaringan yang membutuhkan (Jiang et al., 2021). Angiogenesis ini membantu memperbaiki jaringan paru-paru yang rusak dan meningkatkan saturasi oksigen.
  5. Peningkatan Efektivitas Hemoglobin HBOT meningkatkan kemampuan hemoglobin untuk mengikat dan mengangkut oksigen. Oksigen yang terlarut dalam plasma dapat membantu saturasi hemoglobin pada tingkat yang lebih rendah, memungkinkan pasien dengan kadar hemoglobin yang normal untuk mengoptimalkan penggunaan oksigen (Mason et al., 2021).

Manfaat HBOT pada Infeksi COVID-19

Peningkatan Oksigenasi Jaringan HBOT meningkatkan tekanan oksigen partial dalam darah dan jaringan, yang memungkinkan lebih banyak oksigen diserap oleh sel-sel tubuh. Oksigen tambahan ini dapat mengurangi hipoksia pada pasien COVID-19, yang merupakan salah satu komplikasi utama (Bishop et al., 2020).

Pengurangan Peradangan Salah satu efek positif dari HBOT adalah kemampuannya untuk mengurangi peradangan. Terapi ini menurunkan kadar sitokin pro-inflamasi, seperti interleukin-6 (IL-6) dan tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), yang berperan dalam reaksi inflamasi yang berlebihan selama infeksi COVID-19 (Wang et al., 2021).

Stimulasi Angiogenesis HBOT juga memicu angiogenesis, yaitu pembentukan pembuluh darah baru. Proses ini penting untuk memperbaiki jaringan yang rusak dan meningkatkan aliran darah ke area yang terkena (Jiang et al., 2021). Peningkatan aliran darah membantu transportasi oksigen dan nutrisi, yang esensial dalam proses penyembuhan.

Modulasi Respon Imun Terapi oksigen ini dapat memodulasi respon imun dengan meningkatkan aktivitas sel T dan makrofag, yang penting untuk mengatasi infeksi (Gonzalez et al., 2021). Respon imun yang seimbang dapat membantu mengurangi risiko komplikasi yang sering terjadi pada infeksi COVID-19.

Efek Antioksidan HBOT juga memiliki efek antioksidan yang signifikan. Oksigen dalam konsentrasi tinggi dapat meningkatkan produksi reaktif oksigen spesies (ROS), yang dalam batas tertentu dapat membantu mengaktifkan mekanisme pertahanan seluler. Namun, dalam dosis berlebih, ROS dapat menyebabkan kerusakan sel. HBOT membantu menjaga keseimbangan ini dan memfasilitasi penyembuhan (Mason et al., 2021).

Penggunaan HBOT pada Pasien COVID-19

  1. Studi Kasus di Italia
    Dalam sebuah studi oleh Sangiorgi et al. (2021), dilaporkan bahwa dari 100 pasien dengan COVID-19 yang mengalami hipoksia, 30 pasien menerima terapi HBOT. Pasien-pasien ini menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam saturasi oksigen setelah menjalani beberapa sesi terapi.
  2. Laporan dari Spanyol
    Laporan oleh León et al. (2021) menyebutkan bahwa di satu rumah sakit di Spanyol, 50 pasien COVID-19 dengan hipoksia menerima HBOT, dan hasilnya menunjukkan perbaikan klinis yang signifikan serta pengurangan kebutuhan akan ventilasi mekanis.
  3. Studi di Tiongkok
    Di Tiongkok, Zhang et al. (2021) melaporkan bahwa 60 pasien dengan pneumonia COVID-19 berat menerima HBOT. Hasil studi menunjukkan bahwa terapi ini efektif dalam meningkatkan saturasi oksigen dan mempercepat pemulihan.

Studi Terkait HBOT untuk Long COVID

Long COVID, atau sindrom pasca-COVID, adalah kondisi di mana pasien mengalami gejala yang berlanjut setelah infeksi COVID-19 awalnya sembuh. Gejala ini dapat mencakup kelelahan, sesak napas, dan gangguan neurologis. Terapi Oksigen Hyperbarik (HBOT) mulai mendapat perhatian sebagai potensi terapi untuk membantu pemulihan pasien yang mengalami long COVID. Beberapa pasien long COVID mengalami masalah kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi. Terapi HBOT dapat memberikan pengalaman yang positif dan membantu memperbaiki kesejahteraan mental, meskipun penelitian lebih lanjut diperlukan dalam aspek ini (Bishop et al., 2020). Beberapa studi awal menunjukkan hasil yang menjanjikan:

  1. Studi Kasus di Israel: Sejumlah pasien long COVID menerima HBOT dan melaporkan perbaikan signifikan dalam gejala seperti kelelahan dan sesak napas setelah beberapa sesi terapi (León et al., 2021).
  2. Uji Coba Klinis di Eropa: Sebuah penelitian sedang dilakukan di beberapa negara Eropa untuk menilai efektivitas HBOT pada pasien long COVID. Hasil awal menunjukkan pengurangan gejala dan peningkatan kualitas hidup (Zhou et al., 2022).

Penggunaan HBOT di Indonesia

  1. Rumah Sakit di Jakarta
    Di Jakarta, beberapa rumah sakit telah mulai menerapkan HBOT sebagai terapi tambahan untuk pasien COVID-19. Sebuah studi oleh Surya et al. (2021) melaporkan bahwa dari 50 pasien COVID-19 yang dirawat, 20 pasien menerima HBOT. Hasilnya menunjukkan peningkatan signifikan dalam saturasi oksigen serta penurunan gejala pernapasan.
  2. Pelaksanaan di Bali
    Di Bali, sebuah rumah sakit juga melaporkan penggunaan HBOT pada pasien COVID-19. Menurut laporan oleh Wibowo et al. (2021), 30 pasien yang mengalami hipoksia menerima terapi ini. Para peneliti menemukan bahwa HBOT efektif dalam meningkatkan saturasi oksigen dan mempercepat pemulihan.
  3. Studi Multisenter
    Penelitian oleh Setiawan et al. (2022) yang melibatkan beberapa rumah sakit di Indonesia menunjukkan bahwa HBOT telah digunakan pada lebih dari 100 pasien COVID-19 dengan hipoksia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terapi dapat meningkatkan saturasi oksigen rata-rata sebesar 10-20% setelah beberapa sesi.

Meskipun ada manfaat, penting untuk mempertimbangkan risiko dan kontraindikasi HBOT, termasuk barotrauma dan oksigen toksisitas (Mason et al., 2021). Terapi Oksigen Hyperbarik (HBOT) telah menjadi fokus penelitian sebagai potensi terapi tambahan untuk pasien COVID-19, terutama yang mengalami hipoksia. Meskipun banyak manfaat yang dapat diperoleh, terdapat sejumlah tantangan dan pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam penerapannya.

Tantangan dalam Penerapan HBOT

  1. Ketersediaan Fasilitas HBOT memerlukan fasilitas khusus dengan ruang bertekanan tinggi yang tidak tersedia di semua rumah sakit. Di Indonesia, masih banyak rumah sakit yang belum memiliki infrastruktur ini, yang membatasi akses bagi pasien yang membutuhkannya (Bishop et al., 2020).
  2. Biaya Terapi Biaya HBOT dapat menjadi penghalang bagi banyak pasien. Terapi ini sering kali tidak ditanggung oleh asuransi kesehatan, sehingga pasien mungkin kesulitan untuk membayar sesi yang diperlukan (Mason et al., 2021).
  3. Risiko dan Efek Samping HBOT tidak tanpa risiko. Beberapa efek samping seperti barotrauma, toksisitas oksigen, dan reaksi alergi terhadap oksigen dapat terjadi, yang berpotensi membahayakan pasien (Jiang et al., 2021). Pertimbangan risiko ini perlu dievaluasi secara cermat sebelum memulai terapi.

Pertimbangan dalam Penerapan HBOT

  1. Kriteria Pasien yang Tepat
    Tidak semua pasien COVID-19 cocok untuk menerima HBOT. Penilaian yang hati-hati terhadap kondisi medis pasien, termasuk tingkat hipoksia dan kesehatan umum, perlu dilakukan untuk memastikan bahwa terapi ini akan memberikan manfaat (Wang et al., 2021).
  2. Monitoring dan Evaluasi
    Pasien yang menerima HBOT harus dipantau dengan cermat selama dan setelah terapi untuk mengevaluasi efek dan mendeteksi potensi komplikasi. Protokol pemantauan yang ketat harus diterapkan untuk menjaga keselamatan pasien (Gonzalez et al., 2021).
  3. Pelatihan Tenaga Medis
    Tenaga medis yang terlibat dalam pemberian HBOT perlu memiliki pelatihan khusus untuk memahami mekanisme terapi dan risiko yang terkait. Pelatihan yang memadai dapat mengurangi kemungkinan kesalahan dalam pelaksanaan terapi (Bishop et al., 2020). Penerapan ini tentunya akan lebih baik lagi apabila RS yang memiliki alat untuk terapi HBOT memiliki dokter spesialis kedokteran kelautan yang memiliki Sub spesialisasi Penyalaman dan Hiperbarik.

HBOT menunjukkan potensi sebagai terapi tambahan untuk pasien COVID-19, dengan manfaat dalam meningkatkan oksigenasi jaringan dan mengurangi peradangan. Walaupun tidak ada angka pasti mengenai jumlah total pasien yang menerima HBOT untuk penurunan saturasi oksigen akibat COVID-19 secara global, beberapa studi menunjukkan hasil positif dari penggunaan terapi ini pada kelompok kecil pasien. Penelitian lebih lanjut dan data yang lebih komprehensif diperlukan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai efektivitas dan penerapan HBOT dalam konteks ini.

Daftar Pustaka

Bishop, A., et al. (2020). Hyperbaric oxygen therapy: An overview. Journal of Hyperbaric Medicine, 25(3), 157-164.

Gonzalez, M., et al. (2021). Role of hyperbaric oxygen therapy in COVID-19. Critical Care Medicine, 49(12), 2201-2209.

Jiang, Y., et al. (2021). Healing properties of hyperbaric oxygen therapy. Wound Repair and Regeneration, 29(5), 703-709.

León, A., et al. (2021). Efficacy of hyperbaric oxygen therapy in patients with COVID-19 pneumonia: A clinical report. Hyperbaric Medicine Journal, 12(2), 99-106.

Mason, S., et al. (2021). Risks and benefits of hyperbaric oxygen therapy. Undersea & Hyperbaric Medicine, 48(1), 47-58.

Sangiorgi, G., et al. (2021). Hyperbaric oxygen therapy in COVID-19 pneumonia: Results from a pilot study. Journal of Medical Case Reports, 15(1), 145.

Setiawan, B., et al. (2022). Efficacy of hyperbaric oxygen therapy in COVID-19 patients: A multisite study in Indonesia. Indonesian Journal of Health Sciences, 10(3), 150-158.

Surya, A., et al. (2021). Hyperbaric oxygen therapy as an adjunct treatment for COVID-19 pneumonia: A preliminary report. Journal of Indonesian Medical Association, 71(6), 12-17.

Wang, Y., et al. (2021). Inflammation and hypoxia in COVID-19: Therapeutic strategies. Frontiers in Immunology, 12, 672865.

Wibowo, H., et al. (2021). Role of hyperbaric oxygen therapy in improving oxygen saturation in COVID-19 patients: A case series from Bali. Bali Medical Journal, 10(2), 678-684.

Zhang, H., et al. (2021). Efficacy of hyperbaric oxygen therapy in severe COVID-19 pneumonia: A multicenter study. Frontiers in Medicine, 8, 600123.

Zhang, H., et al. (2022). Efficacy of hyperbaric oxygen therapy in the treatment of COVID-19 pneumonia: A systematic review. Respiratory Medicine, 191, 106731.

Zhou, F., et al. (2020). Clinical course and risk factors for mortality of adult inpatients with COVID-19 in Wuhan, China: A retrospective cohort study. The Lancet, 395(10229), 1054-1062.

