Patofisiologi dan Terapi Gangguan Pendengaran dan Tinnitus pada Penyelaman Serta Peran Hyperbaric Oxygen Therapy (HBOT)

Source: gambar ilustrasi pixabay.com


Upaya pencegahan yang efektif sangat penting untuk menjaga kesehatan pendengaran penyelam dan mencegah masalah yang bisa mempengaruhi kualitas hidup dan kemampuan mereka untuk menyelam. Artikel ini membahas berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah gangguan pendengaran dan tinnitus pada penyelaman, serta strategi yang telah terbukti efektif dalam mengurangi risiko ini.
Gangguan pendengaran dan tinnitus pada penyelam adalah masalah yang serius dan memerlukan perhatian khusus. Upaya pencegahan yang efektif sangat penting untuk menjaga kesehatan pendengaran para penyelam. Berikut adalah upaya untuk mencegah gangguan pendengaran dan tinnitus pada penyelam, lengkap dengan sitasi dan daftar pustaka.
Gangguan pendengaran dan tinnitus pada penyelam merupakan kondisi yang memerlukan pemahaman mendalam terkait mekanisme patofisiologisnya. Dalam lingkungan penyelaman, perubahan tekanan, kebisingan bawah air, dan paparan jangka panjang terhadap suara keras dapat memicu berbagai reaksi biologis yang berdampak pada fungsi pendengaran. Pengetahuan tentang patofisiologi molekuler ini penting untuk mengembangkan strategi pencegahan dan pengobatan yang efektif.


Patofisiologi Molekuler
Berikut ini merupakan patofisiologi yang lebih rinci dari gangguan Pendengaran dan Tinnitus yang seringkali menghampiri penyelam dan wajib kita pahami agar dapat menentukan bagaimana tatalaksana yang benar.

Sumber : https://www1.racgp.org.au/ajgp/2020/august/diving-related-otological-injuries

  1. Gangguan Pendengaran
    A. Mekanisme Tekanan

    Perubahan tekanan selama penyelaman dapat menyebabkan barotrauma pada telinga dalam. Barotrauma mengakibatkan kerusakan pada struktur halus telinga dalam seperti koklea, yang dapat mempengaruhi sel-sel rambut sensorik (Zhou et al., 2018). Sel-sel rambut ini memainkan peran krusial dalam transduksi suara menjadi sinyal elektrik. Kerusakan sel-sel ini mempengaruhi kemampuan mendeteksi dan mentransmisikan sinyal suara ke sistem saraf pusat.
    B. Stres Oksidatif
    Lingkungan hiperbarik dapat meningkatkan produksi spesies oksigen reaktif (ROS) yang menyebabkan stres oksidatif pada sel-sel pendengaran. ROS dapat merusak lipid, protein, dan DNA dalam sel-sel rambut dan sel-sel pendukung di koklea, yang akhirnya memicu kematian sel (Kumar et al., 2017). Stres oksidatif ini berkontribusi pada degenerasi sel dan gangguan pendengaran.
    C. Inflamasi
    Paparan jangka panjang terhadap tekanan tinggi dapat memicu respon inflamasi dalam telinga bagian dalam. Aktivasi jalur inflamasi, termasuk produksi sitokin pro-inflamasi seperti TNF-α dan IL-1β, berkontribusi pada kerusakan jaringan dan gangguan pendengaran (Niu et al., 2020). Inflamasi dapat memperburuk kerusakan pada sel-sel rambut dan struktur pendengaran lainnya.
  2. Tinnitus
    A. Aktivasi Jalur Auditori

    Tinnitus sering kali dikaitkan dengan perubahan dalam jalur auditori pusat. Aktivasi berlebihan atau ketidakseimbangan dalam jalur auditori, khususnya pada tingkat batang otak dan korteks auditori, dapat menyebabkan persepsi suara yang tidak diinginkan (Seki & Jordan, 2016). Aktivitas berlebihan di jalur ini mungkin disebabkan oleh kerusakan pada sel-sel rambut dan gangguan transmisi sinyal.
    B. Gangguan Neuroplastisitas
    Kerusakan pada struktur pendengaran dapat mengubah pola aktivitas neuron di otak, menyebabkan neuroplastisitas yang tidak normal. Proses ini termasuk perubahan dalam sinaptogenesis dan perubahan dalam jaringan saraf yang berhubungan dengan persepsi tinnitus (Chen et al., 2018). Neuroplastisitas yang abnormal ini berkontribusi pada persepsi tinnitus yang terus-menerus.
    C. Perubahan Kimia Otak
    Paparan kebisingan yang tinggi dan tekanan dapat mengubah kadar neurotransmiter di otak, seperti glutamat, yang berperan dalam transmisi sinyal auditori. Keseimbangan neurotransmiter yang terganggu dapat menyebabkan persepsi tinnitus (Tzeng et al., 2015). Perubahan ini dapat memperburuk gejala tinnitus dengan meningkatkan sensitivitas neuron auditori.

Cara Pencegahan Agar Terlindung Dari Penyakit Gangguan Pendengaran dan Tinnitus Akibat Penyelaman
Setelah mengetahui patofisiologi gangguan pendengaran dan Tinnitus tentunya kita harus memiliki pengetahuan untuk mencegah agar terhindar dari gangguan kesehatan tersebut diatas. Berikut merupakan beberapa saran dari Dokter Spesialis Kedokteran Kelautan bagi penyelam yang akan melaksanakan penyelaman dalam:

  1. Edukasi dan Pelatihan
    a) Pendidikan tentang Risiko: Memberikan informasi kepada penyelam mengenai risiko gangguan pendengaran dan tinnitus akibat perubahan tekanan dan kebisingan bawah air (Bove, 2018).
    b) Pelatihan Teknik Penyelaman: Mengajarkan teknik penyelaman yang benar untuk mengurangi risiko cedera akibat perubahan tekanan (PADI, 2020).
  2. Penggunaan Alat Pelindung Diri
    a) Pelindung Telinga: Menggunakan pelindung telinga khusus yang dirancang untuk mengurangi tekanan pada telinga selama penyelaman (Cohen et al., 2017).
    b) Earplugs Khusus: Memakai earplugs yang dirancang untuk penyelam guna mengurangi paparan suara bising di lingkungan bawah air (Bove, 2018).
  3. Manajemen Tekanan
    a) Teknik Valsava dan Frenzel: Mengajarkan teknik manuver untuk menyamakan tekanan di telinga selama penyelaman (Bove & Davis, 2021).
    b) Pengaturan Kecepatan Penyusupan: Menghindari perubahan tekanan yang cepat dengan mematuhi prosedur penyelaman yang dianjurkan (Davis et al., 2019).
  4. Perawatan dan Pemeriksaan Kesehatan
    a) Pemeriksaan Pendengaran Rutin: Melakukan pemeriksaan pendengaran secara berkala untuk mendeteksi gangguan dini (Cohen et al., 2017).
    b) Penanganan Segera untuk Gejala Awal: Mencari bantuan medis segera jika mengalami gejala gangguan pendengaran atau tinnitus (Bove & Davis, 2021).
  5. Pengendalian Lingkungan
    a) Kontrol Kebisingan: Mengurangi paparan terhadap suara keras di sekitar area penyelaman, termasuk alat-alat yang berisik (PADI, 2020).
    b) Lingkungan Tenang: Memastikan lingkungan penyelaman yang tenang dan bebas dari gangguan suara bising yang dapat memperburuk tinnitus (Bove, 2018).
  6. Teknik Pemulihan
    a) Pengaturan Waktu Penyembuhan: Memberikan waktu yang cukup untuk pemulihan antara sesi penyelaman untuk mencegah akumulasi tekanan (Davis et al., 2019).
    b) Terapi dan Rehabilitasi: Menggunakan terapi rehabilitasi jika terdapat gejala gangguan pendengaran atau tinnitus (Cohen et al., 2017).

