Menyelami Terapi Oksigen Hiperbarik : Tinjauan Kritis tentang Keselamatan dan Karakteristik Klinis

Penulis : Kolonel Laut (K) Dr. dr. Hisnindarsyah, SpKL. Subsp.KT(K),SE., M.Kes., MH., C.FEM, FISQua, FRSPH.

Dalam era medis yang terus berkembang, kita sering kali menemukan perlunya menilai dan mengkaji tindakan medis yang telah mapan dalam praktik klinis. Salah satu metode yang telah lama dikenal dalam pengobatan adalah Terapi Oksigen Hiperbarik (Hyperbaric Oxygen Therapy, disingkat HBOT), yang digunakan secara luas dalam pengobatan keracunan karbon monoksida (Carbon Monoxide, disingkat CO). Dalam membahas aspek-aspek kritis terkait HBOT, mari kita mulai dengan merenungkan kata-kata filsuf dan menggunakan metafora sebagai landasan kita.

Filsuf Prancis terkenal, Albert Camus, pernah mengatakan, “Life is absurd, and that’s the only thing that makes it worth living” (Kehidupan adalah absurd, dan itulah satu-satunya hal yang membuatnya layak untuk dijalani). Dalam hal ini, kita dapat mengaitkannya dengan HBOT, sebuah metode medis yang, pada dasarnya, adalah upaya manusia untuk mengatasi efek negatif dari keracunan CO yang juga bisa dianggap sebagai absurditas dalam hidup kita. Seperti yang kita ketahui, CO adalah gas beracun yang tidak memiliki bau atau warna, dan ketika terhirup, dapat mengancam nyawa kita. Dengan demikian, tindakan pengobatan seperti HBOT menjadi sangat penting untuk memberikan makna dan nilai pada kehidupan manusia yang dihadapkan pada ancaman yang tak terlihat ini.

Dalam mengulas artikel ini, kita akan memandangnya sebagai perjalanan menyelami kedalaman HBOT, seperti perjalanan di bawah permukaan laut. Kami akan menyelami teori dan analisis ahli, serta merenungkan implikasi masa mendatang dari penelitian ini.

Artikel ini mengenalkan HBOT sebagai pengobatan yang telah mapan untuk keracunan CO. Dalam pengobatan ini, pasien ditempatkan dalam kamar hiperbarik yang meningkatkan tekanan atmosfer absolut (Atmosphere Absolute, disingkat ATA) dan konsentrasi oksigen di dalamnya. Untuk memastikan keselamatan pasien, sistem pemantauan gas digunakan untuk memonitor tingkat oksigen, ATA, dan parameter lainnya.

Ini adalah langkah pertama kita dalam perjalanan ini, menuju pemahaman lebih dalam tentang HBOT. Metafora di sini adalah kamar hiperbarik sebagai dunia bawah laut kita, tempat kita harus memahami kondisi di dalamnya sebelum membenamkan diri ke dalamnya.

Langkah berikutnya dalam perjalanan ini adalah evaluasi keamanan kamar hiperbarik monoplace. Penelitian ini membandingkan nilai-nilai oksigen (O2), karbon dioksida (CO2), kelembaban, dan suhu yang diukur dalam kamar hiperbarik dan sistem pemantauan gas saat beroperasi pada 2.0 ATA dan 3.0 ATA.

Di sini, kita dapat merenungkan metafora tentang perbedaan antara hidup di dalam dan di luar air. Kamar hiperbarik adalah dunia di dalam air yang harus dijaga dengan cermat untuk menjaga keselamatan penumpangnya. Namun, seperti kehidupan di bawah air, ada potensi bahaya yang mungkin tidak terlihat secara langsung.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kondisi 3.0 ATA, rata-rata CO2 lebih tinggi dalam kamar hiperbarik daripada dalam sistem pemantauan gas. Selain itu, kelembaban rata-rata juga lebih tinggi dalam kamar hiperbarik. Pada kondisi 2.0 ATA, kelembaban rata-rata juga lebih tinggi dalam kamar hiperbarik, sedangkan suhu rata-rata lebih rendah di dalamnya.