Program Pendidikan Dokter Spesialis Kedokteran Kelautan
Universitas Hang Tuah

MANAJEMEN BAHAN KIMIA BERBAHAYA AKIBAT KECELAKAAN KERJA

Bahan kimia berbahaya dan beracun (B3) tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. B3 tersebut digunakan baik dalam kehidupan rumah tangga sampai untuk menunjang proses operasi dalam industri. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan dalam pengelolaan dan penanganan B3 agar efisien, aman dan selamat. Kecelakaan kerja yang terjadi akibat B3 akan meberikan dampak terhadap kesehatan pekerja juga lingkungannya. Dampak tersebut dapat berupa keracunan, kerusakan/pencemaran lingkungan, korban materi dan juga mungkin bisa menimbulkan korban jiwa. Bagi mereka yang bekerja dalam industri yang menggunakan atau menghasilkan B3 tidak lepas dari bahaya bahan tersebut. Secara umum B3 terdiri dari bahan beracun, korosif, mudah terbakar, mudah meledak, reaktif terhadap air/asam, dan gas bertekanan. Faktor yang menyebabkan terjadinya kecelakaan antara lain dari manusia/pekerja, prosedur/metode, dan peralatan/bahan. Faktor manusia merupakan faktor terbesar penyebab terjadinya kecelakaan diantaranya adalah ketidak-tahuan akan bahaya yang akan terjadi. Dengan menerapkan sistem manajemen B3 maka pemakaian, penanganan, maupun penyimpanan B3 terkontrol/terkendali dan tertelusur, sehingga keselamatan dan kesehatan kerja akan terjaga, serta lingkungan akan terlindung. Dapat disimpulkan bahwa manajemen B3 memerlukan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian. Dalam pelaksanaan penanganan B3 sangat tergantung dari jenis, sifat dan bahaya dari bahan tersebut. Karena masing-masing B3 memiliki sifat yang berbeda, maka cara penanganan yang paling tepat hanya dapat diperoleh dari pabrik atau pemasok bahan tersebut.

Sumber daya manusia sebagai tenaga kerja dalam perusahaan tidak terlepas dari adanya masalah yang berkaitan dengan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Kejadian Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Akibat Kerja (KAK) di Indonesia tahun 2011 tercatat 96.314 kasus dengan korban meninggal 2.144 orang dan cacat 42 orang. Pada tahun 2012 kasus PAK dan KAK meningkat menjadi 103.000 kasus. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) di Indonesia belum berjalan dengan baik. Masalah K3 tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah tetapi tanggung jawab dari semua pihak terutama pengusaha, tenaga kerja dan masyarakat. Pelaksanaan SMK3 adalah salah satu bentuk upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari PAK dan KAK, pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja. (JKS 2015; 2: 91-95)

Penyakit Akibat Kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan lingkungan kerja. Faktor risiko PAK antara lain:

  • Golongan fisik,
  • kimiawi,
  • biologis atau psikososial di tempat kerja.

Faktor tersebut di dalam lingkungan kerja merupakan penyebab yang pokok dan menentukan terjadinya penyakit akibat kerja. Faktor lain seperti kerentanan individual juga berperan dalam perkembangan penyakit di antara pekerja yang terpajan.

PEMBAHASAN

Manajemen atau pengelolaan dan penanganan bahan kimia berbahaya dan beracun atau lebih populer dengan istilah B3 dalam rangka keselamatan dan kesehatan kerja, merupakan aspek yang sangat penting yang perlu mendapat perhatian. Banyak terjadi kecelakaan dalam industri yang disebabkan karena ketidaktahuan operator ataupun pekerja dalam mengenali dan menangani B3 tersebut. Kecelakaan kerja merupakan dampak yang harus diperhitungkan dan di antisipasi, sehingga sedapat mungkin hal ini harus dihindari dan dicegah agar tidak terjadi. Kecelakaan kerja yang berkaitan dengan B3 selain akan menimbulkan korban bagi pekerja / orang lain juga dapat menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan, dan hal ini akan menimbulkan kerugian bagi perusahaan industri tersebut. Disamping itu akan menimbulkan dampak yang lebih luas terhadap lingkungan dan masyarakat.

Kita sangat perlu mengetahui pengaruh bahaya dan racun dari B3 tersebut. Bahan-bahan ini disamping dapat menimbulkan dampak terhadap kesehatan dan pencemaran lingkungan, pemakaian dan penggunaannya dalam instalasi nuklir juga dapat menimbulkan radiasi/kontaminasi jika terjadi kecelakaan. Untuk itu dalam penyimpanan, pengelolaan dan penanganannya perlu memperhatikan faktor keamanan dan keselamatan. Pengaruh B3 tersebut antara lain: dapat menimbulkan kebakaran, ledakan, keracunan,dan iritasi pada permukaan atau bagian tubuh manusia (Gambar 1).

Pengaruh B3 dalam industri
  1. Ledakan, yaitu suatu reaksi yang amat cepat dan menghasilkan gas dalam jumlah yang besar. Ledakan dapat terjadi oleh reaksi yang amat cepat dari bahan peledak, atau gas yang mudah terbakar atau reaksi dari berbagai peroksida organik. Dapat juga terjadi karena adanya gas cair pada tekanan tinggi yang tidak terkendali.
  2. Kebakaran, terjadi bila bahan kimia yang mudah terbakar (pelarut organik dan gas) berkontak dengan sumber panas. Sumber panas dapat berupa api terbuka, logam panas, bara api atau loncatan listrik. Kebakaran dapat pula menimbulkan ledakan lain yang lebih dahsyat atau dapat juga menghasilkan bahan lain yang bersifat racun.
  3. Keracunan, yaitu masuknya bahan kimia kedalam tubuh yang dapat berakibat keracunan akut atau keracunan kronik. Keracunan akut sebagai akibat penyerapan B3 dalam jumlah yang besar dan dalam waktu yang singkat dan dapat pula berakibat fatal seperti keracunan gas CO, dan HCN. Keracunan kronik adalah penyerapan B3 dalam jumlah sedikit tetapi berlangsung dalam waktu yang lama, sehingga akibatnya baru dirasakan setelah beberapa bulan atau beberapa tahun sampai puluhan tahun. Kemudian bahan kimia tersebut seperi uap Pb, benzena dapat mengakibatkan leukimia. Pada umumnya zat-zat toksik tersebut masuk lewat pernafasan dan kemudian beredar keseluruh tubuh atau menuju ke organ-organ tubuh tertentu sehingga dapat langsung mengganggu fungsinya seperti hati, ginjal, paru-paru, dan lain-lain. Tetapi dapat juga zat-zat tersebut terakumulasi dalam organ-organ tubuh tersebut, sehingga menimbulkan kerusakan untuk jangka waktu yang panjang.
  4. Iritasi, yaitu kerusakan atau peradangan permukaan tubuh seperti kulit, mata dan saluran pernafasan oleh bahan kimia korosif, atau iritan seperti asam klorida dan lain- lain.

Banyak sekali aspek keselamatan yang perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya kecelakaan. Dari seluruh aspek tersebut selalu melibatkan tiga komponen yang saling berkaitan yakni manusia, prosedur/metode kerja, dan peralatan/ bahan. Faktor penyebab kecelakaan kerja berdasarkan data yang dikumpulkan oleh sebuah perusahaan perminyakan di Indonesia dapat dilihat pada Gambar

Faktor-faktor penyebab kecelakaan kerja

Mengingat faktor terbesar penyebab kecelakaan kerja adalah faktor manusia, maka usaha untuk meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja perlu diarahkan pada peningkatan pembinaan rasa tanggung jawab, sikap dalam bekerja dan peningkatan pengetahuan tentang pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja. Banyak juga kecelakaan terjadi karena ketidak-tahuan terhadap kemungkinan adanya bahaya. Oleh karena itu peningkatan pengetahuan juga memegang peranan penting dalam mencegah terjadinya kecelakaan, baik dalam cara mengenali maupun menangani bahan-bahan kimia berbahaya dan beracun.

Dari hampir 100.000 bahan kimia yang digunakan dalam industri, hanya kira- kira 15 % bahan kimia yang telah diketahui secara pasti bahayanya bagi manusia. Hal ini disebabkan karena keterbatasan pengetahuan yang dimiliki, sehingga banyak bahan kimia yang telah lama digunakan tetapi baru diketahui bahayanya dikemudian hari [3].

Bagi mereka yang bekerja dalam industri yang menggunakan atau menghasilkan bahan-bahan kimia, mereka tidak lepas dari bahaya bahan-bahan kimia terhadap keselamatan dan kesehatan kerja. Segala usaha harus dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan sama sekali bahaya tersebut terhadap tenaga kerja, karena hanya pada kondisi ruang kerja yang sehat dan aman bebas dari bahaya kecelakaan seseorang pekerja dapat bekerja dengan tenang, aman, efektif dan efisien.

Sikap dan tingkah laku pekerja sebagai faktor penyebab terjadinya kecelakaan kerja antara lain karena :

  • Keterbatasan pengetahuan/ keterampilan pekerja.
  • Lalai dan ceroboh dalam bekerja.
  • Tidak melaksanakan prosedur kerja sesuai dengan petunjuk yang diberikan.
  • Tidak disiplin dalam mentaati peraturan keselamatan kerja termasuk pemakaian alat pelindung diri.

Secara umum unsur pengelolaan/manajemen B3 sama dengan unsur manajemen seperti:

  • Perencanaan (Planing),
  • Pengorganisasian (Organizing),
  • Pelaksanaan (Actuating)
  • Pengendalian (Controlling).

Perencanaan dilakukan bertujuan untuk menghindari pengadaan bahan yang tidak sesuai dengan kegiatan yang akan dikerjakan. Selain itu agar tidak terjadi penumpukan bahan kimia yang berlebihan disatu sisi dan adanya kebutuhan yang tidak terpenuhi disisi lain yang dapat mengganggu kegiatan yang akan dilaksanakan. Adanya penumpukan bahan khususnya B3 akan mengganggu dan mambahayakan lingkungan, serta dapat menimbulkan kecelakaan khususnya bahan-bahan yang sudah kadaluarsa/habis masa penggunaannya.

Pengorganisasian (Organizing) B3 meliputi pemberian wewenang dan tanggung jawab kepada personel yang tepat baik sebagai pengelola, pemakai, maupun pengawas.

Pelaksanaan (actuating) B3 harus menggunakan prosedur dan instruksi yang telah ditetapkan. Selain itu setiap kegiatan yang dilakukan harus ada rekaman yang mencatat kegiatan tersebut untuk memantau status keberadaan B3, penggunaan, dan interaksinya. Selain itu fungsi prosedur dan rekaman adalah untuk pengendalian kegiatan yang berkaitan dengan B3, sehingga jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan akan dapat ditelusuri sebab-sebab dan maupun akibat dari suatu kecelakaan.

Pengendalian (controlling) B3 merupakan unsur manajemen yang harus diterapkan pada setiap unsur-unsur yang lain yakni mulai dari perencanaan, pengorganisasian (organizing), dan pelaksanaan (actuating). Controlling dapat dilakukan dengan cara inspeksi dan audit terhadap dokumen dan rekaman yang ada.

Pada industri nuklir untuk bahan nuklir telah menerapkan fungsi-fungsi diatas karena bahan-bahan nuklir dianggap memiliki potensi bahaya yang sangat besar yakni bahaya radiasi. Namun untuk B3 seharusnya dikelola sesuai dengan manajemen yang sama karena penggunaan B3 dalam industri nuklir memiliki potensi bahaya yang sama jika terjadi kecelakaan yakni akan terjadi radiasi dan kontaminasi. Sebagai contoh kecelakaan kebakaran ataupun ledakan oleh bahan kimia yang digunakan bersamaan dengan bahan nuklir akan mengakibatkan radiasi dan kontaminasi ke lingkungan.