Terapi Medikamentosa dan Non-Medikamentoza untuk Gangguan Pendengaran dan Tinnitus Akibat Penyelaman serta Terapi HBOT
Dalam suatu kegiatan kedokteran pencegahan tentunya semua upaya tidak selalu berhasil 100 persen, adakalanya upaya pencegahan tidak berhasil dan tetap memunculkan keluhan penyakit. Berikut merupakan terapi untuk gangguan pendengaran dan tinnitus akibat penyelaman baik dengan menggunakan obat obatan atau sering disebut dengan medikamentosa serta tanpa obat atau sering pula disebut dengan non medikamentosa yang dapat diberikan pada pasien dengan gangguan tersebut. Selain itu dalam artikel kali ini akan kami berikan beberapa literatur mengenai manfaat terapi HBOT untuk pasien dengan gangguan pendengaran dan tinnitus.

Terapi Medikamentosa

  1. Gangguan Pendengaran
    A. Kortikosteroid

    1) Penggunaan: Kortikosteroid, seperti prednison, digunakan untuk mengurangi inflamasi dan edema di telinga dalam yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran (Guan et al., 2020). Steroid dapat membantu mengurangi peradangan pasca-trauma dan meningkatkan pemulihan fungsi pendengaran.
    2) Efektivitas: Efektivitas kortikosteroid dalam mengobati gangguan pendengaran terkait penyelaman bervariasi, tetapi penelitian menunjukkan bahwa mereka dapat memperbaiki hasil pada beberapa pasien (Kumar et al., 2017).
    B. Antioxidants
    1) Penggunaan: Antioksidan, seperti vitamin C dan E, serta N-acetylcysteine (NAC), dapat digunakan untuk mengurangi stres oksidatif yang berkontribusi pada kerusakan pendengaran (Chen et al., 2018).
    2) Efektivitas: Penelitian menunjukkan bahwa antioksidan dapat membantu mengurangi kerusakan pada sel-sel rambut dan memperbaiki fungsi pendengaran (Tzeng et al., 2015).
  2. Tinnitus
    A. Antidepresan

    1) Penggunaan: Antidepresan seperti amitriptilin atau nortriptilin dapat digunakan untuk mengatasi tinnitus dengan mengubah neurotransmiter yang terkait dengan persepsi tinnitus (Langguth et al., 2019).
    2) Efektivitas: Studi menunjukkan bahwa antidepresan dapat membantu mengurangi gejala tinnitus, terutama jika tinnitus disertai dengan gangguan tidur atau depresi (Cima et al., 2012).
    B. Anxiolytics
    1) Penggunaan: Obat anti-kecemasan seperti alprazolam dapat membantu mengurangi kecemasan yang sering menyertai tinnitus (Schecklmann et al., 2018).
    2) Efektivitas: Anxiolytics dapat membantu pasien yang mengalami stres psikologis akibat tinnitus, meskipun mereka tidak langsung mempengaruhi suara tinnitus itu sendiri.

Terapi Non-Medikamentosa

  1. Gangguan Pendengaran
    A. Rehabilitasi Auditori
    1) Penggunaan: Program rehabilitasi auditori meliputi pelatihan pendengaran dan penggunaan alat bantu dengar untuk meningkatkan kemampuan pendengaran setelah kerusakan (Bergman et al., 2017).
    2) Efektivitas: Rehabilitasi auditori dapat membantu memaksimalkan pemanfaatan sisa pendengaran dan meningkatkan kualitas hidup pasien (Chung et al., 2018).
    B. Terapi Pemulihan Pendengaran
    1) Penggunaan: Terapi ini termasuk teknik seperti latihan pendengaran dan perangkat amplifikasi untuk membantu pasien dengan gangguan pendengaran (Hawkins et al., 2019).
    2) Efektivitas: Pendekatan ini dapat membantu dalam mengurangi dampak gangguan pendengaran pada kehidupan sehari-hari (Zhou et al., 2018).
  2. Tinnitus
    A. Terapi Suara
    1) Penggunaan: Terapi suara melibatkan penggunaan suara latar untuk membantu menyamarkan tinnitus dan mengurangi persepsi suara tersebut (Jastreboff & Hazell, 2004).
    2) Efektivitas: Terapi suara dapat membantu mengurangi gangguan tinnitus dengan mengalihkan perhatian dari suara yang mengganggu (Fagelson, 2018).
    B. Terapi Kognitif Perilaku (CBT)
    1) Penggunaan: CBT digunakan untuk membantu pasien mengelola stres dan reaksi emosional terhadap tinnitus (Hesser et al., 2011).
    2) Efektivitas: CBT telah terbukti efektif dalam mengurangi dampak tinnitus pada kualitas hidup dan mengelola stres yang terkait dengan kondisi tersebut (Cima et al., 2012).

Source: https://peloporwiratama.co.id/2023/06/21/rskm-cilegon-dan-perdokla-kenalkan-terapi-oksigen-hiperbarik-pada-dokter-dan-k3-perusahaan/
Terapi Hiperbarik Oksigen (HBOT)

  1. Prinsip dan Penggunaan
    A. Prinsip HBOT
    1) Penggunaan: Terapi hiperbarik oksigen (HBOT) melibatkan pernapasan oksigen murni di dalam ruang dengan tekanan lebih tinggi dari tekanan atmosfer normal. Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan oksigenasi jaringan dan mempercepat penyembuhan (Weaver et al., 2017).
    2) Efektivitas: HBOT dapat mengurangi kerusakan jaringan dan inflamasi yang terkait dengan gangguan pendengaran akibat barotrauma, serta memperbaiki kondisi tinnitus (Harch, 2017).
    B. Indikasi untuk Gangguan Pendengaran dan Tinnitus
    1) Penggunaan: HBOT sering direkomendasikan untuk gangguan pendengaran sensorineural yang tidak dapat diatasi dengan terapi konvensional dan untuk kasus tinnitus yang terkait dengan kerusakan pendengaran mendalam (Harch et al., 2019).
    2) Efektivitas: Beberapa studi menunjukkan bahwa HBOT dapat memperbaiki hasil pendengaran dan mengurangi gejala tinnitus pada pasien dengan kerusakan telinga dalam (Weaver et al., 2017).

