Archives 2024

Hukum dan Etika dalam Penanganan Kesehatan Pelayaran: Tantangan di Laut

Kapal dagang menghabiskan waktu yang lama di laut lepas dan hanya memiliki waktu yang sangat terbatas di pelabuhan. Kapal dengan jumlah penumpang kurang dari 100 orang tidak diharuskan memiliki dokter di atas kapal. Ketika terjadi kejadian medis di atas kapal, petugas yang bertugas di Sickbay harus memastikan tindakan segera diambil. Menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), perlindungan kesehatan dan akses ke perawatan medis harus dijamin bagi pelaut dengan cara yang sama seperti bagi orang yang bekerja di darat. Pemilik kapal terutama bertanggung jawab atas keselamatan dan kesehatan semua pelaut di atas kapal, meskipun tanggung jawab sehari-hari umumnya terletak pada kapten, yang harus mematuhi prosedur pelaporan pemilik kapal.

Selama pelayaran, Kapten bertanggung jawab atas keselamatan, kesejahteraan, dan jalannya kapal dan awaknya. Kapten telah dilatih dengan cermat selama bertahun-tahun tentang penanganan dan pengelolaan kapal. Namun, ada tanggung jawab tambahan untuk memberikan bantuan medis jika terjadi penyakit atau kecelakaan di atas kapal. Pada tahun 1992, Masyarakat Ekonomi Eropa mengeluarkan Direktif 92/29/EEC tentang persyaratan keselamatan dan kesehatan minimum untuk perawatan medis yang lebih baik di atas kapal. Menurut Direktif ini, tanggung jawab untuk mengelola persediaan medis di atas kapal harus mematuhi peraturan dan dipantau secara rutin. Pelatihan medis untuk Kapten harus cukup untuk memastikan bahwa kapten atau perwira yang bertanggung jawab dapat memahami sifat kejadian medis, mengambil keputusan tentang langkah selanjutnya, dan mengetahui persediaan medis di atas kapal untuk memberikan dukungan yang cepat.

Pentingnya perawatan medis untuk pelaut lebih ditekankan oleh Organisasi Maritim Internasional (IMO) pada tahun 2000. Organisasi sistem bantuan medis di laut sangat penting untuk meringankan isolasi korban (orang sakit atau cedera di atas kapal), untuk menghindari, sejauh mungkin, kebutuhan untuk evakuasi dan untuk membantu Pusat Koordinasi Penyelamatan (RCC), yang sering kali menjadi titik kontak pertama dengan kapten yang mengalami kesulitan. Dalam skenario telemedicine maritim kolaboratif, kapten dapat dianggap sebagai perpanjangan tangan dokter di atas kapal. Yang terakhir akan berhubungan dengan kapal melalui sistem telekomunikasi dan harus mengarahkan bantuan medis dari lokasi terpencilnya. Setiap orang memiliki hak untuk mengakses perawatan kesehatan dan tunjangan dalam situasi kesehatan yang tidak menentu. Hak kesetaraan berarti bahwa warga negara dari semua negara dapat mengakses layanan kesehatan dalam kondisi apa pun mereka berada.

Telemedicine merupakan inovasi yang luar biasa dan sangat berguna ketika fasilitas medis yang tersedia terbatas. Bagi pelaut, telemedicine dapat dianggap sebagai “obat masa depan”, yang memungkinkan mereka menerima perawatan dari bagian mana pun di laut. Dengan semakin diterimanya dan diadopsinya Telemedicine, seseorang harus mampu membayangkan dan menyelesaikan potensi masalah karena perawatan medis yang relatif baru ini. Tujuan dari karya ini adalah untuk mengevaluasi implementasi berbasis telemedicine sebagai langkah-langkah teknis yang dapat meningkatkan akses ke layanan kesehatan bagi pelaut saat bertugas aktif. Penanganan kesehatan pelayaran adalah area yang sangat penting dan kompleks, terutama karena kapal sering berada di luar jangkauan layanan kesehatan konvensional. Di sini, hukum dan etika memainkan peranan kunci dalam memastikan keselamatan dan kesejahteraan kru serta penumpang. Mari kita lihat beberapa tantangan utama dan prinsip yang terlibat.

1. Hukum Kesehatan Pelayaran

a. Regulasi Internasional

  • Konvensi Internasional tentang Kesehatan Pelayaran (International Maritime Health Convention): Ini adalah aturan internasional yang menetapkan standar untuk kesehatan pelayaran, termasuk pengelolaan wabah penyakit menular dan fasilitas kesehatan di kapal.
  • Konvensi Internasional tentang Kesehatan dan Keselamatan Kerja (International Labour Organization, ILO): Menyediakan pedoman untuk kesehatan dan keselamatan kerja di kapal, termasuk hak dan perlindungan pekerja.

b. Peraturan Negara

  • Undang-Undang dan Peraturan Nasional: Negara-negara mungkin memiliki peraturan khusus tentang kesehatan pelayaran, termasuk persyaratan untuk pemeriksaan kesehatan sebelum keberangkatan, perawatan medis di kapal, dan penanganan situasi darurat.

c. Prosedur Kesehatan Kapal

  • Dokumen Kesehatan: Kapal biasanya harus menyimpan catatan kesehatan, termasuk vaksinasi dan riwayat penyakit.
  • Pemeriksaan Medis: Sebelum berlayar, kru dan penumpang sering kali harus menjalani pemeriksaan medis dan memastikan vaksinasi lengkap.

2. Etika dalam Penanganan Kesehatan Pelayaran

a. Hak dan Kewajiban

  • Kesehatan dan Keselamatan: Etika menuntut bahwa pemilik kapal dan operator harus memastikan bahwa semua standar kesehatan dan keselamatan dipatuhi dan bahwa kru serta penumpang mendapatkan perawatan yang memadai jika mereka sakit.
  • Akses ke Perawatan Medis: Dalam situasi darurat, kapal harus mampu memberikan perawatan medis darurat yang sesuai. Ini juga termasuk situasi di mana kapal harus berlayar ke pelabuhan terdekat jika diperlukan.

3. Tantangan di Laut

a. Keterbatasan Akses

  • Fasilitas Medis Terbatas: Kapal mungkin tidak memiliki fasilitas medis yang memadai, sehingga dokter kapal harus membuat keputusan berdasarkan keterbatasan yang ada.

b. Isolasi dan Karantina

  • Penanganan Kasus Infeksi: Menangani kasus infeksi atau penyakit menular di kapal memerlukan pendekatan yang hati-hati untuk menghindari penyebaran, yang bisa memengaruhi seluruh kapal.

c. Keputusan dalam Keadaan Darurat

  • Tindakan Darurat: Dalam situasi darurat, keputusan harus diambil dengan cepat, sering kali dengan informasi medis yang terbatas, dan harus mengutamakan keselamatan.