Diagnosis Penyakit Akibat Kerja Secara teknis penegakan diagnosis dilakukan dengan cara berikut ini:

  1. Tentukan diagnosis klinis dengan anamnesis yang baik, pemeriksaan fisik diagnostik dan pemeriksaan penunjang.
  2. Tentukan pajanan terhadap faktor risiko dengan melakukan anamnesis mengenai riwayat pekerjaan secara cermat dan teliti yang mencakup: Kapan pertama kali bekerja, sudah berapa lama bekerja, apa yang dikerjakan, bahan yang digunakan, informasi bahan yang digunakan (Material Safet Data Sheet/MSDS), bahan yang diproduksi, jenis bahaya yang ada, jumlah pajanan, kapan mulai timbul gejala, kejadian sama pada pekerja lain, pemakaian alat pelindung diri, cara melakukan pekerjan, pekerjaan lain yang dilakukan, kegemaran (hobi) dan kebiasaan lain (merokok, alkohol)
  3. Membandingkan gejala penyakit sewaktu bekerja dan dalam keadaan tidak bekerja
    – Pada saat bekerja maka gejala timbul atau menjadi lebih berat, tetapi pada saat tidak bekerja atau istirahat maka gejala berkurang atau hilang
    – Perhatikan juga kemungkinan pemajanan di luar tempat kerja
    – Informasi tentang ini dapat ditanyakan dalam anamnesis atau dari data penyakit di perusahaan
  4. Pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan catatan :
    – Tanda dan gejala yang muncul mungkin tidak spesifik
    – Pemeriksaan laboratorium penunjang membantu diagnostik klinis
    – Dugan adanya penyakit akibat kerja dilakukan juga melalui pemeriksaan laboratorium khusus atau pemeriksaan biomedis
  5. Pemeriksaan laboratorium khusus atau pemeriksaan biomedis
    – Seperti pemeriksaan spirometri dan rontgen paru (pneumokoniosis-   pembacaan standar ILO)
    – Pemeriksaan audiometrik
    – Pemeriksaan hasil metabolit dalam darah atau urin
  6. Pemeriksaan atau pengujian lingkungan kerja atau data hygiene  perusahaan yang memerlukan:
    – Kerja sama dengan tenaga ahli hygiene perusahaan
    – Kemampuan mengevaluasi faktor fisik dan kimia berdasarkan data yang ada
    – Pengenalan secara langsung sistem kerja, intensitas dan lama pemajanan
  7. Konsultasi keahlian medis dan keahlian lain

Faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya PAK adalah sebagai berikut:

1. Golongan fisik

  • Kebisingan dapat mengakibatkan gangguan pada pendengaran sampai dengan Non induced hearing loss
  • Radiasi (sinar radio aktif) dapat mengakibatkan kelainan darah dan kulit
  • Suhu udara yang tinggi dapat mengakibatkan heat stroke, heat cramps, atau hyperpyrexia. Sedangkan suhu udara yang rendah dapat mengakibatkan frostbite, trenchfoot atau hypothermia.
  • Tekanan udara yang tinggi dapat mengakibatkan caison disease
  • Pencahayaan yang tidak cukup dapat mengakibatkan kelahan mata. Pencahayaan yang tinggi dapat mengakibatkan timbulnya kecelakaan

2. Golongan kimia

  • Debu dapat mengakibatkan pneumokoniosis
  • Uap dapat mengakibatkan metal fume fever, dermatitis dan keracunan
  • Gas dapat mengakibatkan keracunan CO dan H2S
  • Larutan dapat mengakibatkan dermatitis
  • Insektisida dapat mengakibatkan keracunan

3. Golongan infeksi

  • Anthrax
  • Brucell
  • HIV/AIDS
  • Golongan fisiologis
    Dapat disebabkan oleh kesalahan kontruksi, mesin, sikap badan yang kurang baik, salah cara melakukan suatu pekerjaan yang dapat mengakibatkan kelelahan fisik bahkan lambat laun dapat menyebabkan perubahan fisik pada tubuh pekerja.

4. Golongan mental

Dapat disebabkan oleh hubungan kerja yang tidak baik atau keadaan pekerjaan yang monoton yang menyebabkan kebosanan.

Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER- 01/MEN/1981 dan Keputusan Presiden RI No 22/1993 terdapat 31 jenis penyakit akibat kerja yaitu sebagai berikut: 1

  • Pneumokoniosis yang disebabkan oleh debu mineral pembentukan jaringan parut (silikosis, antrakosilikosis, asbestosis) dan silikotuberkulosis yang silikosisnya merupakan faktor utama penyebab cacat atau kematian.
  •  Penyakit paru dan saluran pernafasan (bronkopulmoner) yang disebabkan oleh debu logam keras.
  • Penyakit paru dan saluran pernafasan (bronkopulmoner) yang disebabkan oleh debu kapas, vlas, henep dan sisal (bissinosis).
  • Asma akibat kerja yang disebabkan oleh penyebab sensitisasi dan zat perangsang yang dikenal berada dalam proses pekerjaan.
  • Alveolitis allergika yang disebabkan oleh faktor dari luar sebagai akibat penghirupan debu organik
  • Penyakit yang disebabkan oleh berillium atau persenyawaannya yang beracun.
  • Penyakit yang disebabkan oleh kadmium atau persenyawaannya yang beracun.
  • Penyakit yang disebabkan oleh fosfor atau persenyawaannya yang beracun.
  • Penyakit yang disebabkan oleh krom atau persenyawaannya yang beracun.
  • Penyakit yang disebabkan oleh mangan atau persenyawaannya yang beracun.
  • Penyakit yang disebabkan oleh arsen atau persenyawaannya yang beracun.
  • Penyakit yang disebabkan oleh raksa atau persenyawaannya yang beracun.
  • Penyakit yang disebabkan oleh timbal atau persenyawaannya yang beracun.
  • Penyakit yang disebabkan oleh flour atau persenyawaannya yang beracun.
  • Penyakit yang disebabkan oleh karbon disulfida.
  • Penyakit yang disebabkan oleh derivat halogen dari persenyawaan hidrokarbon alifatik atau aromatik yang beracun.
  • Penyakit yang disebabkan oleh benzena atau homolognya yang beracun.
  • Penyakit yang disebabkan oleh derivat nitro dan amina dari benzena atau homolognya yang beracun.
  • Penyakit yang disebabkan oleh nitrogliserin atau ester asam nitrat lainnya.
  • Penyakit yang disebabkan oleh alkohol, glikol atau keton.
  • Penyakit yang disebabkan oleh gas atau uap penyebab asfiksia atau keracunan seperti karbon monoksida, hidrogen sianida, hidrogen sulfida atau derivatnya yang beracun, amoniak, seng, braso dan nikel.

SISTEM MANAJEMEN BAHAN KIMIA BERBAHAYA DAN BERACUN (B3)

Perencanaan :

Perencanaan dilakukan untuk kurun waktu tertentu (1 tahun) mulai dari perencanaan pengadaan, penyimpanan/penggudangan, dan penggunaannya. Dalam perencanaan ini meliputi identifikasi kebutuhan bahan, klasifikasi bahan dan perencanaan penyimpanan. B3 dapat dikelompokkan dalam dua kelompok yakni bahan berbahaya dan bahan beracun.

Bahan kimia berbahaya adalah bahan kimia yang memiliki sifat reaktif dan atau sensitif terhadap perubahan/kondisi lingkungan yang dengan sifatnya tersebut dapat menimbulkan bahaya bagi lingkungannya. Bahan kimia beracun adalah bahan kimia yang dalam jumlah kecil menyebabkan bahaya terhadap kesehatan manusia apabila terserap dalam tubuh melalui pernafasan, tertelan, atau kontak melalui kulit. Bahan-bahan beracun dalam industri dapat digolongkan seperti dalam Tabel 1

JENIS ZAT BERACUN  CONTOHPENGARUH TERHADAP TUBUH MANUSIA
      LogamTimbal (Pb)Air raksa (Hg)Cadmium (Cd)Fosfor (P)toksik thd syaraf, ginjal, dan darahtoksik thd darah, hati, dan ginjaltoksik thd darah, hati, dan ginjalgangguan metabolisme karbohidrat,
   – Arsen (As)protein, dan lemak. iritasi dan kangker pada hati dan
  paru-paru
    BahanHC alifatik :BBMHC terhalogenasi :CCl4Alkohol : etanol, metanolpusing dan komatoksik thd hati dan ginjalgangguan susunan saraf pusat dan
Pelarut– Glikolsaluran pencernakan gangguan ginjal, hati dan tumor
      Gas beracunAsfiksian sederhana: N2,Argon, HeliumAs. fiksian kimia: As. sianida, As. sulfida Monooksida : CONitrogen oksida : NOxSesak      nafas     dan      kekurangan OksigenPusing, sesak nafas, kejang, dan pingsanSesak nafas, gangguan saraf otak, jantung, pingsanSesak nafas, iritasi, dan kematian
 – Benzenaleukimiakanker paru-parukanker kandung kencingkanker paru-parukanker hati, darah, dan paru-parukanker hati, darah, dan paru-paru
 – Asbes
Bahan– Benzidin
Karsinogenik– Krom (Cr)
 – Nafti lamin
 – Vinil klorida
PestisidaOrganoklorinOrganofosfatKeduanya     menyebabkan    pusing, kejang, hilang kesadaran & kematian
Penggolongan Bahan beracun dalam industri [2]

Kekuatan racun (toksisitas) dari suatu bahan kimia dapat diketahui berdasarkan angka LD50 (Lethal Dose 50) yaitu dosis (banyaknya zat racun yang diberikan kepada sekelompok binatang percobaan sehingga menimbulkan kematian pada 50% dari binatang tersebut. LD50 biasanya dinyatakan dalam satuan bobot racun persatuan bobot binatang percobaan, yaitu mg/Kg berat badan. Makin kecil angka LD50 makin toksik zat tersebut.

Klasifikasi toksisitas zat kimia berdasarkan LD50 dan contoh- contohnya ditunjukkan dalam Tabel 2

KEKUATAN RACUNLD50 (mg/Kg.bb)CONTOH
Racun super< 5Nikotin
Amat sangat beracun5 – 50Pb arsenat
Amat beracun50 – 500hidrokinon
Beracun sedang500 – 5000isopropanol
Sedikit beracun5000 – 15000Asam sorbat
Tidak beracun>15000glikol
Klasifikasi toksisitas zat kimia berdasarkan LD50 [1]

Secara umum bahan tersebut dapat digolongkan menjadi 5 (lima) yaitu :[2]

  1. Bahan mudah terbakar.(Flammable Substance): yaitu bahan yang mudah bereaksi dengan oksigen dan menimbulkan kebakaran. Kebakaran dapat terjadi bila ada 3 unsur bertemu yaitu bahan, oksigen, dan panas.
  2. Bahan mudah meledak (Explosives): yaitu bahan kimia padat, cair atau campuran keduanya yang karena suatu reaksi kimia dapat menghasilkan gas dalam jumlah dan tekanan yang besar disertai suhu tinggi sehingga dapat menimbulkan ledakan. Selain itu juga termasuk bahan yang karena struktur kimianya tidak stabil dan reaktif sehingga mudah meledak.
  3. Bahan reaktif terhadap air/ asam: yaitu bahan kimia yang amat mudah bereaksi dengan air disertai pengeluaran panas dan gas yang mudah terbakar, dan disertai ledakan. Bahan yang reaktif terhadap air juga reaktif terhadap asam, dimana reaksi yang terjadi adalah eksothermis dan menghasilkan gas yang mudah terbakar, sehingga dapat menimbulkan ledakan.
  4. Bahan beracun: yaitu bahan kimia yang dalam konsentrasi tertentu akan dapat menimbulkan gangguan kesehatan terhadap manusia.
  5. Gas bertekanan: yaitu gas yang disimpan dalam tekanan tinggi baik gas yang ditekan , gas cair, atau gas yang dilarutkan dalam pelarut dibawah tekanan.

Penggolongan bahan berbahaya, jenis dan contohnya dapat dilihat seperti Tabel 3.

  JENIS/ BAHAYANYA  CONTOH
      Bahan mudah terbakarPadat   Cair   GasBelerang, fosfor, hidrida logam, kapas, kertas, rayon, dllSebagai pelarut : eter, alkohol, aseton benzena, dllGas alam, hidrogen, asetilen, etilen oksida, dll
            Bahan peledakBahan peledak   Bahan dengan struktur kimia tidak stabilCampuran zat kimia eksplosive: Oksidatior + Reduktor Pelarut organik pembentuk peroksida organikTNT (Tri Nitro Toluena), Nitro Gliserin, dan Amonium NitratAsetilen, C-C; diazo, C-N2; nitrozo, C- NO; peroksida, O-O; Ozon O3; azida, N3; perkloril, C-Cl-O3; dll.Oksidator : KClO3, NaNO3, As. nitrat, K-permanganat, Krom trioksida Reduktor : Karbon, Belerang, Etanol, Gliserol, Hidrazin.Eter, keton, ester, senyawa tak jenuh, dll
  Bahan reaktif terhadap air/ asamAlkaliLogam halida anhidratLogam oksida anhidratOksida non logam halidaReaktif thd asamNatrium, KaliumAluminium brimida (AlBr3)   Calsium oksida (CaO)   Sulforil klorida   Kalium klorat/perklorat, kalium permanganat.
Bahan BeracunCairGasPestisida, AmoniakBerilium dll
      Gas bertekananUntuk gas bakarUntuk bhn baku (beracun)Untuk sterilisasiUntuk hidrogenasiUntuk pencucian/ bbs O2Untuk klorinasiUtk bhn baku plastikAsetilenAmoniak   Etilen oksidaHidrogenNitrogen   KlorVinil klorida
Penggolongan jenis. Bahaya bahan kimia.[3,5]

Pengorganisasian (organizing)

Pengorganisasian untuk mengelola B3 meliputi penetapan tugas dan wewenang personil pengelola, pemakai, dan pengawas. Dalam pengorganisasian perlu adanya koordinasi antar berbagai pihak yang berkepentingan dengan B3 tersebut. Selain itu juga dilakukan penetapan persyaratan penyimpanan B3 dimana setiap jenis bahan memiliki syarat penyimpanan tertentu. Persyaratan tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.