Sebagai langkah berikutnya dalam perjalanan ini, kita memeriksa karakteristik klinis pasien yang didiagnosis dengan keracunan CO dan menjalani HBOT. Data dari 1.006 pasien dianalisis dalam studi ini.

Dalam hal ini, kita dapat membandingkan pasien yang mengalami keracunan CO dengan pelaut yang merasakan gejala-gejala misterius di dalam laut yang dalam. Seperti pelaut yang merasa kehilangan kesadaran atau mengalami syok, pasien keracunan CO ini juga menghadapi situasi darurat yang memerlukan perawatan intensif.

Dalam pemantauan pasien ini, ditemukan bahwa usia rata-rata pasien keracunan CO yang menjalani HBOT adalah 44.93 tahun. Mayoritas pasien datang ke Unit Gawat Darurat (Emergency Room, disingkat ER) karena paparan karbon monoksida dari arang batok. Waktu paparan CO rata-rata adalah 4.0 jam, dan waktu dari penyelamatan hingga masuk ke ER adalah 3.09 jam. Skor Glasgow Coma Scale (GCS) rata-rata di lokasi kejadian atau ER adalah 15. Berdasarkan penyakit komorbid yang mendasari, penyakit jiwa (19.5%) adalah yang paling umum, diikuti oleh hipertensi (18.1%) dan diabetes mellitus (11.5%).

Kita telah mengeksplorasi kedalaman HBOT dan merenungkan implikasinya. Apa yang dapat kita pelajari dari perjalanan ini? Studi ini menunjukkan bahwa HBOT dapat dilakukan dengan efektif dengan memantau perubahan konsentrasi gas di dalam kamar hiperbarik. Ini adalah langkah positif dalam memastikan keamanan pasien dan efektivitas pengobatan.

Namun, kita juga harus merenungkan masa depan HBOT. Apakah ada cara untuk lebih meningkatkan keselamatan dan efektivitasnya? Apakah ada inovasi atau penemuan yang dapat mengubah cara kita melihat HBOT? Mungkin ada, dan kita perlu terus memantau penelitian dan perkembangan dalam bidang ini.

Sebagai penutup perjalanan ini, kita telah mengeksplorasi HBOT sebagai pengobatan yang mapan untuk keracunan CO. Kita telah melangkah ke dalam kamar hiperbarik, mengevaluasi keamanannya, dan memeriksa karakteristik klinis pasien. Dalam prosesnya, kita telah merenungkan metafora tentang kehidupan di bawah laut dan bahaya yang tersembunyi di dalamnya.

Studi ini memberikan wawasan yang berharga tentang HBOT dan menunjukkan bahwa pengawasan gas dalam kamar hiperbarik sangat penting. Namun, kita juga harus tetap terbuka terhadap penemuan-penemuan baru dan terus berusaha untuk meningkatkan pengobatan ini. Seiring berjalannya waktu, semoga kita dapat terus memperdalam pemahaman kita tentang HBOT dan menginspirasi upaya-upaya inovatif dalam pengobatan keracunan CO di masa depan (Inspirasi dari artikel penelitian: LEE, Hee & Kim, Hyun & LEE, Yoonsuk & PAIK, Jin. (2024). Safety Evaluation of Monoplace Hyperbaric Chamber and Clinical Characteristics of Hyperbaric Oxygen Therapy for Patients with Carbon Monoxide Poisoning. 10.20944/preprints202401.0109.v1.)