Penanganan kesehatan pelayaran melibatkan perpaduan antara kepatuhan hukum dan praktik etis untuk melindungi kesehatan semua pihak yang terlibat. Dengan memahami dan menerapkan prinsip-prinsip ini, tantangan di laut dapat dikelola dengan lebih baik, dan risiko kesehatan dapat diminimalisir.

Kesimpulan

Telemedicine menghadirkan solusi unik bagi pelaut yang mencari bantuan medis di atas kapal. Kapten harus diberi wewenang dan didorong untuk menghubungi TMAS yang berkualitas untuk memberikan perawatan yang berkualitas. Dasar pengambilan keputusan medis bukanlah penghindaran risiko, tetapi penilaian yang bijaksana atas manfaat, beban, dan kerugian, dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip etika lainnya seperti penghormatan terhadap otonomi dan keadilan.

Daftar Pustaka

C. LeRouge et al. (2012). Telemedicine: technology mediated service relationship, encounter, or something else?. International Journal of Medical Informatics. Volume 81, Issue 9, September 2012, Pages 622-636.

G. Ricci et al. (2014) Medical assistance at the sea: legal and medico-legal problems. Int. Marit. Health.

G. Ricci et al. (2017). Ethical challenges to medical assistance at sea. Marine Policy. Volume 81, July 2017, Pages 247-249.

International Labour Organization (ILO). (1958). Medical Advice at Sea Recommendation No. 106. Geneva.

L.C. Zandbelt et al. (2016). E-consulting in a medical specialist setting: medicine of the future?. Patient Education and Counseling. Volume 99, Issue 5, May 2016, Pages 689-705. R.H. Ter Meulen (2005). The ethical basis of the precautionary principle in health care decision making/Toxicol. Appl. Pharmacol,

Program Pendidikan Dokter Spesialis Kedokteran Kelautan
Universitas Hang Tuah

DECOMPRESSION ILLNESS

Menyelam/ SCUBA Diving merupakan rekreasi populer yang diikuti oleh jutaan wisatawan di seluruh dunia. Salah satu risiko gangguan kesehatan yang dapat terjadi pada saat penyelam naik ke permukaan adalah Penyakit Dekompresi/ Decompression Illness. Ada beberapa istilah yang digunakan untuk Decompression Illness: Decompression Sickness, Bends, Compressed air illness, Caisson disease, Divers Palsy, Aeroembolism, Dysbarism.

DEFINISI:

Decompression Illness (DCI) adalah Penyakit/ kelainan yang disebabkan lepas dan mengembangnya gelembung gas (terutama Nitrogen) dari fase larut dalam darah atau jaringan akibat penurunan tekanan di sekitarnya.

II. PEMBAHASAN

ETIOLOGI AND PATHOFISIOLOGI
Berdasarkan Hukum Henry :

  • Jika tekanan gas diatas suatu larutan meningkat, jumlah gas yang terlarut di dalam larutan tersebut akan meningkat
  • Sebaliknya, jika tekanan di atas larutan tsb menurun,  jumlah gas yang terlarut di dalam larutan tsb menurun dan membentuk gelembung gas (bubble) di dalam larutan

Ketika seorang penyelam menghirup udara dari peralatan scuba di kedalaman, Nitrogen dihirup dengan tekanan parsial yang meningkat. Karena gas berdifusi dari area konsentrasi tinggi (tekanan parsial tinggi) ke area konsentrasi rendah, Nitrogen diambil dari paru oleh darah dan diangkut di sekitar tubuh dan masuk ke jaringan. Semakin dalam menyelam, semakin besar tekanan parsial Nitrogen, sehingga jumlah Nitrogen yang diserap ke dalam jaringan semakin besar. Kecepatan Nitrogen yang didistribusikan ke jaringan tergantung pada aliran darah di jaringan tersebut. Jaringan dengan kebutuhan metabolik tinggi seperti otak, jantung, ginjal dan hati menerima sebagian besar darah yang dipompa dari jantung. Jaringan tersebut juga akan menerima sebagian besar Nitrogen yang terbawa dalam darah dan akan memiliki serapan Nitrogen yang cepat. Jaringan seperti ini disebut “jaringan cepat” karena serapan Nitrogen mereka yang cepat. Nitrogen di eliminasi secara sebaliknya dari proses penyerapan di jaringan.

Ketika penyelam naik ke permukaan, tekanan lingkungan menurun, juga terdapat penurunan tekanan parsial Nitrogen di udara. Saat penyelam bernapas, memungkinkan darah melepaskan Nitrogen ke paru-paru. Penurunan kadar Nitrogen darah menyebabkan Nitrogen menyebar ke dalam darah dari jaringan. Jaringan cepat secara alami melepaskan Nitrogen lebih cepat daripada jaringan yang lebih lambat (otot, sendi, tulang).

Manifestasi klinis diakibatkan oleh tekanan lingkungan yang menurun pada saat penyelam naik ke permukaan. Penurunan tekanan lingkungan ini menyebabkan gas inert (terutama Nitrogen) terlarut dalam jaringan keluar dari bentuk larutnya dan memasuki fase gas. Akibatnya terjadi pembentukan gelembung gas di jaringan, di arteri dan darah vena. Gelembung Nitrogen dapat mengecil dengan sendirinya karena gas di dalamnya berdifusi kembali ke dalam darah, gelembung di dalam Vena kembali ke jantung kanan kemudian mengikuti sirkulasi kembali ke paru-paru, di filter di kapiler paru dan dapat dikeluarkan melalui ekshalasi. Kapiler paru merupakan filter yang sangat efektif. 

Jika penyelam naik ke permukaan terlalu cepat, jumlah dan volume Gelembung Nitrogen yang terbentuk melebihi kapasitas penyaringan kapiler paru. Sebagian gelembung Nitrogen dari vena tidak tersaring, melewati kapiler memasuki sirkulasi arteri. Gelembung Nitrogen pada vena dapat juga memasuki sirkulasi arteri melalui celah pada “Patent Foramen Ovale (PFO)”. Gelembung Nitrogen dapat menekan dan merusak jaringan, menimbulkan sumbatan dan kerusakan pembuluh darah, merangsang reaksi radang dan perubahan biokimia didalam darah. Lokasi, jumlah dan ukuran gelembung menentukan tipe dan tingkat keparahan gejala yang timbul.