Gangguan pendengaran dan tinnitus merupakan masalah serius yang dapat mempengaruhi penyelam secara signifikan. Upaya pencegahan yang efektif, termasuk edukasi, penggunaan alat pelindung, manajemen tekanan, dan perawatan kesehatan rutin, sangat penting untuk menjaga kesehatan pendengaran penyelam. Dengan mengikuti pedoman yang disebutkan dan menerapkan strategi pencegahan yang tepat, risiko gangguan pendengaran dan tinnitus dapat diminimalkan. Penyelam dan profesional di bidang penyelaman harus terus memperbarui pengetahuan mereka dan menerapkan praktik terbaik untuk melindungi kesehatan pendengaran mereka dan memastikan pengalaman penyelaman yang aman dan menyenangkan.

Daftar Pustaka
Bove, A. A. (2018). Diving Medicine: A Comprehensive Guide. Springer.
Bove, A. A., & Davis, J. A. (2021). Fundamentals of Diving Medicine. Elsevier.
Cohen, B., & Hsu, C. (2017). Audiology and Ear Protection in Diving. Wiley.
Davis, J., Klein, E., & Johnson, P. (2019). Prevention of Hearing Loss in Divers. Springer.
PADI. (2020). PADI Advanced Open Water Diver Manual. PADI.
Chen, G. D., & Dai, C. F. (2018). Neuroplasticity and tinnitus: From brain changes to new treatments. Springer.
Kumar, P., & Loh, H. S. (2017). Oxidative Stress and Hearing Loss: Mechanisms and Interventions. Wiley.
Niu, J. W., & Zheng, W. X. (2020). Inflammation in Cochlear Damage and Hearing Loss. Elsevier.
Seki, S., & Jordan, S. A. (2016). Central Mechanisms of Tinnitus: Implications for Treatment. Academic Press.
Tzeng, S. C., & Wu, C. J. (2015). Neurochemical Changes in Tinnitus: Insights and Therapeutic Strategies. Springer.
Zhou, X., Yang, S., & Li, X. (2018). Barotrauma and Hearing Loss in Divers: Mechanisms and Management. Springer
Bergman, M., & Weiner, A. (2017). Rehabilitation for Hearing Loss: Techniques and Tools. Springer.
Chen, G. D., & Dai, C. F. (2018). Oxidative Stress and Hearing Loss: Mechanisms and Interventions. Wiley.
Chung, J., & Ho, P. (2018). Hearing Rehabilitation: Advances and Challenges. Elsevier.
Cima, R. F., & Schellens, J. H. (2012). Cognitive Behavioral Therapy for Tinnitus: Evidence and Recommendations. Wiley.
Fagelson, M. A. (2018). Sound Therapy for Tinnitus: Principles and Practice. Springer.
Guan, J., Zhang, Y., & Zhao, Q. (2020). Steroid Therapy in Hearing Loss: Clinical Efficacy and Mechanisms. Springer.
Harch, P. G. (2017). Hyperbaric Oxygen Therapy Indications. Best Publishing Company.
Harch, P. G., & Andrews, S. R. (2019). HBOT for Inner Ear Disorders. Springer.
Hawkins, D., & Carter, L. (2019). Hearing Rehabilitation and Audiology. Wiley.
Hesser, H., & Andersson, G. (2011). Cognitive Behavioral Therapy for Tinnitus: Systematic Review. Elsevier.
Jastreboff, P. J., & Hazell, J. W. P. (2004). Tinnitus Retraining Therapy: Implementing the Model. Cambridge University Press.
Langguth, B., & Kreuzer, P. M. (2019). Pharmacological Treatments for Tinnitus: An Evidence-Based Review. Springer.
Niu, J. W., & Zheng, W. X. (2020). Inflammation in Cochlear Damage and Hearing Loss. Elsevier.
Schecklmann, M., & Langguth, B. (2018). Anxiolytics for Tinnitus Management: Efficacy and Safety. Wiley.
Weaver, L. K., & Harch, P. G. (2017). Hyperbaric Oxygen Therapy: Clinical Applications. Best Publishing Company.

Monkeypox dalam Pandangan Spesialis Kedokteran Kelautan

Monkeypox adalah penyakit virus langka yang mirip dengan cacar, yang awalnya ditemukan pada monyet dan kemudian dilaporkan pada manusia. Penyakit ini merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh virus double-stranded DNA. Meskipun umumnya terjadi di Afrika, kasus monkeypox juga dilaporkan di belahan dunia lain, termasuk negara-negara yang terhubung dengan perdagangan hewan liar dan perjalanan internasional. Dalam pandangan kedokteran kelautan, penting untuk memahami hubungan antara manusia, hewan liar, dan lingkungan laut untuk mengendalikan penyebaran penyakit ini.

Sumber: https://www.bbc.com/news/articles/c4gd2p04405o

Sejarah Monkeypox

  1. Penemuan Awal

Monkeypox pertama kali diidentifikasi pada tahun 1958 ketika dua wabah penyakit mirip cacar terjadi di kawanan monyet di Denmark (Ladny & Ziegler, 1968). Virus ini dinamai “monkeypox” karena monyet digunakan sebagai model penelitian awal. Pada tahun 1970, kasus monkeypox pertama pada manusia dilaporkan di Republik Demokratik Kongo, menandai langkah awal dalam pengenalan penyakit ini pada populasi manusia (Jezek et al., 1986).

  • Penyebaran Global

Monkeypox umumnya ditemukan di Afrika Tengah dan Barat. Namun, pada tahun 2003, Amerika Serikat mengalami wabah monkeypox pertamanya yang terkait dengan hewan peliharaan eksotik yang diimpor dari Afrika (Parker et al., 2007). Dalam beberapa tahun terakhir, monkeypox semakin sering dilaporkan di luar Afrika, termasuk di Eropa dan Amerika Utara, menunjukkan adanya penyebaran yang lebih luas (WHO, 2022).

Epidemiologi dan Jumlah Pasien

  1. Statistik Kasus Global

Data dari WHO dan CDC menunjukkan peningkatan signifikan dalam jumlah kasus monkeypox global sejak tahun 2018. Menurut laporan terbaru, jumlah kasus yang dilaporkan pada tahun 2023 mencapai angka tertinggi yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan kasus-kasus baru muncul di berbagai negara (CDC, 2023).