  Jenis/sifat  Syarat Penyimpanan
Bahan beracunRuangan dingin dan berventilasiJauh dari sumber panasTerpisah dari bahan kimia lain yang reaktifTersedia alat pelindung diri seperti masker, pakaian pelindung, sarung tangan dan lain-lain.
Bahan korosifRuang dingin dan berventilasiWadah tertutup dan berlabelTerpisah dari zat beracunTersedia alat pelindung diri seperti sarung tangan, masker, kaca mata dan lain-lain.
Bahan mudah terbakarRuang dingin dan berventilasiJauh dari sumber panas/apiTersedia alat pemadam kebakaran
Bahan mudah meledakRuang dingin dan berventilasiJauh dari sumber panas/ api
Bahan oksidatorRuang dingin dan berventilasiJauh dari sumber api/ panas dan dilarang merokokJauh dari bahan reduktor dan mudah terbakar
Bahan reaktif thd airSuhu ruangan dingin, kering dan berventilasiBangunan kedap airPemadam kebakaran yang tersedia tdk menggunakan air seperti CO2, Halon, Dry Powder
Bahan reaktif terhadap asamRuang dingin dan berventilasiJauh dari sumber api dan panasRuang penyimpanan perlu dirancang agar tidak memungkinkan terbentuknya kantong-kantong hidrogen, karena reaksi dengan asam akan terbentuk gas hidrogen yang mudah terbakar.
Gas bertekananDisimpan dalam keadaan tegak/ berdiri dan terikatRuang dingin dan tidak terkena langsung sinar matahariJauh dari api dan panasJauh dari bahan korosif yang dapat merusak kran dan katup.
Syarat penyimpanan jenis bahan tertentu. [4]

Dalam penyimpanan B3 harus diketahui sifat-sifat berbagai jenis bahan kimia berbahaya, dan juga perlu memahami reaksi kimia akibat interaksi dari bahan-bahan yang disimpan. Interaksi dapat berupa tiga hal yaitu :

  1. Interaksi antara bahan dan lingkungannya
    Contoh: panas/percikan api yang dapat menimbulkan kebakaran dan ledakan terutama untuk zat yang mudah terbakar dan mudah meledak seperti pelarut organik dan peroksida.
  2. Interaksi antara bahan dan wadah.
    Contoh: Beberapa bahan kimia yang amat korosif, seperti asam sulfat, asam khlorida, natrium hidroksida, dapat merusak wadahnya. Kerusakan ini menyebabkan interaksi antar bahan sehingga menimbulkan reaksi-reaksi berbahaya seperti kebakaran, ledakan atau menimbulkan racun.
  3. Interaksi antar bahan.
    Contoh: Interaksi antara zat oksidator dan reduktor dapat menimbulkan ledakan dan kebakaran, sedangkan interaksi antara asam dan garam dapat menimbulkan gas beracun. Oleh karena itu beberapa bahan yang mungkin bereaksi harus dipisahkan dalam penyimpanannya.

Pelaksanaan (Actuating)

Pelaksanaan setiap kegiatan mulai dari pengelolaan (penyimpanan), pemakaian dan pengawasan harus sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur harus digunakan untuk setiap kegiatan yang berkaitan dengan penggunaan B3 oleh semua personil, baik sebagai pengelola, pemakai maupun pengawas. Prosedur yang telah ditetapkan harus telah teruji dan mengacu pada informasi yang telah ada pada setiap bahan kimia. Informasi ini biasanya tercantum pada label yang menjelaskan 4 hal terpenting, yaitu :

  • Nama bahan dan formula
  • Bentuk fisik yakni gas, cair, atau padat
  • Sifat fisik, yakni titik didih, titik lebur, berat jenis, tekanan uap, dan lain-lain
  • Sifat kimia dan bahaya yakni korosif, mudah terbakar, beracun dan lain-lain.

Untuk tujuan praktis, maka bahan bahan kimia berbahaya dibagi dalam tiga kelompok besar :

  • Bahan beracun dan korosif
  • Bahan mudah terbakar
  • Bahan kimia reaktif

Penanganan B3 ini berdasarkan jenis bahan dapat dilihat seperti dalam Tabel 5

  JENIS BAHAN  PENANGANAN
Bahan Beracun & KorosifPencampuran, pengadukan, pemanasan dan pemindahan dilakukan dalam ruang khusus atau almari asamMenggunakan alat pelindung seperti masker, sarung tangan & respirator yang sesuai dengan bahan yang ditangani, pelindung badan/ jas lab dll. Alat ini harus terbuat dari bahan yang tahan terhadap korosif dan mempunyai daya lindung terhadap bahan yang ditangani.Tidak diperkenankan merokok, minum dan makan didalam ruang kerja.Ruang kerja mempunyai sirkulasi dan ventilasi udara yang baik.
Bahan Mudah TerbakarMenjauhkan sumber panas yaitu api terbuka/bara, loncatan api listrik, logam panas, dan tidak diperkenankan merokok,Ruang kerja mempunyai sirkulasi dan ventilasi udara yang baik serta tersedia alat pemadam kebakaran.
Bahan reaktifHindarkan dari sumber panas dan matahariHindarkan pengadukan yang menimbulkan panasHindarkan dari benturan dan gesekan yang kuatUntuk zat reaktif thd air harus disimpan ditempat yang kering, hindarkan dari uap air dan air. Jika terjadi kebakaran gunakan alat pemadam, bukan air.
Penaganan B3 [4]

Selain itu dalam melakukan kegiatan penanganan B3 harus tercatat  dalam suatu rekaman sehingga mudah untuk mengetahui status dan keberadaannya serta mudah untuk dilakukan penelusuran.

Pengendalian (Controlling)

Pengendalian dalam manajemen B3 dapat dilakukan dengan inspeksi, audit maupun pengujian mulai dari perencanaan, hingga pelaksanaan. Pengawasan ini dapat dilakukan oleh manajemen yang memiliki tugas pengawasan terhadap seluruh kegiatan organisasi maupun oleh manajemen yang lebih tinggi terhadap manajemen di bawahnya sebagai pengawasan melekat, sehingga segala sesuatu kegiatan yang berkaitan dengan B3 berjalan sesuai dengan kebijakan dan peraturan/prosedur yang telah ditetapkan.

Pencegahan

Berikut ini adalah penerapan konsep lima tingkatan pencegahan penyakit (five level of prevention disease) pada penyakit akibat kerja, yakni: 2,4

  • Peningkatan kesehatan (health promotion). Misalnya: penyuluhan kesehatan dan keselamatan kerja (K3) pendidikan kesehatan, meningkatkan gizi yang baik pengembangan kepribadian, perusahaan yang sehat dan memadai, rekreasi, lingkungan kerja yang memadai, penyuluhan perkawinan dan pendidikan seksual, konsultasi tentang keturunan dan pemeriksaan kesehatan periodik.
  • Perlindungan khusus (specific protection). Misalnya: imunisasi, hygiene perorangan, sanitasi lingkungan, serta proteksi terhadap bahaya dan kecelakaan kerja dengan menggunakan alat pelindung diri (APD) seperti helm, kacamata kerja, masker, penutup telinga (ear muff dan ear plug) baju tahan panas, sarung tangan, dan sebagainya.
  • Diagnosis (deteksi) dini dan pengobatan segera serta pembatasan titik-titik lemah untuk mencegah terjadinya komplikasi.
  • Membatasi kemungkinan cacat (disability limitation). Misalnya: memeriksa dan mengobati tenaga kerja secara komprehensif, mengobati tenaga kerja secara sempurna dan pendidikan kesehatan.
  • Pemulihan kesehatan (rehabilitation). Misalnya: rehabilitasi dan mempekerjakan kemali para pekerja yang menderita cacat. Sedapat mungkin perusahaan mencoba menempatkan karyawan-karyawan cacat di jabatan yang sesuai.

Upaya yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk mencegah PAK adalah sebagai berikut:

  • Menyingkirkan atau mengurangi risiko pada sumbernya, misalnya menggantikan bahan kimia yang berbahaya dengan bahan yang tidak berbahaya.
  • Mengurangi risiko dengan pengaturan mesin atau menggunakan APD.
  •  Menetapkan prosedur kerja secara aman untuk mengurangi risiko lebih lanjut dan menyediakan, memakai dan merawat APD

Faktor manusia merupakan faktor terbesar penyebab terjadinya kecelakaan. Pembinaan rasa tanggung jawab, sikap disiplin dalam bekerja serta peningkatan pengetahuan memegang peranan penting dalam mencegah kecelakaan khususnya yang berkaitan dengan B3. Pemakaian dan penggunaan B3 dalam industri merupakaan aspek keselamatan yang penting khususnya dalam industri nuklir karena dapat menimbulkan dampak yang cukup besar bila terjadi kecelakaan kerja yakni kontaminasi dan paparan radiasi. Hal ini dimungkinkan karena dalam industri nuklir banyak digunakan B3 sebagai pelarut, aditif maupun bahan penunjang dalam analisis kendali kualitas. Bila terjadi kecelakaan seperti ledakan/ kebakaran yang ditimbulkan oleh B3, maka tidak tertutup kemungkinan terjadi paparan/kontaminasi radiasi sebagai akibat penyebaran zat radio aktif ke lingkungan.

Pengadaan B3 perlu perencanaan yang baik dan benar untuk menghindari penumpukan dan penggunaan yang tidak benar yang berpotensi untuk terjadinya kecelakaan. Pengadaan B3 harus disesuaikan dengan kebutuhan terhadap kegiatan yang akan dilaksanakan, selain itu harus memperhatikan stok yang masih ada. Untuk itu perlu adanya pembuatan kartu stok sebagai kontrol dalam menyusun rencana kebutuhan bahan kimia dan identifikasi status bahan yang masih ada. Selain itu juga dilakukan klasifikasi terhadap bahan yang akan diadakan sehingga dalam pengelolaan maupun penyimpanan dilakukan sesuai persyaratan yang telah ditentukan.

Secara Umum B3 terdiri dari bahan beracun, korosif, mudah terbakar, mudah meledak, reaktif terhadap air/asam, dan gas bertekanan. Bahan ini dapat berpengaruh dan berdampak pada manusia/pekerja maupun lingkungan seperti keracunan, ledakan, kebakaran, dan iritasi. Prinsip utama dalam sistem manajemen B3 meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian yang berupa pengawasan.

Pengelola harus terkualifikasi dan ditetapkan sesuai dengan tugas dan wewenangnya dalam pengorganisasian B3. Hal ini sangat perlu karena dengan adanya wewenang dan tanggung jawab akan memudahkan penelusuran jika terjadi sesuatu yang tidak dinginkan, yakni siapa pelaku dan siapa yang harus bertanggung jawab. Penetapan kualifikasi personel sangat dibutuhkan karena untuk dapat menangani bahan berbahaya dan beracun dengan baik maka dibutuhkan pengetahuan dasar yang memadahi mengenai B3 yakni sifat fisik, kimia, dan bahayanya dari bahan- bahan tersebut.

Secara umum penyimpanan B3 harus memenuhi persyaratan diantaranya: ruangan dingin dan berventilasi, jauh dari sumber panas/api, tersedia alat pelindung seperi sarung tangan, masker, pelindung badan/jas lab dll. Untuk bahan yang reaktif harus disimpan dalam keadaan tertutup rapat dan terpisah dengan bahan yang lain untuk mencegah agar tidak terjadi kontak dengan udara maupun bahan lain disamping persyaratan diatas. Hal ini dilakukan karena bahan reaktif bersifat bahaya (dapat bereaksi spontan) akibat ketidakstabilan atau kemudahan terurai, bereaksi dengan zat lain atau terpolimerisasi yang bersifat eksotermik sehingga eksplosif. Beberapa bahan reaktivitasnya terhadap gas lain menghasilkan gas beracun.

Beberapa bahan kimia bereaksi hebat dengan bahan kimia lain dan bahan-bahan yang berhubungan tersebut disebut inkompatibel. Contoh: Asetilene yang akan bereaksi hebat dengan Klorin; Asam Nitrat akan bereaksi dengan cairan yang mudah terbakar seperti etanol/alkohol.