Beberapa Hukum fisika yang berhubungan dengan Penyelaman dan Decompression Illness:

Hukum Boyle : Volume gas berbanding terbalik dengan tekanan pada suhu tetap

Hukum Dalton :Tekanan gas dalam suatu campuran sama dengan jumlah tekanan masing-masing gas dalam campuran tersebut

Hukum Charles : Pada volume tetap, temperatur gas berbanding lurus dengan tekanannya

MANIFESTASI DAN GEJALA KLINIS

Gejala biasanya muncul segera setelah penyelam naik ke permukaan permukaan hingga 48 jam sesudahnya. Bepergian ke dataran tinggi (lebih dari 300 meter), mendaki gunung ataupun terbang dengan pesawat komersial setelah menyelam dapat menyebabkan gelembung Nitrogen  berkembang karena tekanan lingkungan lebih rendah dari tekanan di permukaan laut. Ada 3 Type Decompression Illness:

  • Type I (Pain Only)
    – Nyeri sendi, yang memburuk dengan gerakan dan biasanya melibatkan siku dan bahu, rasa tebal dan kesemutan
    – Rasa lelah (fatigue)
    – Obstruksi limfatik yang dapat menyebabkan pembengkakan lokal Ruam, Kulit kemerahan (cutis marmorata), gatal, atau gelembung di bawah kulit
  • Type II
    Cardiopulmonary : Nyeri dada, batuk, Sesak nafas,
    Spinal : Kelumpuhan, Gangguan sensorik, gangguan BAB/ BAK
    Vestibular : Gangguan pendengaran, gangguan keseimbangan,
  • Type III
    – Cerebral Arterial Gas Embolism (CAGE)
    – Disorientasi, penurunan kesadaran, Nyeri kepala berat, gangguan Visual, gangguan bicara, ataksia, mual, muntah, kejang

Pertolongan Pertama:

  • Oksigen 100%, recovery position/ posisi pemulihan, membuat pasien merasa nyaman
  • Rehidrasi (cairan melalui mulut hanya diberikan kepada orang yang sepenuhnya sadar)
  • terapi simptomatis, misalnya mengurangi nyeri dengan memberikan NSAID
  • tanyakan informasi tentang riwayat penyelaman dalam 48 jam terakhir
  • pantau tanda-tanda vital, lakukan pemeriksaan neurologis lapangan jika memungkinkan
  • Kontak dengan konsultan / Dokter Hiperbarik dan rujuk ke Hiperbarik terdekat.

Jika menggunakan pesawat, penerbangan harus tidak lebih dari 1000 feet (305 meter). Lebih baik dengan jalur darat, perahu/ boat

Terapi Utama :

  • Terapi Oksigen Hiperbarik/ Hyperbaric Oxygen Therapy (HBOT)

HYPERBARIC OXYGEN THERAPY (HBOT)

Pengobatan yang menggabungkan menghirup Oksigen 100% dengan memberikan tekanan lebih dari 1 atmosfir absolute (1 ATA) didalam Hyperbaric chamber (RUBT). Tekanan yang diberikan harus sistemik, dan dapat dilakukan di dalam monoplace chamber (untuk 1 pasien) ataupun  multiplace chamber, Paseien bernafas melalui masker ataupun orotracheal tube.

Indikasi HBOT yang direkomendasikan oleh Undersea & Hyperbaric Medical Society (UHMS)

  1. Intoksikasi CO
  2. Decompression Illness
  3. Emboli Gas/ Udara
  4. Insuffisiensi Arteri Perifer Akut
  5. Acute Traumatic Peripheral Ischemia
  6. Crush Injury, Compartment Syndrome
  7. Skin Grafts / Skin Flaps
  8. Exceptional Blood Loss Anemia
  9. Osteoradionekrosis
  10. Soft Tissue Radionecrosis
  11. Necrotizing Soft Tissue Infections
  12. Gas Gangren
  13. Osteomyelitis Kronis
  14. Actinomycosis
  15. Ulkus diabetic/ Diabetic Foot
  16. Retinal Artery Occlusion

DASAR-DASAR TERAPI HBOT

  • Memperkecil volume gelembung gas, mempercepat resolusi gelembung gas, terutama pada Decompression Illness dan Emboli Gas/ Udara
  • Daerah iskemik/hipoksia akan menerima O2 optimal
  • Dalam jangka panjang meningkatkan pembentukan pembuluh kapiler baru di daerah hipoksia
  • Menekan pertumbuhan kuman, terutama kuman anaerob
  • Meningkatkan pembentukan fibroblas, meningkatkan daya fagositosis lekosit, membantu pembentukan jaringan kolagen
  • Di dalam darah O2 terikat dengan hemoglobin dan O2 bebas dalam plasma. Pada kondisi Hiperbarik, O2 terlarut dalam darah lebih banyak. HBOT membuat O2 bebas daalm plasma meningkat, sehingga kadar O2 dalam jaringan disekitar pembuluh darah juga meningkat. O2 mampu masuk 10-15 kali lebih jauh & lebih banyak ke dalam jaringan
  • Membantu eliminasi asam laktat

KONTRA INDIKASI

  • Absolut : Pneumothorax yang belum di terapi (Untreated Pneumothorax)
    Tekanan akan mengubahnya menjadi Tension Pneumothorax, Gangguan sirkulasi dan kolaps paru
  • Relatif
    – Riwayat pneumothorax spontan
    – Riwayat operasi thorax
    – Infeksi Saluran Pernafasan Akut
    – Emphysema dan PPOK
    – Gangguan kejang (mis: epilepsi)
    – Demam tinggi
    – Kehamilan

PENCEGAHAN DECOMPRESSION ILLNESS

  • Dive Planning, Perencanaan Penyelaman dengan baik
  • Menggunakan Tabel/ komputer penyelaman
  • Mengikuti No-Decompression Limits
  • Membatasi waktu penyelaman (Bottom times) tidak melebihi batas yang diijinkan
  • Tidak naik ke permukaan (ascent) terlalu cepat 
  • Tidak bepergian ke ketinggian/ naik pesawat segera setelah menyelam Tidak menyelam seorang diri, selalu menyelam dengan Dive buddy

PENUTUP

Decompression Illnes dapat terjadi akibat tekanan lingkungan yang menurun terlalu cepat pada saat penyelam naik ke permukaan. Penurunan tekanan lingkungan ini menyebabkan gas inert terlarut dalam jaringan keluar dari bentuk larutnya dan memasuki fase gas. Akibatnya terjadi pembentukan gelembung gas di jaringan, di arteri dan darah vena. Jika penyelam naik ke permukaan terlalu cepat, Nitrogen yang diserap oleh tubuh penyelam saat menyelam dapat keluar dari solusi & membentuk gelembung di cairan dan jaringan tubuh. Gejala biasanya muncul segera setelah penyelam naik ke permukaan permukaan hingga 48 jam sesudahnya.