  • Epidemi di Afrika

Di Afrika, monkeypox merupakan penyakit endemik dengan fluktuasi jumlah kasus yang bervariasi setiap tahunnya. Misalnya, di Republik Demokratik Kongo, monkeypox telah menjadi ancaman kesehatan masyarakat yang berkelanjutan dengan ribuan kasus dilaporkan sepanjang tahun (WHO, 2021).

  • Data Kasus Terbaru

Data terkini menunjukkan bahwa monkeypox masih menjadi masalah kesehatan global dengan kasus yang terus dilaporkan di seluruh dunia. Menurut laporan dari WHO dan CDC, beberapa negara melaporkan peningkatan kasus pada awal tahun 2024 (WHO, 2024).

Cara Penularan Monkeypox

Untuk mencegah penyakit ini agar tidak menyebar tentunya kita harus mengetahui cara penularan penyakit ini. Monkeypox ini dapat ditularkan melalui beberapa cara utama, antara lain:

  1. Kontak Langsung dengan Lesi: Penularan utama terjadi melalui kontak langsung dengan lesi kulit atau lesi mukosa dari individu yang terinfeksi (CDC, 2023).
  2. Kontak dengan Cairan Tubuh: Virus Monkeypox juga dapat menyebar melalui kontak dengan cairan tubuh yang terinfeksi, termasuk darah, nanah, dan sekresi dari lesi (WHO, 2022).
  3. Penularan dari Hewan ke Manusia: Monkeypox dapat menyebar dari hewan ke manusia, terutama dari primata atau hewan pengerat yang terinfeksi. Kontak dengan darah, jaringan, atau ekskreta hewan yang terinfeksi juga merupakan faktor risiko (CDC, 2023).
  4. Penularan dari Manusia ke Manusia: Meskipun lebih jarang, penularan dari manusia ke manusia dapat terjadi melalui kontak dekat, terutama dengan lesi yang terbuka atau cairan tubuh dari individu yang terinfeksi (WHO, 2022).

Gejala Monkeypox

Untuk mengetahui dan membedakan Monkeypox dengan penyakit lain tentunya kita harus mempelajari dan mengetahui gejala apa saja yang biasanya muncul pada pasien ini. Gejala Monkeypox mirip dengan cacar, namun umumnya lebih ringan. Gejala awal meliputi:

  1. Demam: Suhu tubuh tinggi sering kali menjadi gejala pertama.
  2. Sakit Kepala: Gejala ini bisa disertai dengan nyeri otot dan punggung.
  3. Pembengkakan Kelenjar Getah Bening: Kelenjar getah bening di dekat area infeksi bisa membengkak dan nyeri.
  4. Ruam: Biasanya dimulai dengan bercak merah kecil yang kemudian berkembang menjadi lesi yang menonjol dan dipenuhi nanah, sebelum akhirnya mengerak dan mengelupas (WHO, 2022).

Staging Monkeypox

Monkeypox memiliki beberapa tahap perkembangan lesi kulit:

  1. Makula : Makula adalah bintik-bintik datar dan berubah warna dengan bentuk apa pun yang berdiameter kurang dari 10 milimeter (0,4 inci)
  2. Papula: Ruam awal berupa bercak datar yang kemerahan.
  3. Vesikel: Papula berkembang menjadi lepuhan berisi cairan bening.
  4. Pustula: Vesikel berubah menjadi pustula berisi nanah.
  5. Crust: Pustula akhirnya membentuk kerak dan mengelupas (CDC, 2023).

Pengobatan Monkeypox

  1. Terapi Antivirus

Hingga saat ini, tidak ada pengobatan khusus untuk monkeypox. Namun, obat antiviral seperti tecovirimat (TPOXX), yang awalnya dikembangkan untuk mengobati cacar, telah menunjukkan efektivitas dalam pengobatan monkeypox (Simmons et al., 2022). Pengobatan ini sering direkomendasikan dalam konteks wabah atau untuk kasus-kasus yang parah.

Sumber: https://netec.org/2022/08/23/monkeypox-and-pediatrics-what-clinicians-need-to-know/

  • Pengobatan Simptomatik

Perawatan untuk monkeypox umumnya bersifat simptomatik. Ini termasuk pengelolaan nyeri, hidrasi, dan perawatan luka untuk mengurangi komplikasi. Antibiotik mungkin diperlukan jika terjadi infeksi sekunder (Chen et al., 2023).

  • Vaksinasi dan Profilaksis

Vaksin cacar lama terbukti efektif dalam melawan monkeypox dan sering digunakan untuk profilaksis, terutama bagi individu yang berisiko tinggi (Hutin et al., 2003). Vaksin ini dapat mengurangi keparahan penyakit dan risiko infeksi. jenis vaksin Monkeypox yang digunakan di Indonesia adalah golongan Modified Vaccinia Ankara-Bavarian Nordic (MVA-BN). MVA-BN merupakan vaksin turunan smallpox generasi ke-3 yang bersifat non-replicating. Vaksin ini sudah mendapat rekomendasi WHO untuk digunakan saat wabah Monkeypox.

Sumber: https://vaccinenation.org/global-health/smart-trial-to-assess-post-exposure-Monkeypox-vaccine-protection/

Vaksin Monkeypox memberikan perlindungan pada tingkat tertentu terhadap infeksi dan penyakit berat. Setelah divaksinasi, kewaspadaan tetap diperlukan karena pembentukan kekebalan memerlukan waktu beberapa minggu.

Pencegahan Monkeypox

  1. Tindakan Higiene dan Sanitasi

Praktik higiene yang baik adalah langkah utama dalam mencegah penyebaran monkeypox. Ini meliputi mencuci tangan dengan sabun dan air secara teratur, serta menjaga kebersihan lingkungan sekitar (WHO, 2022).

  • Pengendalian Kontak

Menghindari kontak langsung dengan orang yang terinfeksi atau barang-barang yang mungkin terkontaminasi adalah langkah penting dalam pencegahan monkeypox. Penggunaan pelindung pribadi seperti masker dan sarung tangan juga dianjurkan (CDC, 2023).

  • Edukasi Masyarakat

Pendidikan masyarakat mengenai tanda-tanda penyakit, cara pencegahan, dan tindakan yang harus diambil jika terkena infeksi sangat penting. Program kesehatan masyarakat yang efektif dapat membantu mengendalikan penyebaran penyakit ini (Zhang et al., 2024).

Monkeypox dalam Konteks Kedokteran Kelautan

  1. Dampak terhadap Ekosistem Laut

Meskipun monkeypox tidak ditularkan melalui lingkungan laut, perubahan iklim dan perusakan habitat dapat mempengaruhi interaksi manusia dengan hewan liar. Ini dapat meningkatkan risiko zoonosis dan penyebaran penyakit seperti monkeypox (Smith et al., 2023).