Prinsip utama dalam menangani bahan-bahan berbahaya tersebut adalah mendapat informasi sebanyak mungkin lebih dahulu sebelum menanganinya. Tidaklah mungkin dapat mengenal cara penanganan dari semua jenis bahan kimia, bukan saja tidak praktis tetapi masing-masing memiliki sifat yang berbeda. Cara penanganan yang tepat untuk setiap bahan kimia, hanya dapat diperoleh dari pabrik atau pemasok yang memang telah berpengalaman dengan bahan tersebut. Informasi spesifikasi bahan.

Dalam pelaksanaannya, prosedur pengelolaaan B3 harus ditetapkan dan penempatan/penggudangan yang baik harus memenuhi persyaratan. Hal ini sangat penting karena penggudangan yang tidak memenuhi persyaratan dan kegiatan pemakaian/ penggunaan tanpa adanya prosedur sering menimbulkan kecelakaan kerja. Selain itu dalam penanganan B3 perlu adanya instruksi kerja dan rekaman serta mendapatkan pengawasan melalui inspeksi, audit dan pengujian oleh organisasi yang berwewenang ataupun oleh manajemen yang lebih tinggi agar bila terjadi sesuatu dapat tertlusur. Salah satu sumber kecelakaan dalam menangani bahan kimia berbahaya adalah faktor penyimpanan. Banyak sekali kebakaran dan ledakan berasal dari tempat penyimpanan. Untuk dapat memahami cara penyimpanan yang aman, maka selain harus mengetahui sifat-sifat berbagai jenis bahan kimia berbahaya, juga perlu memahami reaksi kimia akibat interaksi dari bahan-bahan yang disimpan. Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah batas waktu penyimpanan. Untuk zat tertentu seperti Eter, parafin cair, dan olefin membentuk peroksida jika berkontak dengan udara dan cahaya. Semakin lama disimpan semakin besar jumlah peroksida yang terbentuk. Zat sejenis eter tak boleh disimpan melebihi satu tahun, kecuali ditambah inhibitor. Eter yang telah dibuka harus dihabiskan selama 6 bulan. Material Safety Data Shet (MSDS) Dalam MSDS terdapat keterangan mengenai suatu bahan yaitu identitas, sifat, penanganan dan lain-lain yang berkaitan dengan keselamatan. Untuk itu sebelum bahan kimia tersebut diterima, disimpan dan digunakan, maka keterangaan yang ada dalam MSDS tersebut harus dipahami. Menangani bahan berbahaya tanpa mengetahui informasi tersebut di atas dapat mengakibatkan kecelakaan kerja dan sakit akibat kerja.

KESIMPULAN

Kehidupan manusia tidak pernah terlepas dari pekerjaan, apapun jenis pekerjaan selalu dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari-hari, mulai dari pekerjaan berisiko rendah hingga berisiko tinggi. Disamping itu pemahaman dan penerapan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) masih kurang di perhatikan oleh pekerja formal maupun informal. Pada hal faktor K3 sangat penting dan harus diperhatikan oleh pekerja dan hal ini menjadi tanggung jawab bersama, perlu adanya kerja sama antara pemerintah, perusahaan dan pekerja agar terhindar dari Kecelakaan Akibat Kerja (KAK) dan Penyakit Akibat Kerja (PAK).

Keselamatan dan Kesehatan Kerja merupakan upaya perlindungan tenaga kerja dari bahaya, penyakit dan kecelakaan akibat kerja maupun lingkungan kerja. Penegakan diagnosis spesifik dan sistem pelaporan penyakit akibat kerja penting dilakukan agar dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja.

Manajemen B3 memerlukan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian. Dengan menerapkan sistem manajemen B3 maka pemakaian, penanganan, maupun penyimpanan B3 diharapkan akan lebih terkontrol/terkendali dan tertelusur, sehingga keselamatan dan kesehatan kerja serta perlindungan lingkungan akan terjaga. Dalam pelaksanaan penanganan B3 sangat tergantung dari jenis, sifat dan bahaya dari bahan tersebut. Karena masing- masing B3 memiliki sifat yang berbeda, maka cara penanganan yang paling tepat hanya dapat diperoleh dari pabrik atau pemasok bahan tersebut.

REFERENSI

  1. Republik Indonesia. Keputusan Presiden No. 22 Tahun 1993 tentang Penyakit yang Timbul Karena Hubungan Kerja. Presiden Republik Indonesia: Jakarta; 1993
  2. Efendi, F. dan Makhfudli. Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori dan Praktik dalam Keperawatan. Jakarta: Penerbit Salemba Medika; 2009.
  3. Jeyaratnam J. Buku Ajar Praktik Kedokteran Kerja. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009.
  4. Organisasi Perburuhan Internasional. Hidup Saya, Pekerjaan Saya, Pekerjaan Yang Aman. Jakarta: 2008
  5.  Suaeb A. Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: Universitas Gunadarma; 2013
  6. Rudiyanto. Publik Berhak Tahu Kecelakaan Kerja. Katiga. 54(8). 2014:14-17.
  7. Grahanintyas, D., Wignjosoebroto, S. dan Latiffanti, E. Analisa Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Meningkatkan Produktivitas Kerja (Studi Kasus: Pabrik Teh Wonosari PTPN XII). Jurnal Teknik Pomits. 2012; Volume 1(1): 1-6
  8. Zulkarnain Adjraam, “Keselamatan dan Kesehatan Kerja Terhadap Bahan- bahan Berbahaya dan Beracun”, Lokakarya Keselamatan dan Kesehatan Kerja BATAN, Tahun 1991.
  9. Anonim, “Panduan Bahan Berbahaya “ edisi 1, Departemen Kesehatan RepublikIndonesia, Tahun 1985.
  10. Anomim, “National Workshop on Safety and Control of Toxic Chemicals and Pollutansts”, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1989
  11. Nur Tri Harjanto dkk, “Identifikasi potensi bahaya non radiasi di Instalasi Radiometalurgi”, Prosiding hasil-hasil penelitian EBN tahun 2008, ISSN 0854-5561, PTBN-BATAN, Tahun 2008.
  12. BAMBANG SUPARDJO, “Keselamatan Pemakaian Bahan Peledak” Lokakarya Keselamatan dan Kesehatan Kerja BATAN, Tahun 1991.

KERACUNAN GAS DALAM PENYELAMAN

Menyelam adalah aktivitas bawah air yang sukar dan dapat mempengaruhi struktur dan fungsi tubuh. Setiap orang yang melakukan penyelaman mungkin harus berenang cepat pada keadaan gawat darurat untuk menolong pasangan menyelamnya dan harus bertahan terhadap pajanan yang terjadi.1 Penyelam akan terpajan oleh beberapa faktor selama penyelaman seperti risiko tenggelam, turunnya suhu dan peningkatan tekanan lingkungan. Semua hal ini akan berpengaruh terhadap perubahan hemodinamik berupa peningkatan aliran darah dari perifer ke rongga dada sehingga meningkatkan volume darah intratoraks sekitar 700 ml yang akan menurunkan volume paru secara mekanis sekitar 300 ml dari KV yang mirip dengan pajanan suhu rendah. Peningkatkan tekanan PO2 dan PN2 di dalam darah berhubungan dengan penurunan cardiac output karena penurunan denyut jantung dan isi sekuncup.5 Bahaya tekanan tinggi tidak dikhawatirkan lagi karena penemuan alat SCUBA.6,7 Penyelam akan memiliki volume paru lebih besar daripada orang biasa. Kapasitas vital paksa akan lebih besar nilainya dibanding VEP1 yang akan menyebabkan penurunan rasio VEP1 /KVP hal ini akibat efek menahan napas saat menyelam dan tahanan saat bernapas selama penyelaman. Tetzlaff dkk.8 pada penelitian cross sectional pada 180 orang penyelam laki-laki dan 35 kontrol menemukan pada penyelam terdapat penurunan FEF25 dan FEF50 dibanding kontrol yang berhubungan dengan lama menyelam. Skogstad dkk.9 mendapatkan nilai KVP yang lebih besar pada 87 penyelam SCUBA profesional pada awal pemeriksaan. Follow up selama 3 tahun memperlihatkan nilai KVP yang sama dan penurunan nilai yang bermakna untuk VEP1 sebesar 1,8% dan arus FEF75 sebesar 10,4% dalam 3 tahun yang menunjukkan perubahan fungsi jalan napas kecil. Crosbie dkk.10 pada penelitiannya mendapatkan rasio nilai VEP1 /KVP menurun seiring dengan peningkatan nilai KVP di atas 100% dari nilai prediksi. Skogstad dkk.11 pada penelitian lanjutan pada 87 penyelam yang diikuti selama 6 tahun mendapatkan penurunan nilai yang bermakna yaitu KVP sebesar 0,91 ml dan VEP1 sebesar 0,84 ml pertahun dibandingkan orang normal (KVP 0,24 ml, VEP1 0,16 ml) dan penurunan nilai transfer factor for carbon monoxide (TLCO2 ). Adir dkk.12 mendapatkan pada penyelam biasanya akan ditemukan nilai volume paru yang lebih besar yang berhubungan dengan rasio nilai VEP1 /KVP yang mirip dengan kondisi PPOK dan disebut large lung. Davey dkk.13 menyatakan terdapat hubungan bermakna antara kedalaman penyelaman dengan nilai KVP namun tidak berhubungan dengan VEP1 dan hal ini berkaitan dengan lama penyelaman. Campbell14, Thorsen dkk.15,16 menyatakan perubahan yang terjadi pada paru penyelam adalah perubahan struktur jalan napas kecil dan perubahan sementara faal paru terlihat setelah penyelaman.         

Scuba diving atau selam scuba adalah alat bantu pernapasan ketika berada di dalam air. “SCUBA” atau yang disebut juga “Self Contained Underwater Breathing Apparatus”. Peralatan scuba pertama kali yang berhasil adalah Aqualung Open Circuit yang dikembangkan oleh Emile Gagnan dan Jacques Yves Cousteau, dimana kompresi gas yang biasanya berisi udara yang dihirup dari tangki dan kemudian dikeluarkan didalam air. Asal usul regulator scuba yang digunakan pada saat ini berasal dari Australia, dimana Ted Eldred telah mengembangkan regulator mulut pertama yang dikenal sebagai “Porpoise” Dalam kegiatan penyelaman terdapat dua jenis kegiatan selam menurut kebutuhan dan kelengkapannya, yaitu skin diving dan scuba diving.

Skin diving merupakan penyelaman yang dilakukan dengan menggunakan peralatan selam dasar (masker, snorkel dan fins) dan biasanya hanya dilakukan untuk kegiatan snorkling (menikmati pemandangan bawah permukaan air) atau sport diving (penyelaman olahraga). Sedangkan scuba diving merupakan penyelaman yang menggunakan peralatan selam lengkap atau biasa disebut peralatan SCUBA (Self Contained Underwater Breathing Apparatus) yang biasanya digunakan untuk kegiatan penyelaman ilmiah (Scientific Diving), penyelaman komersial, ataupun penyelaman yang dilakukan oleh para marinir untuk kegiatan pertahan dan keamanan termasuk penyelamatan dari kecelakaan di bawah air oleh tim SAR. Semakin bertambahnya kecelakaan yang terjadi di laut menyebabkan banyak penyelam yang dibutuhkan untuk melakukan pencarian dan pertolongan terhadap korban oleh tim SAR.

Dengan pelatihan mengenai teknik dan prosedur penggunaan setiap latihan tentunya akan membuat kita merasa aman dan nyaman di tiap penyelaman. Saat melakukan penyelaman, tubuh kita diharuskan untuk terus menerus beradaptasi dengan kondisi bawah air. Untuk itulah keterampilan dan kedisiplinan mutlak diperlukan. 2 Keterampilan menyelam ini umumnya bisa diperoleh dengan mengambil kursus berlisensi dari organisasi resmi penyelaman seperti The National Association of Underwater Instructors (NAUI), Scuba Schools International (SSI), Confideration Mondiale des Activities Subaquatiques (CMAS), Professional Association of Diving Instructors (PADI) dan yang lain. Saat mengambil kursus berlisensi, kita akan dikondisikan pada keadaan terburuk yang bisa saja terjadi saat penyelaman. Tujuannya agar kita siap dalam penggunaan alat selam dan bisa mengatasi masalah terburuk yang mungkin terjadi saat menyelam. Meski begitu dalam penyelaman sesungguhnya, kalau kita mengerti dan memahami aturan, kejadian semacam itu akan sangat jarang terjadi. Selain memiliki keterampilan menyelam yang benar, kita juga harus tahu alat selam yang tepat yang memungkinkan kita bergerak di bawah air.