Ada 3 Type Decompression Illness: Type 1 (Pain Only), Type 2 (Cardiopulmonary, Gangguan Susunan Saraf Pusat, Spinal, Vestibular) dan Type 3 (Cerebral Arterial Gas Embolism).

Pertolongan pertama dilakukan dengan Pemberian Oksigen 100%, rehidrasi dan pengobatan simptomatis. Pengobatan utamanya adalah Terapi Oksigen Hiperbarik/ Hyperbaric Oxygen Therapy (HBOT). Terapi Oksigen Hiperbarik pada Decompression Illness bermanfaat untuk memperkecil volume gelembung gas, mempercepat resolusi gelembung gas dan Oksigenasi jaringan iskemik/hipoksia.

Upaya Pencegahan Decompression Illness dapat dilakukan dengan perencanaan penyelaman dengan baik, menggunakan tabel/ komputer penyelaman, tidak naik ke permukaan (ascent) terlalu cepat, membatasi waktu penyelaman tidak melebihi batas yang diijinkan, serta tidak bepergian ke ketinggian/ naik pesawat segera setelah menyelam

DAFTAR PUSTAKA

Edmonds C, et al., Diving and Subaquatic Medicine, CRC Press, 2015

Mitchell SJ, Bennett MH, Consensus Guideline Pre-hospital Management of Decompression Illness: expert review of key principles and controversies, Diving and Hyperbaric Medicine Volume 48 No. 1 March 2018 45

Edmonds C, Diving Medicine for Scuba Divers, 2013

Joiner, J.T. (ed.). 2001. NOAA Diving Manual – Diving for Science and Technology, Fourth Edition. Best Publishing Company, Flagstaff, AZ.

Lippmann J, Decompression Illness: a Simple Guide and Practical Advice on the Recognition, Management and Prevention of DCI, J.L. Publications, 2011

Pollock, N.W, Buteau D, Updates in Decompression Illness, Emergency Med Clin North Am, 2017 Vann RD, et al., Decompression Illness, www.thelancet.com, Vol. 377, 2011

Etika Kedokteran Kelautan: Tanggung Jawab Profesional di Kawasan Pesisir dan Pariwisata

Kehadiran manusia di area Kawasan pesisir dan pariwisata sering kali menimbulkan tantangan etis, khususnya dalam konteks Kedokteran Kelautan. Berbagai kegiatan yang dilakukan di kawasan pesisir yang merupakan lokasi yang kaya akan keanekaragaman hayati terkadang menimbulkan efek yang kurang menguntungkan bagi kesehatan manusia maupun lingkungan. Etika Kedokteran Kelautan mencakup tanggung jawab profesional dalam menangani kesehatan individu dan lingkungan di daerah pesisir. Artikel ini akan mengeksplorasi aspek-aspek utama dari Etika Kedokteran Kelautan dan bagaimana tanggung jawab profesional diterapkan pada kawasan pesisir dan pariwisata.

1. Konteks Etika Kedokteran Kelautan

Etika Kedokteran Kelautan berpegang kepada prinsip-prinsip moral dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh Dokter Spesialis Kelautan yang bekerja dalam lingkungan kelautan, termasuk wilayah pesisir dan pariwisata. Etika kedokteran kelautan mencakup berbagai aspek, mulai dari perlindungan kesehatan manusia hingga pelestarian lingkungan laut. Fokus utamanya adalah bagaimana Dokter Spesialis Kelautan dapat berkontribusi secara etis terhadap kesejahteraan individu dan lingkungan yang mereka layani.

2. Tanggung Jawab Profesional dalam Penanganan Kasus Kesehatan di Kawasan Pesisir

Dokter Spesialis Kelautan di kawasan pesisir harus menangani berbagai masalah kesehatan yang unik bagi area tersebut, termasuk penyakit terkait air, infeksi zoonosis, dan dampak kesehatan dari pencemaran lingkungan. Beberapa tanggung jawab Dokter Spesialis Kelautan di Kawasan pesisir dan pariwisata antara lain:

  • Pemantauan Kesehatan Lingkungan:
    Dokter Spesialis Kelautan perlu memantau dan memastikan bahwa lingkungan pesisir dan pariwisata tidak terkontaminasi oleh bahan kimia berbahaya atau limbah yang dapat mengganggu kesehatan masyarakat dan merusak lingkungan beserta ekosistem tempat hidup beragam biota laut yang ada di dalamnya.
  • Edukasi Masyarakat:
    Memberikan informasi dan berbagai penyuluhan kepada penduduk lokal dan pengunjung kawasan pariwisata tentang risiko kesehatan yang mungkin terjadi dan cara-cara melindungi diri dari penyakit yang terkait dengan lingkungan pesisir.
  • Penanganan Kasus Rutin dan Kasus Darurat:
    Dalam kondisi sehari-hari, Dokter Spesialis Kelautan diharapkan dapat menangani berbagai masalah kesehatan yang terjadi berkaitan dengan lingkungan pesisir dan kegiatan pariwisata. Dalam situasi bencana alam atau kecelakaan maritim, Dokter Spesialis Kelautan harus siap untuk memberikan perawatan darurat dan mengelola krisis kesehatan.

3. Etika dalam Praktik Kedokteran di Destinasi Pariwisata

Kegiatan pariwisata dapat menyebabkan perubahan besar dalam ekosistem pesisir dan membawa risiko kesehatan baru. Etika kedokteran kelautan juga melibatkan tanggung jawab khusus di kawasan pariwisata. Aspek-aspek etis yang harus dipertimbangkan:

  • Kesehatan Pengunjung:
    Dokter Spesialis Kelautan perlu memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah kesehatan yang mungkin dihadapi wisatawan, seperti penyakit tropis atau reaksi alergi terhadap flora dan fauna lokal.
  • Pelayanan Kesehatan yang Berkelanjutan:
    Ketersediaan layanan kesehatan yang tidak hanya memenuhi kebutuhan pada kondisi darurat saja, tetapi juga mendukung keberlanjutan lingkungan.
  • Keberagaman Budaya:
    Dokter Spesialis Kelautan perlu memahami dan menghormati kepercayaan lokal serta praktik kesehatan tradisional dalam pelayanan medis. Dokter Spesialis Kelautan perlu mengupayakan pendekatan serta menjalin kerja sama dengan tokoh mayarakat setempat untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan menjaga kelestarian lingkungan pesisir dalam menunjang kegiatan pariwisata.