Membangun Perspektif Baru Kekuatan TNI-AL

SEMUA pasti ingat lirik lagu kanak-kanak yang membanggakan nenek moyang bangsa Indonesia sebagai seorang pelaut. Lirik ini mendeskripsikan bahwa leluhur orang Indonesia adalah para pengarung samudra yang gagah perkasa. Sejarah menulis betapa hebat kekuatan armada Nusantara di masa lampau mampu membuat armada yang kuat menjelajah dunia. Penjelajahan ini menempuh perjalanan dari Nusantara hingga ke Afrika dan Eropa, yang terekam salah satunya di relief di Candi Borobudur

Kedigdayaan para pelaut Nusantara ini tak luput dari pandainya mereka dalam mengorganisasi para anggotanya, dalam mengendalikan kondisi dan memberikan perintah pada situasi pelik (command of control). Hal-hal ini yang kemudian diimplementasikan sebagai dasar-dasar pembentukan kekuatan militer laut sebuah negara (Muklis Paeni, dalam Connie RB, 2023). Command of control bahkan dapat menjadi standar ukuran kekuatan militer antarnegara. Negara yang memiliki command of control yang kuat akan sulit untuk ditaklukkan dalam pertempuran. Dan sea command control adalah salah satu kontrol militer penting yang masih sahih diterapkan dalam ilmu pertempuran modern saat ini.

Saat ini Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17.000 pulau seyogianya memiliki angkatan laut (AL) terkuat di dunia. Tak bisa dimungkiri, meskipun kekuatan para anggota militer laut Indonesia cukup melegenda, kekuatan militer maritim Indonesia belum mendominasi kekuatan militer laut dunia.

Beberapa wilayah perbatasan laut dan pulau RI terus berada dalam bahaya pencaplokan wilayah. Belum lagi penyelundupan, eksploitasi kekayaan laut, dan pelbagai ancaman lainnya. Permasalahan-permasalahan itu seolah menjadi momok yang mempertanyakan, di mana keberadaan kekuatan maritim Indonesia, ataukah itu hanya legenda belaka? Tentu saja hal ini harus menjadi perhatian masyarakat Indonesia sebagai pemegang kedaulatan terbesar sekaligus penentu kebijakan masa depan bangsa ini. 

Berbagai strategi sudah dirancang untuk diterapkan yang mempertimbangkan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan, yang terdiri atas daratan dan lautan. Strategi-strategi tersebut meliputi pembangunan dan ketahanan infrastruktur di pulau-pulau terluar Indonesia, yang akan saling mendukung dengan pos-pos militer laut di batas perairan Indonesia. Pengontrolan aktivitas laut Indonesia dan perbatasannya harus dilakukan secara rutin dan saksama. Dengan pelaporan periodik yang dapat dipertanggungjawabkan, yang akan menjadi data yang andal, tidak hanya untuk aspek pertahanan keamanan, tapi juga untuk pengembangan potensi laut Indonesia. 

Strategi-strategi lain yang harus dimiliki oleh para penggawa laut Indonesia adalah menyamakan kekuatan internal dan eksternal dengan yang dimiliki pihak lain di luar kedaulatan NKRI. Hal tersebut pernah diterapkan kerajaan maritim Gowa, yang merupakan salah satu leluhur bangsa ini. Keberadaan benteng-benteng pertahanan yang lengkap dengan persenjataan, pembangunan infrastruktur pasar dan gudang, protokoler kerja sama antarwilayah dan negara, kemampuan untuk berbicara bahasa asing, adalah cara-cara yang ditempuh kerajaan maritim Gowa dalam mempertahankan kedaulatannya (Muklis Paeni, dalam Connie RB, 2023).

Kerajaan Aceh yang salah satu kekuatan armada lautnya sanggup memberangus tentara-tentara VOC dalam perebutan wilayah. Meskipun pasukan tersebut beranggota para perempuan, yang juga dipimpin laksamana perempuan, Malahayati, tapi mampu menewaskan gubernur jenderal VOC masa itu, Jenderal Jan Pieter Zoen Coen. Itu membuktikan bahwa kekuatan maritim Indonesia bukan baru-baru saja dibentuk, tapi telah menempuh perjalanan sejarah yang panjang dan seyogianya makin mengukuhkan keberadaannya di mata dunia.