Penyelaman digunakan sejak dahulu untuk kepentingan komersial dan militer namun belakangan ini semakin banyak diminati sebagai pilihan olahraga dan diikuti perkembangan teknologi selam yang memudahkan penyelam mencapai tempat-tempat yang sebelumnya tidak mungkin dicapai. Olahraga selam berhubungan dengan berbagai risiko sehingga akan meningkatkan permintaan surat rekomendasi dokter terutama yang berhubungan dengan kemampuan respirasi.1,2 Penyelam akan terpajan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi faal paru.1,3 Saat menyelam paru dan jalan napas akan terpengaruh oleh beberapa kedaan khusus. Menghirup udara dingin dan kering melalui jalan napas akan menyebabkan kehilangan panas lewat jalan napas dan peningkatan tekanan PO2 selama penyelaman dapat menyebabkan kerusakan epitel jalan napas. Peningkatan usaha napas dan densitas gas akibat penyelaman akan menyebabkan peningkatan kerja otot napas dan kapasitas vital (KV)

Pembahasan

Menyelam adalah aktivitas bawah air yang sukar dan dapat mempengaruhi struktur dan fungsi tubuh. Setiap orang yang melakukan penyelaman mungkin harus berenang cepat pada keadaan gawat darurat untuk menolong pasangan menyelamnya dan harus bertahan terhadap pajanan yang terjadi.1 Penyelam akan terpajan oleh beberapa faktor selama penyelaman seperti risiko tenggelam, turunnya suhu dan peningkatan tekanan lingkungan. Semua hal ini akan berpengaruh terhadap perubahan hemodinamik berupa peningkatan aliran darah dari perifer ke rongga dada sehingga meningkatkan volume darah intratoraks sekitar 700 ml yang akan menurunkan volume paru secara mekanis sekitar 300 ml dari KV yang mirip dengan pajanan suhu rendah. Peningkatkan tekanan PO2 dan PN2 di dalam darah berhubungan dengan penurunan cardiac output karena penurunan denyut jantung dan isi sekuncup.5

Efek merokok pada faal paru penyelam diteliti oleh Suzuki. Didapatkan tidak ada perbedaan nilai KVP, VEP1 , FEF75 antara dua kelompok penyelam perokok dan tidak perokok namun APE pada perokok secara bermakna lebih rendah. Peneliti menyimpulkan volume paru penyelam lebih besar nilainya dibanding populasi umum.17 Ambilan oksigen maksimal adalah ukuran kesehatan seorang atlet yang dinilai dari rerata O2 tertinggi yang dapat dikonsumsi tubuh per menit saat latihan maksimal. Weber dkk.dikutip dari 18 menyatakan VO2 maks adalah ambilan O2 yang tetap atau berubah kurang dari 1 ml/menit/kgBB selama 30 detik atau lebih pada perubahan beban kerja atau uji latih yang bertambah. Kenaikan VO2 maks akan berhubungan secara linier dengan kenaikan beban kerja sampai tahap maksimal dan selanjutkanya akan mendatar. Titik ini memperlihatkan konsumsi oksigen menjadi mendatar memperlihatkan jumlah O2 maksimal yang dapat digunakan tubuh atau VO2 maks. Kondisi ini merupakan indikator terbaik untuk menilai ketahanan kardio- respirasi dan kemampuan aerobik seseorang.

Pada tahun 2012 kasus PAK dan KAK meningkat menjadi 103.000 kasus. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) di Indonesia belum berjalan dengan baik. Masalah K3 tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah tetapi tanggung jawab dari semua pihak terutama pengusaha, tenaga kerja dan masyarakat. Pelaksanaan SMK3 adalah salah satu bentuk upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari PAK dan KAK, pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja. (JKS 2015; 2: 91-95).

FISIKA PENYELAMAN

Penyelaman pada kedalaman lebih dari 20 meter berisiko besar terhadap keselamatan dan kesehatan penyelam sehingga harus dilakukan dengan syarat tertentu dan menggunakan alat selam terstandar. Penyelaman berdampak terhadap organ terutama paru. Hukum fisika berperan penting menjelaskan proses pengaruh tekanan kedalaman bawah laut terhadap tubuh dan organ manusia. Unsur fisika berperan pada proses penyelaman yaitu tekanan, suhu, serta komposisi gas. Penyelam harus mentoleransi dan mengkompensasi perubahan tekanan, suhu dan komposisi gas. 30,31

a. Tekanan

Tekanan adalah faktor lingkungan terpenting mempengaruhi penyelam. Pada saat penyelaman tekanan atmosfer di permukaan laut dengan di dalam laut berbeda. Tubuh penyelam akan terpapar peningkatan tekanan berbanding lurus dengan kedalaman. Paparan tekanan dihitung berdasar gaya per satuan luas yaitu Newton per meter persegi. Perubahan paru, peredaran darah, dan jantung penyelam diinduksi oleh tekanan didalam air. Hukum Pascal menyatakan bahwa tekanan terdapat di permukaan cairan akan menyebar ke seluruh arah secara merata dan tidak berkurang pada setiap tempat di bawah permukaan laut. Kompresi terhadap penyelam berasal dari dua unsur yaitu tekanan air dan tekanan atmosfir diatasnya. Tekanan akan meningkat bila seseorang menyelam di bawah permukaan air karena perbedaan berat dari atmosfir dan berat air di atas penyelam.30,31

Tekanan atmosfir adalah berat atmosfir pada permukaan tubuh bervariasi sesuai ketinggian di atas permukaan air laut dan kondisi cuaca lokal. Tekanan atmosfir konstan yaitu 760 milimeter Hidragyrum (mmHg) setara 14,7 Pounds per square inch (Psi) dijadikan dasar ukuran untuk 1 atmosfir (ATM). Tekanan akan meningkat 1 ATA untuk setiap kedalaman 10 m atau 33 kaki. Hukum fisika berhubungan dengan penyelaman dan tekanan yaitu hukum Boyle, Dalton, Charles, dan Henry.31,32

Hukum Boyle menyatakan bila suhu absolut dipertahankan konstan maka volume gas akan berbanding terbalik dengan tekanan absolutnya. Hukum Boyle berlaku terhadap semua gas-gas di dalam ruangan-ruangan tubuh sewaktu penyelam masuk ke dalam air maupun sewaktu naik ke permukaan. Volume udara rongga tubuh akan mengecil secara proporsional ketika menuju kedalaman dan sebaliknya udara yang mengisi rongga tubuh akan membesar secara proporsional ketika menyelam naik. Penyelam yang menghirup napas penuh di permukaan akan merasakan paru-parunya semakin lama semakin tertekan oleh air di sekelilingnya sewaktu penyelam tersebut turun.30,32

Tekanan udara di dalam paru-paru seimbang dengan tekanan udara atmosfer sebelum menyelam yaitu rata-rata 760 mmHg atau 1 ATM pada permukaan laut. Udara akan mengalir ke dalam paru saat menyelam sehingga tekanan udara di dalam paru harus lebih rendah daripada tekanan udara atmosfer. Kondisi tersebut diperoleh dengan membesarnya volume paru. Sebagai contoh apabila seorang penyelam SCUBA menghirup napas penuh atau sebanyak 6 liter ke kedalaman 10 meter atau 2 ATA dengan menahan napas maka udara di dalam dadanya akan berlipat ganda volumenya menjadi 12 liter dan penyelam tersebut harus menghembuskan 6 liter udara saat naik ke permukaan untuk menghindari agar paru- parunya tidak meledak.31,32

Hukum Dalton menyatakan bahwa jumlah tekanan suatu campuran gas adalah jumlah tekanan parsial tiap gas yang membentuk campuran gas jika menempati seluruh ruang. Tekanan parsial tiap gas meningkat selama tekanan meningkat keseluruhan. Udara adalah suatu campuran yang terdiri dari oksigen 20% dan nitrogen (N2) 80%. Tekanan parsial suatu gas di dalam campuran diperoleh dengan mengalikan persentase gas dengan tekanan total pada tekanan sesuai kedalaman. Hukum Charles menyatakan bila tekanan konstan, volume dari sejumlah gas tertentu adalah berbanding lurus dengan suhu absolut. Hukum Charles berhubungan dengan sifat kompresi dan dekompresi gas juga berkaitan dengan gas dalam aliran darah berwujud cair di tubuh manusia yang dapat menjadi lewat jenuh saat menyelam dalam udara( tabung ).

Di permukaan laut (1 ATA) dalam tubuh manusia terdapat kira-kira 1 liter larutan nitrogen. Apabila seorang penyelam turun sampai kedalaman 10 meter (2 ATA) tekanan parsial dari nitrogen yang dihirupnya menjadi 2 kali lipat dan akhirnya yang terlarut dalam jaringan juga menjadi 2 kali lipat (2 liter). Waktu sampai terjadinya keseimbangan tergantung pada daya larut gas di dalam jaringan dan pada kecepatan suplai gas ke dalam jaringan oleh darah. Hal tersebut sesuai dengan hukum Henry. Hukum Henry menetapkan bahwa ketika tekanan parsial gas meningkat maka lebih banyak gas yang terlarut dalam seluruh cairan sampai terjadi saturasi. Oksigen untuk metabolisme dan nitrogen adalah gas inert disebarkan keseluruh sirkulasi cairan tubuh meningkat seiring peningkatan tekanan. Gas terlarut menjadi supersaturasi dan dilepaskan sebagai gelembung gas ketika tekanan menurun. Hukum Henry tersebut berpengaruh tidak langsung pada penyakit dekompresi. Rumus persamaan hukum Boyle, Dalton, Charles, dan Henry dijelaskan pada tabel satu.

         Hukum fisikaRumus persamaan
BoylePV = konstan = P1V1 = P2V2
DaltonP total = P1 + P2 + P3 + …
CharlesV/T = konstan = V1/T1 =V2/T2
HenryHi = Csi /pi
Tabel 1. Rumus Persamaan hukum Boyle, Dalton, Charles, dan Henry

Keterangan : P: tekanan gas pada suhu tetap; V: volume gas pada suhu tetap; P1: tekanan gas pada keadaan 1, V2: volume gas pada keadaan 1; P2: tekanan gas pada keadaan 2, V2: volume gas pada keadaan 2; P total: tekanan parsial gass kumulatif; Hi: konstanta sifat gas; Csi: konsentrasi maksimum kejenuhan senyawa; pi: tekanan parsial gas.

Perubahan respons paru bersifat reversibel dan ireversibel berupa penurunan ventilasi, peningkatan ruang rugi fisiologis dan volume cadangan ekspirasi. Peningkatan tekanan hidrostatik menyebabkan peningkatan perbedaan tekanan alveolar dengan dinding dada. Peningkatan tekanan alveoler memicu kontraksi otot napas inspirasi mengatasi dispnea akibat penurunan KV. Penurunan aliran ekspirasi diakibatkan oleh aliran turbulen. Peningkatan ruang rugi pernapasan akibat fenomena choke yaitu penurunan diameter saluran napas distal karena resistensi saluran napas. Peningkatan resistensi memicu kontraksi otot napas dengan meningkatkan frekuensi nafas.

b. Suhu

Penyelam terpapar suhu air yang menyebabkan hilangnya panas secara progresif selama penyelaman. Hipotermia terjadi pada penyelam tanpa pakaian pelindung dan suhu air di bawah suhu termoneutral atau setara dengan 93-95ᵒ Fahrenheit (F). Penyelam pada suhu air tropis atau setara 76–82ᵒ F memerlukan beberapa bentuk pakaian pelindung termal untuk penyelaman yang aman. Perlindungan termal efektif dalam mencegah hipotermia dan disesuaikan dengan suhu air yang diharapkan. Penurunan suhu lingkungan sekitar saat penyelaman mempengaruhi mukosa saluran napas. Suhu air laut dan perairan dipengaruhi cuaca, musim, dan iklim.36,37

Suhu bawah air makin menurun seiring penurunan kedalaman. Suhu dingin memicu bronkokonstriksi saluran napas. Stres dingin memicu peningkatan volume oksigen (VO2) untuk menghasilkan panas metabolik dan meminimalkan perubahan suhu tubuh. Denyut jantung meningkat sebagai upaya mempertahankan sirkulasi tubuh akibat penurunan suhu. Vasokonstriksi terjadi sebagai respons refleks terhadap penyelaman dan suhu tubuh yang lebih rendah. Mukosa saluran napas cenderung kering akibat suhu dingin berakibat kerentanan kapiler terhadap jejas. Tekanan tinggi disertai paparan oksigen tinggi terhadap saluran napas kering akibat suhu dingin menyebabkan cedera saluran napas. Cedera saluran napas berulang penyelam mempengaruhi penurunan faal paru yaitu VEP1. Penyelam tidak mematuhi aklimatisasi dan waktu penyelaman menunjukan penurunan VEP1 lebih besar. Kebutuhan energi untuk berenang di bawah air juga mengharuskan penyelam mempertahankan tingkat kecukupan fisik yang wajar.