4. Penegakan Etika dalam Penelitian Kedokteran Kelautan

Dalam pelaksanaannya, penelitian kedokteran kelautan sering kali melibatkan studi tentang dampak kesehatan dari faktor-faktor lingkungan dan interaksi manusia dengan ekosistem laut. Etika penelitian mencakup:

  • Persetujuan Informasi:
    Sebelum memutuskan untuk menjadi peserta dalam penelitian, Dokter Spesialis Kelautan perlu memastikan bahwa partisipan penelitian memberikan persetujuan yang diinformasikan dengan jelas mengenai risiko dan manfaat penelitian.
  • Keseimbangan antara Penelitian dan Konservasi:
    Dokter Spesialis Kelautan harus menghindari penelitian yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan atau mengganggu ekosistem laut.
  • Transparansi dan Publikasi:
    Dokter Spesialis Kelautan perlu memastikan bahwa hasil penelitian dipublikasikan secara transparan untuk kepentingan umum dan masyarakat.

5. Studi Kasus dan Praktik Terbaik

Beberapa studi kasus yang relevan dapat memberikan wawasan tentang bagaimana etika kedokteran kelautan diterapkan dalam praktik nyata:

  • Studi Kasus Pencemaran Laut di Kawasan Pesisir:
    Mengamati bagaimana dampak kesehatan dari pencemaran limbah industri di kawasan pesisir dan pariwisata serta respons masyarakat sekitar  terhadap krisis tersebut.
  • Penanganan Penyakit Menular di Destinasi Pariwisata:
    Kasus-kasus penyakit menular yang melibatkan pengunjung dan wisatawan yang datang ke kawasan pesisir dan bagaimana penanganan etis dilakukan.
  • Konservasi dan Kesehatan Masyarakat di Kawasan Pesisir:
    Proyek-proyek yang menggabungkan upaya konservasi lingkungan dengan program kesehatan masyarakat.

6. Tantangan dan Solusi

Tantangan utama dalam etika kedokteran kelautan termasuk:

  • Ketidaksesuaian Sumber Daya:
    Masalah kesehatan di kawasan pesisir semakin meningkat dan beragam, sedangkan sumber daya untuk menanganinya masih terbatas.
  • Konflik Kepentingan:
    Kepentingan ekonomi dari industri pariwisata yang mungkin bertentangan dengan kesehatan lingkungan dan masyarakat.
  • Kepatuhan terhadap Regulasi:
    Kesulitan dalam menegakkan peraturan lingkungan dan kesehatan secara konsisten.

Solusi yang dapat diterapkan termasuk:

  • Kolaborasi Multidisipliner:
    Mengintegrasikan kerja sama antara Dokter Spesialis Kelautan, pemegang kebijakan, ilmuwan lingkungan, tokoh Masyarakat setempat dan pengelola pariwisata untuk solusi yang holistik.
  • Pendidikan dan Pelatihan:
    Melatih tenaga medis dan masyarakat tentang pentingnya etika dan tanggung jawab dalam pengelolaan Kesehatan dan pemeliharaan lingkungan yang berkelanjutan di kawasan pesisir.
  • Pengembangan Kebijakan:
    Sinergi yang mendorong pengembangan kebijakan yang mendukung kesehatan masyarakat dan konservasi lingkungan secara berkesinambungan.

7. Kesimpulan

Etika kedokteran kelautan mencakup berbagai tanggung jawab profesional yang harus dipertimbangkan dalam konteks kawasan pesisir dan pariwisata. Dengan memahami dan menerapkan prinsip-prinsip etis ini, Dokter Spesialis Kelautan dapat berkontribusi secara signifikan terhadap kesejahteraan manusia dan pelestarian lingkungan laut. Penerapan etika yang baik akan memastikan bahwa keseimbangan antara kebutuhan kesehatan manusia dan keberlanjutan ekosistem dapat terjaga dengan baik.

Daftar Referensi

  1. Davis, A., & Garbe, S. (2020). Ethics in Marine Medicine: Addressing Health and Environmental Challenges. Journal of Marine Health, 15(2), 45-62.
  2. Jones, R., & Smith, T. (2018). Coastal Health Management: Ethical Perspectives and Practical Approaches. Coastal and Marine Studies, 22(4), 87-104.
  3. Kumar, A., & Martinez, L. (2019). Marine Conservation and Public Health: An Integrated Approach. Environmental Health Perspectives, 127(5), 1012-1020.
  4. Lee, C., & Choi, S. (2021). The Role of Healthcare Professionals in Sustainable Tourism Destinations. International Journal of Tourism Research, 32(1), 77-89.
  5. Roberts, K., & Wilson, J. (2017). Ethical Considerations in Marine Environmental Research. Marine Policy, 80, 78-84.
  6. Smith, P., & Rogers, B. (2022). Handling Health Crises in Coastal Areas: A Case Study Approach. Health Policy and Planning, 37(3), 215-230.
  7. Wilson, A., & Green, M. (2023). Public Health and Coastal Ecosystem Services: Challenges and Solutions. Journal of Environmental Health, 85(6), 512-527.

Program Pendidikan Dokter Spesialis Kedokteran Kelautan
Universitas Hang Tuah

Mengulas Manfaat Hyperbaric Oxygen Therapy (HBOT) pada Pasien Post Stroke

Indonesia mengalami beban tinggi terkait penyakit stroke, yang merupakan salah satu penyebab utama kematian dan kecacatan. Menurut laporan yang diterbitkan oleh World Health Organization (WHO) dan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, diperkirakan jumlah pasien stroke di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi stroke di Indonesia mencapai sekitar 10,9 per 1.000 penduduk (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2018) serta Stroke merupakan penyebab kematian tertinggi di Indonesia, menyumbang sekitar 21,5% dari total kematian di negara ini (WHO, 2020).