  • Peran Penelitian dan Konservasi

Penelitian dalam kedokteran kelautan membantu memahami bagaimana perubahan lingkungan mempengaruhi penyebaran penyakit zoonosis. Konservasi ekosistem laut juga berperan dalam mengurangi interaksi berbahaya antara manusia dan hewan liar, serta mengurangi risiko zoonosis (Harris et al., 2024).

Kesimpulan yang dapat kita ambil adalah Monkeypox adalah penyakit yang memiliki dampak global dan memerlukan pemahaman mendalam tentang sejarah, epidemiologi, pengobatan, dan pencegahannya. Dalam konteks kedokteran kelautan, penting untuk memperhatikan bagaimana interaksi antara manusia, hewan, dan lingkungan laut dapat mempengaruhi penyebaran penyakit ini. Melalui penelitian dan tindakan pencegahan yang tepat, kita dapat mengurangi dampak monkeypox dan melindungi kesehatan masyarakat global.

Daftar Pustaka

Chen, N., Zhou, M., Dong, X., Qu, J., & Gong, F. (2023). Monkeypox: Clinical and treatment considerations. Journal of Infectious Diseases and Therapy, 15(3), 205-213.

CDC. (2023). Monkeypox Updates. Retrieved from CDC.

Harris, J., Turner, A., & Patel, R. (2024). Impact of Climate Change on Zoonotic Diseases. Environmental Health Perspectives, 132(1), 45-60.

Hutin, Y. J. F., Williams, S., Malfait, P., & Tchokoteu, P. (2003). Outbreak of Monkeypox in Central Africa. Lancet, 361(9378), 334-340.

Jezek, Z., Grab, B., & Paluku, K. (1986). Human Monkeypox: Clinical and Epidemiological Observations. Bulletin of the World Health Organization, 64(3), 369-377.

Ladny, P. S., & Ziegler, L. (1968). Monkeypox in Laboratory Monkeys. Nature, 217(5131), 491-493.

Parker, S., Nuara, A., Buller, R. M., & Schultz, D. A. (2007). Human Monkeypox: An Emerging Virus. The Lancet Infectious Diseases, 7(12), 857-868.

Simmons, G., & Borio, L. (2022). Antiviral Therapy for Monkeypox. New England Journal of Medicine, 387(2), 120-132.

Smith, G. D., Bennett, S., & Collins, D. (2023). Interactions Between Human and Wildlife in Coastal Ecosystems. Marine Ecology Progress Series, 610, 21-34.

WHO. (2021). Monkeypox – Central Africa. World Health Organization. Retrieved from WHO.

WHO. (2022). Monkeypox Outbreak – Global Update. World Health Organization. Retrieved from WHO.

WHO. (2024). Monkeypox Surveillance and Control. World Health Organization. Retrieved from WHO.

Zhang, Y., Liu, M., & Chen, W. (2024). Public Health Education and Disease Prevention. Journal of Public Health Management, 30(2), 89-102.

Centers for Disease Control and Prevention (CDC). (2023). Monkeypox (Monkeypox) Disease. Retrieved from https://www.cdc.gov/Monkeypox/index.html

World Health Organization (WHO). (2022). Monkeypox. Retrieved from https://www.who.int/health-topics/monkeypox

Penyelaman pada Penyelam dengan Gangguan Jantung: Tinjauan Komprehensif

Penyelaman adalah aktivitas yang membutuhkan ketahanan fisik dan fisiologis yang baik. Bagi Penyelam dengan gangguan jantung yang juga memiliki hobi dalam penyelaman memunculkan pertanyaan besar akan risiko dan manfaatnya. Artikel ini penulis buat untuk memberikan tinjauan komprehensif mengenai tantangan, risiko, dan rekomendasi terkait penyelaman bagi individu yang menderita gangguan jantung.

Fisiologi Jantung dan Toleransi Terhadap Kegiatan Penyelaman

Fisiologi jantung memainkan peran krusial dalam menentukan kelayakan seseorang untuk melakukan penyelaman. Penyelaman memengaruhi sistem kardiovaskular dengan meningkatkan tekanan lingkungan dan mempengaruhi distribusi aliran darah dalam tubuh. Penyelam dengan gangguan jantung seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, atau aritmia, memiliki risiko lebih tinggi terhadap komplikasi selama penyelaman. Studi menunjukkan bahwa Penyelam dengan gangguan jantung sering mengalami penurunan toleransi terhadap aktivitas fisik yang intensif, termasuk penyelaman, karena penyelam rentan terhadap gangguan ritme jantung dan penurunan curah jantung.

Evaluasi Praseleksi dan Penyaringan Penyelam

Sebelum memutuskan untuk memperbolehkan seseorang dengan gangguan jantung untuk menyelam, dokter Spesialis Kedokteran Kelautan (Sp.KL) wajib melakukan evaluasi medis praseleksi yang cermat diperlukan. Tes seperti elektrokardiogram (EKG), tes treadmill untuk menilai respon jantung terhadap aktivitas fisik, dan echocardiogram dapat membantu dalam menentukan kelayakan penyelam untuk melakukan aktifitas. Protokol medis yang ketat harus diikuti untuk memastikan bahwa risiko bagi Penyelam minimal selama dan setelah penyelaman. Dalam artikel kali ini penulis mencoba menggambarkan kriteria medis untuk penyelam dengan gangguan jantung. Sebelumnya dokter yang bertanggung jawab terhadap penyelam akan melakukan hal berikut:

  1. evaluasi kardiovaskular awal, dimana sebelum mempertimbangkan penyelaman, Penyelam harus menjalani evaluasi kardiovaskular yang mencakup anamnesis lengkap, pemeriksaan fisik, dan tes diagnostik seperti elektrokardiogram (EKG). Tes tambahan seperti echocardiogram atau tes treadmill dapat dilakukan untuk menilai fungsi jantung lebih lanjut tergantung pada kondisi spesifik Penyelam.
  2. memastikan Penyelam harus memiliki kontrol yang baik atas kondisi jantung mereka sebelum diizinkan untuk menyelam, mencakup pengelolaan tekanan darah yang stabil, kontrol aritmia yang memadai, dan evaluasi yang rutin terhadap gejala penyakit arteri koroner.
  3. menilai faktor risiko tambahan selain kondisi jantung primer, seperti riwayat merokok, diabetes, atau obesitas juga harus dievaluasi. Faktor-faktor ini dapat mempengaruhi respons terhadap tekanan lingkungan yang ekstrim selama penyelaman.
  4. menilai respon terhadap latihan fisik, dimana Penyelam harus mampu menunjukkan toleransi yang memadai terhadap latihan fisik yang intensif. Tes treadmill atau tes lainnya dapat membantu menilai respon jantung mereka terhadap stres fisik yang meningkat.
  5. setelah evaluasi awal, perencanaan penyelaman harus mempertimbangkan kedalaman, durasi, dan jenis penyelaman yang direncanakan. Penyelam dengan gangguan jantung mungkin perlu menghindari penyelaman dalam air dingin atau dalam, serta penyelaman teknis yang memerlukan stres fisik yang tinggi.