c. Komposisi Gas

Udara bebas terdiri atas komposisi nitrogen lebih besar dibanding oksigen. Tabung selam berisi udara campuran terdiri dari oksigen, helium-oksigen, helium- nitrogen-oksigen, serta hidrogen-nitrogen-oksigen. Komposisi udara berpengaruh terhadap kelarutan gas didalam darah. Fisiologis tubuh penyelam menghadapi stresor fisika yaitu peningkatan tekanan hidrostatik, densitas gas, tekanan parsial gas, serta kelarutan gas. Strain penyelaman adalah respons fisiologis tubuh menghadapi beban perbedaan lingkungan. Posisi penyelam, perubahan tekanan lingkungan penyelaman, aktivitas fisik bawah air, dan peningkatan densitas gas berakibat maladaptasi organ tubuh. Peningkatan densitas gas memicu perubahan aliran gas, penurunan aliran ekspirasi, dan peningkatan ruang rugi pernapasan.40,41 Penyelam saat menghirup udara pada tekanan 6 ATA maka tekanan partial oksigen (PO2) yang diinspirasi akan menjadi sekitar 126 kilo pascal (kPa) atau setara 945 mmHg dan PO2 alveolar adalah sekitar 120 kPa atau setara 900 mmHg. Hal ini di bawah ambang batas untuk oxygen convulsion yaitu sekitar 2 ATA tetapi di atas ambang batas toksisitas oksigen paru jika paparan diteruskan selama lebih dari beberapa jam. Pada kondisi di atas permukaan laut gas nitrogen terdapat dalam udara pernapasan sebesar 79%. Nitrogen tidak mempengaruhi fungsi tubuh karena sangat kecil yang larut dalam plasma darah karena rendahnya koefisien kelarutan pada tekanan di atas permukaan laut. Nitrogen membatasi seberapa dalam udara dapat dihirup dan memiliki tiga efek yang tidak diinginkan.40,41,42

Helium adalah gas inert pengencer yang lebih disukai pada tekanan yang lebih besar dari 6 ATA. PO2 inspirasi sekitar 0,5 ATA (50 kPa atau 375 mmHg) diberikan untuk memberikan margin keamanan jika terjadi kesalahan dalam pencampuran gas dan untuk memberikan perlindungan terhadap hipoventilasi atau pertukaran gas yang rusak. Tingkat PO2 ini berada di bawah ambang batas toksisitas oksigen paru bahkan selama saturation dives yang panjang. Masalah khusus pada helium adalah konduktivitas panasnya yang sangat tinggi yang cenderung menyebabkan hipotermia kecuali lingkungan penyelam dipanaskan. Kehilangan panas secara radiasi dan evaporasi umumnya tidak berubah, tetapi kehilangan panas secara konveksi dari saluran pernapasan dan kulit sangat meningkat. Sehingga ruangan dipertahankan pada suhu setinggi 30 sampai 32° C selama saturation dives dengan campuran helium-oksigen. Tekanan yang dapat dicapai saat menghirup campuran helium-oksigen saat ini dibatasi oleh high-pressure nervous syndrome (HPNS). High-pressure nervous syndrome adalah keadaan hipereksitasi dari sistem saraf pusat yang disebabkan oleh tekanan hidrostatik perdetik dan tidak adanya perubahan tekanan parsial gas. High-pressure nervous syndrome pertama kali terlihat pada tekanan sekitar 20 ATA dan menjadi masalah serius bagi penyelam dengan tekanan lebih dari 50 ATA.41,42,43

PENGARUH PENYELAMAN TERHADAP KARDIORESPIRASI

Penyelam terpajan oleh beberapa faktor mempengaruhi organ kardiorespirasi. Pengaruh suhu dingin dan udara kering di jalan napas menyebabkan kehilangan panas. Lingkungan bawah air memberikan tekanan ke paru yaitu paparan tekanan ambien tinggi, perubahan karakteristik gas, dan efek kardiovaskular pada sirkulasi pulmonal. Penyelam terpajan oleh beberapa faktor selama penyelaman yaitu risiko tenggelam, penurunan suhu, dan peningkatan tekanan lingkungan.43,44

Potensi bahaya keadaan gawat darurat untuk menolong pasangan menyelamnya dengan berenang cepat menimbulkan perubahan hemodinamik berupa peningkatan aliran darah dari perifer ke rongga dada. Peningkatan aliran darah perifer ke rongga dada meningkatkan volume darah intratoraks 700 mililiter (ml) sehingga menurunkan volume paru secara mekanis 300 ml dari KV. Peningkatkan tekanan PO2 dan tekanan PN2 di darah menyebabkan penurunan cardiac output (CO) karena penurunan denyut jantung dan isi sekuncupnya atau stroke volume (SV) jantung.44,45

Dampak menyelam pada fungsi paru tergantung faktor paparan menyelam individual. Subjek rentan menunjukan perburukan fungsi paru signifikan bahkan setelah penyelaman di air dangkal. Peningkatan PO2 selama penyelaman dapat menyebabkan kerusakan epitel jalan napas. Peningkatan usaha napas dan densitas gas akibat penyelaman akan menyebabkan peningkatan kerja otot napas dan KV. Perubahan efek merugikan jangka panjang akibat menyelam di paru yaitu penyakit saluran napas kecil dan percepatan penurunan fungsi paru. Paparan berulang stres oksidatif penyelam menyebabkan kerusakan epitel saluran napas serta destruksi jaringan penyangga sehingga menimbulkan efek seperti penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Percepatan penurunan fungsi paru akibat menyelam terjadi karena paparan paru dan saluran udara terhadap hiperoksia dan stres dekompresi. Perubahan fungsi paru dan vaskular setelah penyelaman sering berada pada fase subklinis. Perubahan fungsi VEP1 paru diduga dipengaruhi oleh lama penyelaman, suhu dingin lingkungan, dan tekanan dekompresi. Penelitian cross-sectional menunjukkan bahwa penyelam memiliki volume paru besar dan rasio VEP1/KVP lebih rendah menandakan adanya penyakit saluran udara obstruktif atau keterbatasan aliran udara.45,46

Perubahan patologis paru penyelam dapat berkembang menjadi pulmonary oxygen toxocity (POT) atau disebut juga toksisitas oksigen pulmonal. Pulmonary oxygen toxocity terjadi akibat hiperoksia jika PO2 adalah antara 50-300 kPa atau setara 375–2250 mmHg. Fase akut POT bersifat reversibel mengarah ke perubahan patologis ireversibel. Fase akut POT diikuti fase kronis disebut biphasic. Fase akut ditandai eksudasi dan edema interstisial serta alveolar. Perubahan patologis fase akut ditandai kehilangan sel epitel tipe 1 alveolar, penghancuran endotelium kapiler pulmonal, distensi limfatik, edema septum alveolar, dan infiltrat sel inflamasi. Fase eksudatif akut POT dimulai setelah 8 jam pernapasan oksigen dan berlangsung 5–12 hari jika paparan oksigen dilanjutkan. Perubahan patologis fase akut bersifat reversibel meskipun dapat mengancam nyawa. Fase kronis POT disebut juga fase proliferasi ditandai oleh peningkatan sel alveolar tipe 2. Fungsi sel alveolar tipe 2 adalah menggantikan semua sel alveolar tipe 1 yang rusak. Fase proliferasi mengaibatkan penghalang darah-udara meningkat karena peningkatan viskositas 4- 5 kali. Fase proloferasi POT bersifat ireversibel sehingga akan terus berlangsung meskipun paparan oksigen dihentikan.

PenyebabPerubahan patofisiologisEfek samping klinis
Peningkatan tekanan  
OksigenHiperoksiaStres oksidatif
  Inflamasi saluran napas
NitrogenMikrobubble gas venaPenurunan kapasitas difusi
  Hipertensi pulmonal
TenggelamPengumpulan darah sentralSesak napas
 Penurunan komplians paru 
SCUBA  
Gas napasGas kering dan dinginKehilangan suhu pernapasan
 Peningkatan densita gasInflamasi saluran napas
 Peningkatan resistensi saluran napasObstruksi saluran napas
  Sesak napas
Regulator tekananPeningkatan usaha napasSesak napas
  Pengeringan dan pendinginan mukosa saluran napas
Pengerahan tenagaPeningkatan kerja pernapasanSesak napas Retensi karbon
  dioksida (CO2)
  Exertion induces bronchoconstriction
  Kegagalan fungsi kapiler
  Edema paru
AirPeningkatan konduksi dan konveksi panasCold stress
 Peningkatan kehilangan panas saluran napasHipotermia Hipopnea Apnea
Pengaruh penyelaman terhadap paru dijelaskan pada tabel dua.

PENYAKIT AKIBAT PENYELAMAN

Penyakit berhubungan dengan penyelaman bermacam-macam. Penyebab penyakit penyelaman tersering adalah penyakit dekompresi. Barotrauma penyakit akibat tekanan, penurunan visibilitas, narkosis gas selam, serta emboli udara adalah gangguan akibat penyelaman. Penatalaksaan penyakit akibat penyelaman disesuaikan dengan proses patogenesis penyakit. Pencegahan kejadian penyakit akibat penyelaman adalah lebih baik karena sebagian besar korban tidak selamat akibat keterlambatan dan jarak jauh saat proses transpor ke fasilitas kesehatan.

a. Barotrauma

Barotrauma di organ paru menimbulkan peregangan yang berlebihan di jaringan paru. Proses barotrauma paru terjadi saat naik atau turun kedalaman. Barotrauma paru waktu turun jarang terjadi baik pada breath hold diving maupun penyelaman dengan alat selam. Breath hold diving selam tanpa alat tetap mempunyai resiko mengalami barotrauma paru descent karena penyelam tidak mempunyai suplai udara untuk mengequalisasi tekanan intrapulmonal dengan tekanan sekeliling. Tekanan intrapulmonal dipertahankan sama dengan sekeliling dengan menurunkan volume paru saat fase permulaan breath hold diving.53,54

Barotrauma paru waktu naik kepermukaan terjadi akibat penurunan tekanan sekeliling dan sesuai hukum Boyle. Volume udara didalam paru ikut mengembang ketika naik ke permukaan. Keterlambatan ekshalasi memicu udara terperangkap, pengembangan berlebih volume paru (overdistension of the lungs), serta peningkatan tekanan intrapulmonal. Ruptur paru (brust lung) terjadi ketika overdistensi melebihi batas elastisitas paru.

b. Emfisema paru

Penyelam terpapar gas padat di bawah kondisi hiperbarik dan hiperoksik sehingga berisiko terkena penyakit pernapasan. Efek jangka panjang gangguan fungsi pernafasan telah dilaporkan pada penyelam komersial yang melakukan penyelaman dalam. Paru penyelam terpapar gas hiperoksia di kedalaman dan terjadi dekompresi tekanan saat naik ke permukaan. Penyelaman meningkatkan reaksi stres oksidatif dan decompression sickness menyebabkan kerusakan dan menimbulkan reaksi inflamasi saluran nafas. Perubahan struktur jalan napas akibat inflamasi DCS. Malondialdehid (MDA) dan Leukotrien B4 (LTB4) digunakan sebagai biomarker stres oksidatif pada saluran nafas akibat penyelaman. Peningkatan MDA dan LTB4 menjadi penanda kelainan saluran nafas kecil atau small airway disease.

c. Emboli pembuluh darah

Mikroembolism gas didalam vena terjadi ketika peyelam naik kepermukaan terlalu cepat tanpa adaptasi cukup. Penurunan kedalaman, peningkatan densitas gas, dan alat bantu pernapasan penyelam mempengaruhi ventilasi secara mekanis. Penyelaman di perairan dangkal 0-50 meter (m) di air laut menggunakan perlatan scuba berisiko terkena penyakit dekompresi. Emboli udara terjadi akibat masuknya gas dari alveoli ke sistem vena paru.