Proyeksi jumlah kasus dan kematian akibat stroke bisa diperkirakan berdasarkan tren sebelumnya dimana diperkirakan jumlah pasien stroke di Indonesia pada tahun 2022-2024 dapat mencapai ratusan ribu kasus baru setiap tahunnya. Diperkirakan juga bahwa stroke akan terus menjadi penyebab kematian utama, dengan angka kematian yang dapat mencapai lebih dari 500.000 per tahun, tergantung pada peningkatan kesadaran dan akses terhadap perawatan medis.

Stroke merupakan penyebab utama kecacatan dan kematian di seluruh dunia. Intervensi medis yang cepat dan efektif sangat penting untuk meminimalkan kerusakan otak. Hyperbaric Oxygen Therapy (HBOT) telah muncul sebagai alternatif yang menjanjikan dalam rehabilitasi pasca-stroke. HBOT terbukti memiliki potensi dalam meningkatkan pemulihan neurologis, mengurangi kematian sel, dan merangsang proses regeneratif. Penelitian menunjukkan bahwa HBOT dapat meningkatkan perfusi otak dan merangsang angiogenesis serta neurogenesis. HBOT adalah terapi yang melibatkan pemberian oksigen murni di dalam ruang bertekanan tinggi. Terapi ini meningkatkan jumlah oksigen yang diserap oleh jaringan tubuh, yang dapat bermanfaat dalam kondisi hipoksia, seperti yang terjadi pada stroke (Thom et al., 2021).

HBOT memiliki beberapa manfaat klinis pada Pasien Pasca-Stroke

1. Peningkatan Pemulihan Neurologis

Studi menunjukkan bahwa HBOT dapat meningkatkan hasil neurologis pada pasien stroke. Penelitian oleh Badran et al. (2020) mengindikasikan bahwa pasien yang menerima HBOT menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam fungsi motorik dan kognitif. Studi menunjukkan bahwa pasien stroke yang menerima HBOT menunjukkan peningkatan signifikan dalam berbagai fungsi neurologis. Misalnya, penelitian oleh Badran et al. (2020) menemukan bahwa pasien yang menjalani HBOT setelah stroke iskemik menunjukkan perbaikan yang signifikan dalam skor fungsi motorik dan kognitif, dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak menerima terapi.

Penelitian lebih lanjut oleh Huang et al. (2021) juga mendukung temuan ini, menunjukkan bahwa terapi ini meningkatkan hasil neurologis secara keseluruhan. Dalam studi mereka, kelompok yang mendapatkan HBOT menunjukkan peningkatan dalam fungsi neurologis, yang diukur menggunakan Skala Rankin Modifikasi (mRS), dibandingkan dengan kelompok kontrol.

HBOT meningkatkan oksigenasi jaringan, yang sangat penting untuk meminimalkan kerusakan otak akibat iskemia. Terapi ini membantu memperbaiki perfusi otak, yang sering terganggu setelah stroke. Sebuah studi oleh Kwan et al. (2020) menunjukkan bahwa peningkatan aliran darah otak akibat HBOT berkontribusi pada perbaikan fungsi neurologis.

Selain itu, HBOT juga berperan dalam mengurangi kematian sel yang disebabkan oleh stres oksidatif. Penelitian oleh Lee et al. (2022) mengungkapkan bahwa peningkatan kadar oksigen dalam jaringan otak dapat mengurangi kerusakan akibat radikal bebas, sehingga menjaga sel-sel neuron yang masih hidup.

Dampak jangka panjang dari HBOT juga mulai diakui. Sebuah penelitian oleh Meyer et al. (2023) menunjukkan bahwa pasien yang menerima HBOT tidak hanya mengalami peningkatan fungsi neurologis dalam jangka pendek, tetapi juga menunjukkan pemulihan yang lebih baik dalam fungsi kognitif dan motorik dalam jangka panjang. Dengan demikian, HBOT tidak hanya memberikan manfaat segera, tetapi juga mendukung proses pemulihan berkelanjutan yang penting untuk pasien pasca-stroke.

2. Pengurangan Kematian Sel

HBOT berperan dalam mengurangi apoptosis (kematian sel terprogram) di area otak yang terpengaruh. Penelitian oleh Zhang et al. (2019) mengungkapkan bahwa terapi ini membantu mempertahankan neuron yang tersisa dan mencegah kerusakan lebih lanjut.

Salah satu mekanisme utama HBOT dalam mengurangi apoptosis adalah melalui peningkatan oksigenasi jaringan otak. Stroke sering menyebabkan hipoksia, yang dapat memicu jalur apoptosis melalui peningkatan kadar radikal bebas dan stres oksidatif. Penelitian oleh Zhang et al. (2019) menunjukkan bahwa peningkatan oksigen yang disediakan oleh HBOT dapat mengurangi stres oksidatif dan, dengan demikian, mengurangi aktivasi jalur apoptosis yang dipicu oleh iskemia.

HBOT berfungsi untuk memodulasi beberapa jalur apoptosis di tingkat seluler. Dalam studi oleh Lee et al. (2022), HBOT terbukti mengurangi ekspresi protein pro-apoptotik seperti Bax dan meningkatkan ekspresi protein anti-apoptotik seperti Bcl-2. Ini menunjukkan bahwa HBOT dapat membantu menciptakan keseimbangan yang lebih menguntungkan dalam regulasi kematian sel.

HBOT juga dapat meningkatkan kadar faktor pertumbuhan, seperti faktor pertumbuhan neuron (NGF) dan faktor pertumbuhan vaskular endotel (VEGF). Peningkatan faktor-faktor ini berkontribusi pada perlindungan neuron dan pengurangan apoptosis. Penelitian oleh Huang et al. (2021) menunjukkan bahwa HBOT meningkatkan kadar VEGF, yang berperan penting dalam merangsang proses penyembuhan dan regenerasi sel otak, serta mengurangi kematian sel.

Setelah stroke, respon inflamasi dapat berkontribusi pada kematian sel neuron. HBOT memiliki efek anti-inflamasi yang signifikan, yang dapat membantu mengurangi kerusakan selanjutnya. Penelitian oleh Kwan et al. (2020) menunjukkan bahwa HBOT mengurangi kadar sitokin pro-inflamasi, yang sering berkontribusi pada jalur apoptosis. Dengan menurunkan respon inflamasi, HBOT membantu melindungi neuron dari kematian lebih lanjut. HBOT juga dapat merangsang jalur perbaikan seluler, yang membantu memperbaiki jaringan yang rusak dan mengurangi kematian sel. Dalam penelitian oleh Meyer et al. (2023), peningkatan faktor pertumbuhan dan perbaikan mikrosirkulasi akibat HBOT terbukti mendorong proses regeneratif, yang pada gilirannya mengurangi tingkat apoptosis.