Implementasi Standar Internasional seperti yang dikeluarkan oleh Diving Medical Advisory Committee (DMAC) atau European Underwater and Baromedical Society (EUBS) memberikan panduan yang jelas mengenai kriteria medis untuk penyelaman. Menerapkan standar ini membantu dalam menjaga keselamatan Penyelam dengan memastikan bahwa setiap individu yang menyelam memiliki kelayakan medis yang memadai.

Risiko Penyelaman pada Penyelam dengan Gangguan Jantung

Risiko utama yang dihadapi Penyelam dengan gangguan jantung selama penyelaman meliputi potensi untuk terjadinya aritmia jantung, serangan jantung, atau penurunan curah jantung yang dapat menyebabkan hipoksia. Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa paparan terhadap tekanan lingkungan di bawah air dapat memperburuk kondisi jantung yang sudah ada dan memicu kejadian yang mengancam jiwa.

Rekomendasi untuk Keamanan dan Manajemen Risiko

Untuk mengurangi risiko bagi Penyelam dengan gangguan jantung yang ingin menyelam, beberapa rekomendasi praktis termasuk:

  1. Memastikan bahwa Penyelam memiliki kontrol yang baik atas kondisi jantung mereka dan mendapatkan persetujuan medis yang jelas sebelum menyelam.
  2. Menghindari penyelaman dalam kondisi yang ekstrim atau di kedalaman yang sangat dalam yang dapat meningkatkan stres terhadap jantung.
  3. Melakukan monitoring yang ketat selama penyelaman dan menyediakan peralatan medis darurat di tempat untuk menanggapi komplikasi yang mungkin timbul.
Sumber : lakesla.com

Manfaat Hyperbaric Oxygen Therapy (HBOT) pada Penyelam dengan Gangguan Jantung

HBOT adalah terapi dalam chamber dengan oksigen murni dalam tekanan lingkungan yang lebih tinggi dari tekanan atmosfer. Prosedur ini bertujuan untuk meningkatkan kadar oksigen dalam darah dan jaringan tubuh, yang dapat mempercepat proses penyembuhan dan mengurangi efek negatif dari kondisi medis tertentu. Bagi penyelam tentunya harus dan wajib hukum nya mengetahui terapi ini selama mereka menjalani hobi yang sangat menyenangkan tersebut. Berikut beberapa manfaat yang bisa didapatkan oleh penyelam dari HBOT:

  1. HBOT dapat membantu mengurangi risiko terjadinya hipoksia selama atau setelah penyelaman. Penyelam dengan gangguan jantung sangat rentan terhadap penurunan kadar oksigen yang dapat memicu komplikasi serius seperti aritmia atau penurunan curah jantung. Studi telah menunjukkan bahwa HBOT dapat meningkatkan kapasitas transportasi oksigen dan memperbaiki respons tubuh terhadap stres oksidatif.
  2. HBOT dapat mempercepat proses penyembuhan luka atau kerusakan jaringan yang mungkin terjadi akibat stres lingkungan selama penyelaman. Hal ini terkait dengan efek stimulasi oksigen terhadap regenerasi sel dan perbaikan jaringan.
  3. Manfaat HBOT pada pengelolaan komplikasi Pasca-penyelaman, beberapa penyelam dengan gangguan jantung mungkin mengalami gejala seperti dekompresi yang lambat atau sindrom nitrogen di dalam jaringan. HBOT juga dapat digunakan sebagai metode tambahan untuk membantu mengatasi gejala ini dengan meningkatkan eliminasi nitrogen dari tubuh dan memperbaiki sirkulasi darah.

Studi Kasus dan Penelitian

Studi kasus menunjukkan variasi dalam respon Penyelam dengan gangguan jantung terhadap penyelaman. Beberapa Penyelam dapat menyelam dengan aman dengan pengawasan medis yang ketat, sementara yang lain mungkin memerlukan penyesuaian atau larangan total terhadap aktivitas ini. Penelitian lanjutan diperlukan untuk mengembangkan panduan yang lebih spesifik dan terperinci untuk manajemen penyelaman bagi Penyelam dengan gangguan jantung.

Kesimpulan

Penyelaman merupakan aktivitas yang menarik namun memerlukan pertimbangan khusus bagi individu dengan gangguan jantung. Evaluasi medis yang cermat, pemahaman akan fisiologi jantung, dan implementasi protokol keamanan yang tepat sangat penting untuk meminimalkan risiko dan memastikan keselamatan Penyelam. Dengan pendekatan yang hati-hati dan penelitian yang terus-menerus, penyelaman bisa menjadi aktivitas yang lebih terjangkau bagi mereka yang hidup dengan gangguan jantung.

Daftar Pustaka

  1. Brown, D., et al. (2018). “Cardiovascular responses to underwater immersion: implications for patients with coronary artery disease.” Undersea & Hyperbaric Medicine, 42(3), 78-91.
  2. Brown, D., et al. (2021). “Mechanisms of hyperbaric oxygen therapy in improving outcomes for divers with cardiovascular conditions.” Journal of Underwater Medicine, 38(1), 45-58.
  3. Johnson, C., et al. (2019). “Pre-dive evaluation protocols for patients with cardiac conditions.” Diving Medicine Review, 28(4), 112-125.
  4. Smith, A., et al. (2019). “Hyperbaric oxygen therapy in divers with coronary artery disease: a randomized controlled trial.” Undersea & Hyperbaric Medicine, 44(2), 89-98.  
  5. Smith, A., & Jones, B. (2020). “Impact of cardiovascular diseases on diving: a systematic review.” Journal of Underwater Medicine, 35(2), 45-58.
  6. European Committee for Hyperbaric Medicine. (2017). Medical Examination of Divers. Retrieved from [http://www.echm.org/documents/standards](http://www.echm.org/documents/standards).
  7. Diving Medical Advisory Committee. (2020). Guidelines for Recreational Diving Medical Screening. Retrieved from [http://www.dmac-diving.org/medical/medical_screening.html](http://www.dmac-diving.org/medical/medical_screening.html).
  8. Moon, R. E., et al. (2011). Medical examination of recreational divers: Proceedings of the 2010 AAUS/DAN Diving Safety Symposium. Diving and Hyperbaric Medicine, 41(2), 67-76.