Bukan hanya itu, industri kapal dan kapal perang juga telah dibangun di Indonesia sejak lama, saat bernama Nusantara. Bahkan, salah satunya diceritakan sebagai produsen untuk kapal-kapal Kerajaan Inggris dan Spanyol, yang kemudian berlayar ke wilayah Asia untuk melakukan kolonialisasi. Hal itu menunjukkan betapa sesungguhnya Nusantara telah begitu maju dalam pengetahuan dan pemahaman dunia. Namun sayangnya, saat ini kondisi memaksa untuk memercayai yang sebaliknya. Indonesia sebagai wilayah maritim yang kekuatannya pernah menggemparkan dunia terpinggirkan begitu saja entah karena apa.

Mengembalikan Kekuatan Maritim

Kekuatan maritim Indonesia harus kembali secara menyeluruh. Sudah saatnya Jalesveva Jayamahe mewujud dan terakui. Justru di laut kita menang tidak lagi hanya menjadi simbol dan slogan. Tapi harus menjadi pernyataan tegas dari sebuah negara maritim yang ditunjang dengan industri maritim dan kekuatan armada militer yang tangguh.

Presiden Joko Widodo telah mencanangkan Indonesia sebagai negara poros maritim dunia (2019), adalah momentum yang harus direbut dan dibuktikan dengan meningkatkan kompetensi teknologi, kemampuan prajurit laut dan alutsista yang modern, profesional, dan mandiri. Oleh karena itu, target kemandirian sebagai negara bahari yang berdikari harus dapat terpenuhi. Karena segalanya terpenuhi oleh alam Nusantara yang dermawan.

Saat ini sudah waktunya kita berkompetisi dengan negara-negara lain. Memainkan peran strategis secara geopolitik dan geostrategis dengan melakukan transfer knowledge ilmu pengetahuan tentang teknologi kelautan. Untuk selanjutnya mengadaptasikannya dengan hal-hal yang sejalan dengan apa yang sudah kita miliki dan yakini. 

Pengembalian kepercayaan diri yang sempat tergerus pada saat kolonialisasi dapat kita mulai dari lautan. Penguasaan lautan Indonesia yang menghormati alam dan manusia adalah strategi utama dalam proses perwujudan kejayaan dan kekuatan maritim Indonesia. Indonesia dapat kembali menjadi jaya hanya bila kita padu dalam mewujudkannya. Mengandalkan kekuatan maritim, didukung kekuatan TNI-AL yang solid, profesional, dan militan, kejayaan bangsa Indonesia akan kembali bersinar. Jalesveva Jayamahe. Dirgahayu Ke-78 TNI-AL tahun 2023. (*)


*) HISNINDARSYAH, Dokter TNI-AL, anggota Kelompok Ahli (Pokli) RSPAL dr Ramelan Surabaya

Urgensi Dokter Spesialis Kelautan Berbasis Kompetensi dan Kemanusiaan

Sebagai suatu negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.000 lebih pulau, yang dikelilingi oleh dua samudera, Indonesia menghadapi tantangan dari berbagai sektor di dalam dan luar negeri. Negara yang juga sejak lama masuk ke dalam jalur perdagangan internasional, tak luput dalam penerapan peraturan yang berlaku di seluruh dunia dalam hal keselamatan dan kesehatan perairan. 

Bukan itu saja, struktur geografis Indonesia berupa pulau-pulau dengan pesisir dan pantai menyebabkan pentingnya pendistribusian pelayanan kesehatan spesifik, dan bukan hanya terpusat pada perkotaan atau di rumah sakit-rumah sakit tipe C. 

Perkonsil 71 tahun 2020 tentang standar pendidikan Dokter Spesialis Kelautan (Sp.KL) tanggal 22 Januari 2020 menyatakan bahwa  untuk menghasilkan dokter spesialis yang memiliki kemampuan akademik dan profesional dalam memberikan pelayanan kedokteran kelautan diperlukan standar pendidikan profesi bagi dokter spesialis kedokteran kelautan.

Standar pendidikan Profesi Dokter Spesialis Kedokteran Kelautan telah disusun oleh Kolegium Kedokteran Kelautan berkoordinasi dengan kementerian dan pemangku kepentingan terkait serta telah diusulkan kepada Konsil Kedokteran Indonesia untuk disahkan. 