3. Stimulasi Proses Regeneratif

HBOT dapat merangsang proses penyembuhan, seperti angiogenesis (pembentukan pembuluh darah baru) dan neurogenesis (pembentukan neuron baru). Menurut Huang et al. (2021), peningkatan kadar faktor pertumbuhan vaskular (VEGF) di dalam jaringan otak pasca-HBOT mendukung proses ini.

Neurogenesis adalah proses pembentukan neuron baru, yang sangat penting dalam pemulihan fungsi neurologis setelah stroke. Penelitian oleh Badran et al. (2020) menunjukkan bahwa HBOT dapat merangsang neurogenesis dengan meningkatkan kadar faktor pertumbuhan seperti Brain-Derived Neurotrophic Factor (BDNF). Peningkatan BDNF berkontribusi pada pemulihan fungsi motorik dan kognitif yang lebih baik pada pasien pasca-stroke.

HBOT berperan penting dalam angiogenesis, yaitu pembentukan pembuluh darah baru, yang sangat krusial untuk memperbaiki perfusi darah di area otak yang terdampak. Sebuah studi oleh Huang et al. (2021) menunjukkan bahwa HBOT meningkatkan kadar Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), yang merupakan faktor kunci dalam proses angiogenesis. Dengan meningkatnya aliran darah, sel-sel otak dapat memperoleh oksigen dan nutrisi yang diperlukan untuk pemulihan.

Proses mikrosirkulasi yang lebih baik akibat HBOT berkontribusi pada stimulasi regeneratif. Penelitian oleh Kwan et al. (2020) mengungkapkan bahwa peningkatan perfusi darah di jaringan otak setelah HBOT tidak hanya meningkatkan oksigenasi, tetapi juga mendukung transportasi sel-sel regeneratif dan faktor pertumbuhan ke area yang membutuhkan perbaikan.

HBOT juga berfungsi untuk melindungi sel-sel yang masih hidup dari kerusakan lebih lanjut, yang mendukung proses regeneratif. Menurut Lee et al. (2022), peningkatan kadar oksigen membantu mengurangi stres oksidatif dan inflamasi, yang sering menghambat proses penyembuhan. Dengan mengurangi kerusakan, HBOT menciptakan lingkungan yang lebih mendukung untuk regenerasi sel. Dampak jangka panjang dari HBOT terlihat dalam peningkatan hasil neurologis. Penelitian oleh Meyer et al. (2023) menunjukkan bahwa pasien yang menjalani HBOT tidak hanya menunjukkan perbaikan fungsi neurologis dalam jangka pendek, tetapi juga memiliki hasil yang lebih baik dalam fungsi kognitif dan motorik dalam jangka waktu yang lebih lama. Proses regeneratif yang didorong oleh HBOT berkontribusi pada pemulihan jangka panjang pasien stroke.

Beberapa mekanisme biologis HBOT untuk dapat memulihkan kondisi pasien yang mengalami serangan stroke antara lain sebagai berikut:

1. Respon Inflamasi

HBOT dapat memodulasi respon inflamasi setelah stroke. Oksigen tinggi berkontribusi terhadap pengurangan sitokin pro-inflamasi, seperti TNF-alpha dan IL-6, yang berpotensi meredakan kerusakan jaringan (Lee et al., 2022).

Salah satu mekanisme utama HBOT dalam mengelola respon inflamasi adalah dengan mengurangi kadar sitokin pro-inflamasi. Penelitian oleh Lee et al. (2022) menunjukkan bahwa HBOT secara signifikan menurunkan kadar sitokin seperti tumor necrosis factor-alpha (TNF-α) dan interleukin-6 (IL-6) dalam serum pasien stroke. Penurunan sitokin ini membantu mengurangi reaksi inflamasi yang dapat merusak jaringan otak.

HBOT juga dapat meningkatkan aktivitas faktor anti-inflamasi dalam tubuh. Menurut Kwan et al. (2020), HBOT meningkatkan ekspresi interleukin-10 (IL-10), yang memiliki efek anti-inflamasi. Peningkatan IL-10 berkontribusi pada pengaturan respon imun dan mengurangi kerusakan jaringan akibat inflamasi berlebihan. Stres oksidatif yang dihasilkan oleh reaksi inflamasi dapat menyebabkan kerusakan lebih lanjut pada sel-sel neuron. HBOT berfungsi untuk mengurangi stres oksidatif dengan meningkatkan konsentrasi oksigen dalam jaringan, yang pada gilirannya meningkatkan sistem pertahanan antioksidan tubuh. Penelitian oleh Zhang et al. (2019) menunjukkan bahwa HBOT dapat menurunkan produksi radikal bebas dan meningkatkan aktivitas enzim antioksidan, sehingga melindungi neuron dari kerusakan akibat stres oksidatif.

HBOT dapat memperbaiki mikrosirkulasi di jaringan otak, yang sering terganggu setelah stroke. Peningkatan perfusi darah ini membantu mengurangi akumulasi sel-sel inflamasi di area yang terdampak. Dalam studi oleh Meyer et al. (2023), diperlihatkan bahwa peningkatan aliran darah akibat HBOT membantu menghilangkan sel-sel inflamasi, yang berkontribusi pada perbaikan kondisi otak secara keseluruhan. Dengan mengelola respon inflamasi, HBOT juga berkontribusi pada stimulasi proses penyembuhan. Penelitian oleh Huang et al. (2021) menunjukkan bahwa pengurangan inflamasi pasca-stroke melalui HBOT mempercepat proses regenerasi jaringan otak dan meningkatkan hasil neurologis secara keseluruhan. Ini menunjukkan bahwa pengelolaan inflamasi adalah kunci dalam pemulihan pasien pasca-stroke.

2. Stres Oksidatif dan Antioksidan

Stres oksidatif adalah salah satu penyebab utama kerusakan sel setelah stroke. HBOT membantu meningkatkan aktivitas sistem antioksidan endogen, yang mengurangi kerusakan oksidatif di jaringan otak (Meyer et al., 2023).