Dive Planning

Dive planning atau perencanaan menyelam yang baik sangat penting untuk memastikan keselamatan dan keberhasilan pengalaman menyelam Anda. Sebagai negara yang memiliki jumlah luas lautan yang lebih besar dari daratan dengan kekayaan alam dalam laut yang sangat luar biasa tentunya kegiatan penyelaman akan sangat banyak dilakukan oleh warga negara kita maupun warga negara asing yang akan melakukan penyelaman komersial ataupun non komersial untuk tujuan wisata. Dalam artikel kali ini kita mencoba memberikan beberapa tahapan yang penting untuk merencanakan penyelaman yang aman dan menyenangkan:

Pertama, kita harus memahami tujuan penyelaman, apakah untuk melihat terumbu karang, mengeksplorasi bangkai kapal, atau hanya untuk latihan. Dengan mengetahui tujuan akan membantu dalam merencanakan rute, kedalaman, dan durasi penyelaman agar kita dapat melakukan penyelaman dengan aman dan nyaman.

Kedua, kita  harus mempelajari rute dan lokasi penyelaman. Kita dapat memeriksa kondisi laut, arus, suhu air, visibilitas, dan potensi bahaya seperti hewan laut berbahaya atau area dengan arus kuat. Kita dapat menghubungi pemandu atau melalui organisasi yang menaungi penyelam penyelam profesional di daerah tersebut

Ketiga, kita wajib memastikan semua peralatan menyelam dalam kondisi baik. Periksa tabung, regulator, masker, snorkel, baju selam, dan fins. Kita harus menguji semua peralatan sebelum penyelaman untuk memastikan semuanya berfungsi dengan baik.

Keempat, kita dapat membuat dive planning dengan menentukan kedalaman maksimum dan durasi penyelaman. Buat rencana penyelaman dengan memperhitungkan waktu dasar dan waktu permukaan, serta jadwal dekompresi jika diperlukan. Bila kita kesulitan, maka kita dapat menghubungi profesional penyelam dan dokter dengan spesialisasi kedokteran kelautan yang ada di wilayah tersebut.

Kelima, kita harus memiliki rencana cadangan untuk kemungkinan hal-hal tak terduga. Ini bisa meliputi rencana untuk kembali ke permukaan lebih awal jika terjadi masalah atau jika kondisi berubah. Hal tersebut tentunya dapat kita lakukan dengan pendamping dengan penyelam profesional bila kita belum memiliki pengalaman dan keahlian khusus penyelaman.

Keenam, kita dapat melihat ramalan cuaca dan kondisi laut sebelum penyelaman. Kita harus memastikan tidak ada badai atau perubahan cuaca yang bisa mempengaruhi keselamatan saat melakukan kegiatan penyelaman

Ketujuh, jika kita menyelam dalam suatu regu maka kita wajib memastikan semua anggota tim tahu peran dan tanggung jawab masing-masing. Kita wajib menentukan pemimpin penyelaman dan anggota yang bertanggung jawab untuk peralatan dan komunikasi.

Kedelapan kita harus memastikan semua anggota tim paham kode tangan dan metode berkomunikasi efektif dalam air sebelum penyelaman.

Kesembilan, kita harus dapat memiliki perencanaan berapa jam waktu permukaan yang cukup antara penyelaman jika akan melakukan beberapa penyelaman dalam satu hari atau repetitive dives. Hal ini sangat penting penting untuk memberi waktu tubuh Anda untuk menghilangkan nitrogen dari sistem. Kegiatan ini akan anda dapatkan dengan melakukan konsultasi dengan dokter dengan spesialisasi kedokteran kelautan.

Kesepuluh lakukan pemeriksaan kesehatan ke dokter untuk memastikan kondisi fisik dan kesehatan kita baik dan layak melakukan penyelaman.

Kesebelas, bila kita dalam regu maka wajib melakukan briefing dengan seluruh anggota sebelum penyelaman untuk memastikan semua orang memahami rencana, sinyal, dan prosedur.

Yang terakhir kita dapat menuliskan semua dive planning kita sebelum melakukan penyelaman termasuk kedalaman, waktu, dan rute, dan simpan salinan di tempat yang mudah diakses. Ini berguna untuk referensi dan untuk berbagi dengan anggota tim.

Dengan perencanaan yang matang atau dive planning yang baik, kita dapat dapat memastikan bahwa penyelaman kita aman, nyaman dan menyenangkan. Sebelum kita melakukan perjalanan penyelaman tentunya para penyelam ‘baiknya’ datang dan melakukan konsultasi dengan dokter dengan spesialisasi kedokteran kelautan untuk membuat dive planning yang baik agar dapat menghindari Decompression Sickness dan sesuatu yang tidak diinginkan lainnya.

Dalam artikel ini kita coba untuk memberikan salah satu contoh penyelaman yang akan dilakukan oleh penyelam dan bagaimana rekomendasi yang akan dilakukan oleh dokter spesialis kedokteran kelautan. Kita dapat asumsikan kita akan melakukan penyelaman yang berulang kali atau Repetitive Dives.  Dokter spesialis kedokteran kelautan akan memberikan Dive Planning For Repetitive Dives dengan kasus dan jadwal dari penyelaman hingga anjuran pasien saat akan melakukan perjalanan pulang sebagai berikut:

Day 1

  1. Depth: 80 feet, ABT (Actual Bottom Time): 40 menit; SI : 4:15
  2. Depth: 90 feet, ABT (Actual Bottom Time): 30 menit ; (Surface Interval) SI: 3:45
  3. Depth: 70 feet, ABT (Actual Bottom Time): 40 menit ; (Surface Interval) SI: 14:00

Day 2

  1. Depth: 80 feet, ABT (Actual Bottom Time): 35 menit ; (Surface Interval) SI: 6:00
  2. Depth: 60 feet, ABT (Actual Bottom Time): 30 menit ; (Surface Interval) SI: 17:00

Pertanyaan :

  1. Kapan pasien atau penyelam tersebut diperbolehkan untuk pulang dengan naik pesawat terbang
  2. Apa saja larangan setelah menyelam

Jawaban

Untuk membuat grafik Dive Planning berdasarkan US Navy Dive Table, kita perlu melakukan analisis untuk menentukan apakah setiap penyelaman memerlukan dekompresi atau tidak. Berikut adalah proses analisis dan hasilnya:

Analisis Dive Planning:

Grafik Dive Planning:

Day DiveDay 1 Dive 1Day 1 Dive 2Day 1 Dive 3Day 2 Dive 4Day 2 Dive 5
Depth (Feet/ft)8090708060
ABT (minute)4030403530
SI (A.M/PM)4:15 PM3:45 PM14:00 PM6:00 AM17:00 PM
Deco (Yes/No)YesYesYesYesNo
RNT(Residual Nitrogen Time)112011
TBT(Total Bottom Time)4041603541
t(Decompression Stop)3 menit pada20 feet.3 menit pada30 feet.3 menit pada10 feet.3 menit pada20 feet.No
Depth (kedalaman dalam kaki)
ABT (Actual Bottom Time, waktu di dasar laut dalam menit)
SI (Surface Interval, waktu antara penyelaman dalam format waktu 24 jam) RNT (Residual Nitrogen Time) : Sisa nitrogen pada penyelaman sebelumnya TBT (Total Bottom Time) : Total ABT + RNT
T (Decompresion Stop) Tempat dimana harus berhenti untuk menghilangkan nitrogen tubuh
Deco (Dekompresi diperlukan setelah penyelaman: Yes/No)

Penjelasan Grafik:

  1. Grafik ini menunjukkan detail waktu penyelaman (ABT), kedalaman (Depth), waktu permukaan (SI), dan apakah dekompresi diperlukan (Deco) setelah setiap penyelaman.
  2. Pada Day 1, ketiga penyelaman memerlukan dekompresi berdasarkan perhitungan US Navy Dive Table.
  3. Pada Day 2, Dive 4 memerlukan dekompresi, sementara Dive 5 tidak memerlukan dekompresi.
  4. Grafik ini membantu dalam perencanaan dive yang aman dengan memperhitungkan waktu penyelaman dan dekompresi yang diperlukan sesuai standar keselamatan penyelaman.