Dengan adanya perkonsil tersebut maka pendidikan spesialis  kedokteran kelautan merupakan acuan  untuk melakukan pengadaan dokter- dokter Sp.KL yang nantinya akan didistribusikan di seluruh layanan kesehatan baik sekunder dan primer agar akses masyarakat untuk mendapatkan layanan terkait penyakit yang membutuhkan spesialisasi dapat terpenuhi dan perbaikan yang signifikan dalam mutu  pelayanan kesehatan dapat terealisasi

Pendirian institusi pendidikan kedokteran yang membuka program studi spesialisasi  khusus yang menitikberatkan kurikulumnya pada  kemampuan dokter di bidang kemaritiman  secara individu dan mandiri dengan fokus utama pada pelayanan dan pengabdian  masyarakat oleh karenanya menjadi keniscayaan.

Dalam sistem pembelajarannya, para calon dokter spesialis kedokteran kelautan  tidak hanya menghafal teori namun menjadikan ilmu tersebut sebagai dasar pemahaman untuk menindaklanjuti permasalahan secara komprehensif. Para calon dokter spesialis tersebut juga harus memiliki inisiatif untuk mengambil  keputusan yang tepat dalam waktu singkat, karena cukup banyaknya kasus kedaruratan dalam bidang maritim

Secara garis besar, desain kurikulum pendidikan spesialisasi kedokteran kelautan merupakan suatu kombinasi dari konstruksi, kolaborasi dan konsolidasi teoritis dengan fakta yang ada di lapangan. Kombinasi keilmuan tersebut kemudian diterapkan dalam pemahaman individu dan dikembangkan dalam praktek keseharian untuk melihat realitas dinamika permasalahan kesehatan di masyarakat terutama di pesisir pantai, kepulauan juga pada  pelayaran interinsuler, termasuk kesehatan penyelaman dan hiperbarik. Hal ini dapat menjadi sumber penelitian dan pengembangan yang mumpuni, terintegrasi dan tersinkronisasi dalam ilmu kedokteran komprehensif kemaritiman sebagai evidence base medicine. 

Sebagai contoh,  calon dokter spesialis kelautan yang  mendalami ilmu penyelaman dan  hiperbarik akan  memahami bahwa dalam kondisi hiperbarik (tekanan di atas normal), zat gas dapat  melarut lebih cepat  ke dalam cairan sesuai dengan hukum Henry. Hal ini tentu akan menguntungkan dunia kesehatan karena penyebab utama kondisi sakit pada tubuh manusia adalah kondisi hipoksia sel dan jaringan yang disebabkan oleh rusaknya pembuluh darah yang menghambat distribusi oksigen. 

Bila ilmu penyelaman dan hiperbarik ini didalami dan diaplikasikan secara kolaboratif dengan bidang kesehatan lain (interdisciplinary) maka akan tercipta inovasi baru  dunia kesehatan dalam penanganan kondisi sakit dan penyakit yang selama ini belum terselesaikan secara utuh

Memang, akan selalu ada  rasa egosentris  dan heroisme demi mendapatkan pengakuan secara individu maupun kelompok. Namun demikian, hal tersebut tidak harus menjadi hambatan bagi para dokter bilamana tujuan utamanya adalah menyelamatkan manusia dan kemanusiaan, sebagaimana yang disebutkan di dalam sumpah Hippocrates yang menjadi janji para dokter.

Selanjutnya, seorang dokter senior yang menjadi pendidik dapat menerapkan sistem scaffolding kepada sejawat pembelajar, yaitu memberikan tumpuan langkah demi langkah sampai tercipta pemahaman yang mendalam atas sebuah teori dan permasalahan serta solusi yang mumpuni dari para pembelajar itu sendiri. Sistem ini secara filosofis diterapkan oleh Socrates, bapak filsuf Yunani yang senantiasa menanamkan pernyataan pada diri dan kelompok belajarnya: “I know that I know nothing”. Semakin pembelajar mempelajari sesuatu, semakin mereka memahami bahwa apa yang sebelumnya diketahui tidak seberapa sehingga mereka akan selalu belajar dari segala hal.