Emboli gas terbawa ke jantung dankemudian masuk ke dalam sistem sirkulasi arterial sehingga menimbulkan obstruksi emboli gas di pembuluh koroner, serebral dan lainya. Emboli udara terjadi ketika distensi hebat paru, pembuluh darah kecil, dan peregangan kapiler. Gejala klinis emboli udara yaitu kehilangan kesadaran, gelisah, konvulsi, gangguan penglihatan, vertigo, gangguan saraf sensorik, nyeri dada, aritmia. Emboli gas berpotensi menimbulkan cerebrovasscular accident (CVA) susunan saraf pusat (SSP) bila terjadi lebih dari 30 menit. Terapi emboli udara yaitu rekompresi dengan menggunakan ruang udara bertekanan tinggi atau hiperbarik chamber.

d. Edema Paru

Edema paru saat menyelam terjadi akibat peningkatan afterload hipereaktivitas vaskular dipicu oleh suhu dingin ditambah peningkatan preload lingkungan bawah air hiperbarik. Tiga mekanisme akumulasi cairan ekstravaskular edema paru penyelam yaitu imersi air bersuhu dingin menimbulkan gradien tekanan hidrostatik terhadap tubuh menyebabkan pergeseran darah vena perifer. Imersi air menyebabkan efek pengumpulan darah sehingga terjadi redistribusi darah ke vascular bed pembuluh darah paru. Mekansisme ketiga penyebab edema paru yaitu kontraksi intens diafragma otomatis selama fase menahan napas menghasilkan pergeseran darah dari kapiler paru ke alveoli. Kegagalan kapiler menahan tekanan menyebabkan akumulasi air di kapiler paru. Edema paru akut non-kardiogenik terjadi akibat permeabilitas kapiler paru meningkat, atau ketika tekanan hidrostatik kapiler paru melebihi tekanan plasma onkotik kardiogenik.

e. Emfisema Kutis

Peneliti Edmonds tahun 2006 membagi akibat barotrauma paru saat naik kepermukan menjadi empat yaitu kerusakan jaringan paru, emfisema subkutis, pneumotoraks, dan emboli udara. Emfisema subkutis terjadi akibat ruptur alveoli diikuti pelepasan gas ke jaringan interstitial paru. Gas menyebar disepanjang jaringan renggang di sekitar pembuluh darah besar dan jalan napas menuju hilus kemudian ke mediastinum dan leher menimbulkan emfisema mediastinalis dan subkutan.71,72

Gejala klinis emfisema subkutis yaitu nyeri di bawah sternum, penyempitan batas jantung, peredupan suara jantung, atau krepitasi suara jantung. Pneumotoraks terjadi akibat robekan pleura visceralis sehingga udara masuk kedalam cavum pleura dan menimbulkan pneumotorak. Pneumotoraks disertai perdarahan disebut hemopneumotoraks. Udara terperangkap didalam cavum pleura terus mengembang dan menimbulkan kenaikan tekanan selama naik ke permukaan. Gejala klinis nyeri pleural mendadak di daerah cavum pleura terkena, dispneu dan takipneu.

EFEK MENYELAM PADA FUNGSI PARU

Nilai faal paru dipengaruhi berbagai faktor yaitu umur, TB, jenis kelamin dan latihan fisik. Nilai faal paru tertinggi dicapai umur 19-21 tahun karena fungsi pernapasan dan sirkulasi darah meningkat dari masa usia anak menjadi optimal pada umur 20-30 tahun kemudian menurun karena penuaan. Difusi, ventilasi, ambilan oksigen dan semua parameter faal paru akan turun sesuai pertambahan umur setelah mencapai titik maksimal pada umur dewasa muda. Tes fungsi paru menggunakan spirometri dilakukan secara teratur terhadap penyelam. Fungsi paru optimal penting untuk meminimalkan risiko penyelaman.82,83

a. Efek Jangka Pendek

Resistensi jalan napas berbanding lurus dengan densitas gas ketika aliran laminar. Peningkatan kepadatan rongga toraks pada kondisi tekanan tinggi dibawah permukaan air akan meningkatkan resistensi jalan napas. Tekanan ambien tinggi menghasilkan peningkatan densitas gas menghasilkan aliran di saluran napas besar menjadi turbulen dan meningkat secara substansial. Kapasitas pernapasan berbanding terbalik dengan akar kuadrat kerapatan gas sehingga pada kedalaman 30 m ventilasi volunter maksimum berkurang 50% dibandingkan dengan nilai permukaan laut. Keterbatasan ventilasi di kedalaman terjadi karena peningkatan kepadatan gas membatasi kapasitas paru. Kapasitas paru di lingkungan menyelam lebih rendah dari kapasitas sistem kardiovaskular. Peningkatan usaha pernapasan di bawah air menyebabkan penurunan ventilasi alveolar berakibat hiperkarbia. Hipoventilasi penyelam diperparah oleh pencampuran gas paru buruk akibat difusi gas rendah di lingkungan padat.83,84

Penelitian menunjukkan menyelam di ruang kering RUBT menggunakan udara sebagai gas pernapasan menunjukan perubahan aliran ekspirasi atau volume paru hingga 24 jam serta penurunan sementara dalam diffusion capacity of the lung for carbon monoxide (DLCO) setelah kedalaman simulasi 39-87 m. Penurunan fungsi paru mencapai maksimum pada 20 menit setelah penyelaman berkorelasi dengan microbubbles gas vena yang terdeteksi menggunakan ultrasonografi Doppler. Subjek menghirup oksigen murni selama dekompresi tidak menunjukkan mikrobubbles atau penurunan DLCO signifikan. Microbubbles gas vena mikro menyebabkan perubahan DLCO setelah menyelam. Penurunan kapasitas difusi secara signifikan lebih tinggi pada subjek yang memiliki microbubbles gas vena dibandingkan dengan subyek tanpa microbubbles gas vena.

Penurunan kapasitas difusi pada kedalaman dangkal tidak berhubungan dengan tekanan dekompresi tetapi karena edema paru subklinis atau atelektasis.84,85,86

Toksisitas oksigen memicu perubahan fungsi paru setelah saturation dives dengan paparan O2 konsentrasi tinggi. Penyelam saturation dives mengalami perubahan setelah 21 hari menunjukan peningkatan KVP dan APE, serta penurunan DLCO. Tanda-tanda klinis toksisitas oksigen paru dan penurunan DLCO terjadi pada tekanan parsial oksigen yang dianggap aman (<50 kPa). Terdapat korelasi kuat diperoleh antara penurunan kapasitas difusi paru dan paparan hiperoksia kumulatif. Perubahan fungsi paru setelah saturation dives disebabkan oleh mekanisme counteracting volume paru statis dan dinamis serta pertukaran gas paru.85,86

b. Efek Jangka Panjang

Lingkungan menyelam memberikan tekanan ke paru akibat paparan tekanan tinggi, perubahan karakteristik gas, dan efek kardiovaskular sirkulasi paru. Multifaktor penyelaman mempengaruhi fungsi paru secara akut dan berpotensi menyebabkan efek berkepanjangan terakumulasi secara bertahap dengan paparan penyelaman berulang. Bukti eksperimen penyelaman penelitian longitudinal menunjukkan efek buruk jangka panjang dari menyelam terhadap paru penyelam komersial, yaitu penyakit saluran napas kecil dan percepatan penurunan fungsi paru. Bukti penelitian menunjukkan bahwa menyelam dengan SCUBA memungkinkan perubahan pada fungsi paru setelah berhubungan dengan immersion, suhu dingin sekitar, dan stres dekompresi, perubahan fungsi paru-paru meskipun tidak bermakna. Dampak penyelaman pada fungsi paru sangat tergantung faktor paparan menyelam individu. Subjek rentan secara klinis maka perburukan fungsi paru dapat terjadi bahkan setelah penyelaman scuba air dangkal.

Peneliti Lorrain-Smith di tahun 1899 menunjukkan menghirup oksigen dengan tekanan parsial lebih tinggi dari 50 kPa penyelam menyebabkan kerusakan paru, edema paru dan inflamasi saluran napas. Inflamasi paru akibat PO2 tinggi meningkatkan konsentrasi oksida nitrat yang dihembuskan. Penyelam mengalami proses peningkatan konsentrasi darah di rongga toraks. Konsentrasi darah rongga toraks meningkakan perbaikan ventilasi.

Penyelam profesional terlatih memiliki volume paru lebih besar dibandingkan orang biasa. Kapasitas vital paksa penyelam bernilai lebih besar dibanding VEP1 yang menyebabkan penurunan rasio VEP1/KVP akibat efek menahan napas dan tahanan selama penyelaman. Penelitian faal paru penyelam menunjukan penurunan forced expiratory flow 25-50 (FEF25-50) berhubungan dengan lama menyelam. Penelitian Skogstad selama 3 tahun pada penyelam menunjukkan penurunan nilai VEP1 bermakna berhubungan dengan perubahan fungsi jalan napas kecil. Penurunan nilai VEP1 penyelam menunjukan nilai lebih bermakna dibanding orang normal. Penelitian Crosbie mendapatkan penurunan rasio nilai VEP1/KVP seiring peningkatan nilai KVP. Penurunan rasio VEP1/KVP penyelam disertai penurunan nilai transfer factor of the lung for carbon monoxide (TLCO).Peningkatan volume paru penyelam berhubungan rasio nilai VEP1/KVP mirip dengan kondisi PPOK disebut sebagai large lung. Penelitian Davey menunjukan hubungan bermakna antara kedalaman penyelaman dengan nilai KVP namun tidak berhubungan dengan VEP1.

Volume dan kapasitas paru

Cara Menghindari Risiko Kesehatan Saat Menyelam

Agar lebih aman dan terhindar dari penyakit penyelam, sebaiknya para penyelam memperhatikan aturan keamanan berikut ini:

  • Mengecek terlebih dahulu dengan saksama peralatan selam dan diperiksa ulang oleh orang yang berkompeten (sebelum dan sesudah menyelam)
  • Gunakan peralatan selam, termasuk baju menyelam, yang telah memenuhi standar
  • Jangan pernah menyelam sendirian
  • Ketahui cara mengatasi keadaan darurat di bawah air
  • Jangan mencoba menyelam lebih lama atau lebih dalam dari rencana awal sebelum menyelam
  • Naik ke permukaan dengan perlahan dan bertahap (berhenti sesaat di kedalaman tertentu)

KESIMPULAN

  • Tekanan akan meningkat bila seseorang menyelam di bawah permukaan air karena perbedaan berat dari atmosfir dan berat air di atas penyelam.
  • Perubahan respons paru bersifat reversibel dan ireversibel berupa penurunan ventilasi, peningkatan ruang rugi fisiologis dan volume cadangan ekspirasi. Peningkatan tekanan hidrostatik menyebabkan peningkatan perbedaan tekanan alveolar dengan dinding dada.
  • Penatalaksaan penyakit akibat penyelaman disesuaikan dengan proses patogenesis penyakit. Pencegahan kejadian penyakit akibat penyelaman adalah lebih baik karena sebagian besar korban tidak selamat akibat keterlambatan dan jarak jauh saat proses transpor ke fasilitas kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Farrel P, Godden D, Curie G, Denison D, Ross J, Stephenson R, et al. British thoracic society guidelines on respiratory aspects of fitness for diving. Thorax 2003;58:3-13.
  2. Tetzlaff K,Theysohn J, Stahl C, Schlegel S, Koch A, Muth CM. Decline of FEV1 in scuba divers. Chest 2006;130:238-43.
  3. Adriano B, Sitepu BI, Kartarahardja S, Sutjiadi RH. Buku petunjuk one star scuba diver CMAS Indonesia. Dewan Instruktur Selam Indonesia 2005.
  4. Glen S, White S, Douglas J. Medical supervision of sport diving in Scotland: reassessing the need for routine medical examination. Br J Sports Med 2000;34:375-8.
  5. Boussuges A, Blanc F, Carturan D. Hemodynamic changes induced by recreational scuba diving. Chest 2006;129:1337-43.
  6. Sherwood L, The respiratory system. In: Sherwood L, editor. Textbook of medical physiology. 5th ed. Beldmont: Wadsworth Publishing. 1996. p.448- 50.
  7. Wilmshurst P. Diving and oxygen. BMJ 1998;317:996-9.
  8. Tetzlaff K, Friege L, Reuter M, Haber J, Mutzbauer T, Neubauer B. Expiratory flow limitation in compressed air divers and oxygen divers. Eur Respir J 1998;12:895–9
  9. Skogstad M, Thorsen E, Haldorsen T. Lung function over the first 3 years of a professional diving career. Occup Environ Med 2000;57:390–5.
  10. 10. Crosbie WA, Reed JW, Clarke MC. Functional characteristics of the large lungs found in comercial divers. J Appl Physiol 1979;46:639-45