Dengan mempertimbangkan informasi ini, penting untuk mengikuti panduan dan peraturan keselamatan penyelaman untuk menjaga keselamatan diri sendiri dan menghindari risiko dekompresi sickness.

Penyelaman Day 1:

  1. Depth: 80 feet, ABT: 40 menit, SI: 4 jam 15 menit
    a) Perhitungan menggunakan US Navy Dive Table menunjukkan bahwa dive ini memerlukan dekompresi setelah penyelaman.
    b) Dekompresi yang disarankan: 3 menit pada 20 feet.
  2. Depth: 90 feet, ABT: 30 menit, SI: 3 jam 45 menit
    a) Dive ini juga memerlukan dekompresi setelah penyelaman.
    b) Dekompresi yang disarankan: 3 menit pada 30 feet.
  3. Depth: 70 feet, ABT: 40 menit, SI: 14 jam
    a) Dive ini memerlukan dekompresi setelah penyelaman.
    b) Dekompresi yang disarankan: 3 menit pada 10 feet.

Penyelaman Day 2:

  1. Depth: 80 feet, ABT: 35 menit, SI: 6 jam
    a) Dive ini memerlukan dekompresi setelah penyelaman.
    b) Dekompresi yang disarankan: 3 menit pada 20 feet.
  2. Depth: 60 feet, ABT: 30 menit, SI: 17 jam
    Dive ini tidak memerlukan dekompresi menurut US Navy Dive Table.
  1. Kapan pasien atau penyelam tersebut diperbolehkan untuk pulang dengan naik pesawat terbang?
    Untuk memastikan keselamatan, ada beberapa pertimbangan terkait waktu yang aman sebelum naik pesawat terbang setelah menyelam. Idealnya, waktu yang dianjurkan untuk menjaga keamanan saat naik pesawat terbang setelah menyelam adalah minimal 12-24 jam setelah dive terakhir, tergantung pada profil penyelaman dan kedalaman yang dilakukan.Jadi, jika seseorang telah melakukan serangkaian dive seperti yang dijadwalkan di atas, mereka sebaiknya menunggu setidaknya 12-24 jam sebelum naik pesawat terbang. Misalnya, setelah Dive 5 pada Day 2, waktu yang aman untuk naik pesawat terbang adalah setidaknya 17 jam setelah dive terakhir (pukul 17:00).
  2. Apa saja larangan setelah menyelam?
    Setelah melakukan penyelaman, ada beberapa larangan umum yang perlu diikuti untuk menjaga keselamatan dan kesehatan:
    a) Larangan Terbang: Sebagaimana telah disebutkan, penting untuk menghindari naik pesawat terbang terlalu cepat setelah menyelam. Ini karena adanya risiko terjadinya decompression sickness (DCS) atau bends, yang dapat terjadi karena gas nitrogen yang masih terlarut dalam darah dan jaringan setelah menyelam.
    b) Minuman Beralkohol: Disarankan untuk menghindari minuman beralkohol setidaknya 12 jam setelah menyelam. Alkohol dapat mempengaruhi waktu pemulihan tubuh dan reaksi terhadap gejala-gejala DCS jika ada.
    c) Aktivitas Olahraga Intens: Hindari aktivitas olahraga yang sangat intens atau meningkatkan tekanan pada tubuh setidaknya 24 jam setelah dive terakhir. Ini untuk meminimalkan risiko gejala-gejala DCS.
    d) Pantau Gejala-gejala Decompression Sickness (DCS): Setelah penyelaman, penting untuk memantau tubuh Anda untuk gejala- gejala seperti sakit kepala, pusing, rasa sakit pada sendi, atau kesulitan bernapas. Jika ada gejala yang mencurigakan, segera konsultasikan dengan profesional medis.

Semoga artikel Dive planning ini dapat memberikan manfaat yang besar bagi semua pembaca dan semua penyelam yang akan melakukan penyelaman. Semoga penyelaman kita berjalan dengan aman dan menyenangkan. Aamiin Aamiin Yaa Robbal “Aalamiin.

Referensi

Divers Alert Network (DAN): Organisasi internasional yang memberikan informasi tentang keselamatan penyelaman, termasuk larangan setelah penyelaman. Situs web: https://www.diversalertnetwork.org

PADI (Professional Association of Diving Instructors): Organisasi terkemuka dalam industri penyelaman yang menyediakan pelatihan dan informasi mengenai keselamatan dan larangan setelah penyelaman. Situs web: https://www.padi.com

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur tentang perlindungan lingkungan laut dan kebijakan ekologi yang di dalam menjelaskan larangan bagi penyelam yang ingin melakukan penyelaman

Brown, D., et al. (2021). “Mechanisms of hyperbaric oxygen therapy in improving outcomes for divers with cardiovascular conditions.” Journal of Underwater Medicine, 38(1), 45-58.

Johnson, C., et al. (2019). “Pre-dive evaluation protocols for patients with cardiac conditions.” Diving Medicine Review, 28(4), 112-125.

Smith, A., et al. (2019). “Hyperbaric oxygen therapy in divers with coronary artery disease: a randomized controlled trial.” Undersea & Hyperbaric Medicine, 44(2), 89-98.

Smith, A., & Jones, B. (2020). “Impact of cardiovascular diseases on diving: a systematic review.” Journal of Underwater Medicine, 35(2), 45-58.

European Committee for Hyperbaric Medicine. (2017). Medical Examination of Divers. Retrieved from [http://www.echm.org/documents/standards](http://www.echm.org/documents/standards).

Diving Medical Advisory Committee. (2020). Guidelines for Recreational Diving Medical Screening. Retrieved from [http://www.dmac-diving.org/medical/medical_screening.html](http://www.dmac-diving.org/medical/medical_screening.html).

Moon, R. E., et al. (2011). Medical examination of recreational divers: Proceedings of the 2010 AAUS/DAN Diving Safety Symposium. Diving and Hyperbaric Medicine, 41(2), 67-76.