Setelah stroke, otak mengalami stres oksidatif yang disebabkan oleh peningkatan produksi radikal bebas. Radikal bebas ini dapat merusak lipid, protein, dan DNA, yang berkontribusi pada kematian sel dan disfungsi neurologis. Penelitian oleh Zhang et al. (2019) menunjukkan bahwa stroke dapat meningkatkan kadar malondialdehid (MDA), indikator kerusakan lipid, di jaringan otak.

HBOT meningkatkan konsentrasi oksigen dalam jaringan, yang berfungsi untuk mengurangi stres oksidatif. Penelitian oleh Lee et al. (2022) mengungkapkan bahwa pasien yang menjalani HBOT setelah stroke menunjukkan penurunan yang signifikan dalam kadar radikal bebas. Peningkatan oksigenasi ini berkontribusi pada perbaikan fungsi seluler dan mengurangi kerusakan oksidatif yang dialami oleh neuron.

HBOT juga berperan dalam meningkatkan aktivitas sistem antioksidan dalam tubuh. Menurut Kwan et al. (2020), HBOT dapat meningkatkan kadar enzim antioksidan seperti superoxide dismutase (SOD) dan glutation peroksidase (GPx) di jaringan otak. Peningkatan enzim-enzim ini membantu mengurangi jumlah radikal bebas dan melindungi sel-sel otak dari kerusakan lebih lanjut.

Dengan meningkatkan kapasitas antioksidan, HBOT membantu melindungi neuron yang masih hidup. Penelitian oleh Meyer et al. (2023) menunjukkan bahwa pengobatan dengan HBOT tidak hanya mengurangi kadar stres oksidatif, tetapi juga meningkatkan kel存ivean neuron di area yang terkena dampak stroke. Hal ini menunjukkan bahwa HBOT berkontribusi pada perlindungan seluler yang penting dalam pemulihan neurologis. HBOT tidak hanya memberikan manfaat jangka pendek, tetapi juga mendukung pemulihan jangka panjang dengan mengurangi dampak oksidatif. Sebuah studi oleh Huang et al. (2021) menemukan bahwa pasien yang menerima HBOT memiliki hasil neurologis yang lebih baik dalam jangka waktu yang lebih lama, berkat pengurangan stres oksidatif dan peningkatan kapasitas antioksidan.

3. Modifikasi Mikrosirkulasi

Perubahan dalam mikrosirkulasi dapat meningkatkan perfusi otak, memperbaiki aliran darah dan oksigenasi jaringan yang terdampak. Penelitian oleh Kwan et al. (2020) menunjukkan bahwa HBOT memperbaiki hemodinamika otak pada pasien stroke.

Setelah terjadinya stroke, area otak yang terpengaruh sering mengalami iskemia, yang mengakibatkan penurunan aliran darah dan oksigen ke jaringan. Penelitian oleh Kwan et al. (2020) menunjukkan bahwa HBOT secara signifikan meningkatkan perfusi otak dengan memperbaiki aliran darah di daerah yang terkena. Peningkatan oksigenasi ini mendukung metabolisme seluler dan membantu mengurangi kerusakan jaringan.

HBOT juga mendorong angiogenesis, yaitu pembentukan pembuluh darah baru, yang sangat penting untuk memperbaiki mikrosirkulasi. Studi oleh Huang et al. (2021) melaporkan bahwa terapi ini meningkatkan kadar faktor pertumbuhan vaskular, seperti Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), yang berperan dalam stimulasi pembentukan pembuluh darah baru. Peningkatan VEGF berkontribusi pada peningkatan pasokan darah ke jaringan otak yang terpengaruh.

Permeabilitas vaskular yang meningkat dapat menyebabkan edema cerebral dan memperburuk kondisi pasien setelah stroke. HBOT telah terbukti membantu menormalkan permeabilitas vaskular. Dalam penelitian oleh Lee et al. (2022), HBOT mengurangi kadar sitokin pro-inflamasi yang berkontribusi pada peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengurangi edema dan memfasilitasi pemulihan.

HBOT juga berperan dalam memperbaiki respons mikrosirkulasi terhadap perubahan kebutuhan oksigen. Menurut Zhang et al. (2019), terapi ini meningkatkan kemampuan pembuluh darah kecil untuk beradaptasi dengan perubahan dalam kebutuhan oksigen, yang penting untuk menjaga homeostasis jaringan otak setelah stroke. Perbaikan ini sangat penting untuk mencegah kerusakan lebih lanjut akibat iskemia.

Peningkatan mikrosirkulasi akibat HBOT tidak hanya berdampak pada pemulihan jangka pendek, tetapi juga mendukung hasil neurologis jangka panjang. Penelitian oleh Meyer et al. (2023) menunjukkan bahwa pasien yang menerima HBOT memiliki pemulihan neurologis yang lebih baik dan kualitas hidup yang lebih baik dibandingkan dengan pasien yang tidak menerima terapi. Ini menunjukkan bahwa modifikasi mikrosirkulasi melalui HBOT dapat memperbaiki prognosis pasien pasca-stroke. HBOT menunjukkan potensi yang signifikan dalam rehabilitasi pasca-stroke, baik secara klinis maupun dari perspektif biologi molekuler. Namun, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami sepenuhnya mekanisme dan efektivitas terapi ini.

Daftar Pustaka

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

World Health Organization. (2020). Global Health Estimates: Leading Causes of Death. Geneva: WHO. [Online] Available at: https://www.who.int/data/gho [Accessed 1 Oct. 2023].Badran, S.F., et al. (2020). “Hyperbaric oxygen therapy and its impact on neurological recovery in stroke patients.” Journal of Stroke Research, 12(2), pp. 89-95.

Huang, Y., et al. (2021). “The role of vascular endothelial growth factor in hyperbaric oxygen therapy for stroke recovery.” Neurobiology of Disease, 145, pp. 105-114.

Kwan, J., et al. (2020). “Effects of hyperbaric oxygen therapy on cerebral hemodynamics.” Journal of Cerebral Blood Flow & Metabolism, 40(1), pp. 153-162.

Lee, S.H., et al. (2022). “The impact of hyperbaric oxygen on inflammatory response post-stroke.” International Journal of Stroke, 17(3), pp. 223-230.

Meyer, S., et al. (2023). “Oxidative stress and antioxidant status in post-stroke patients undergoing hyperbaric oxygen therapy.” Free Radical Biology and Medicine, 174, pp. 87-98.

Thom, S.R., et al. (2021). “Hyperbaric oxygen therapy: an overview.” Medical Gas Research, 11(1), pp. 1-9. Zhang, L., et al. (2019). “Neuroprotection by hyperbaric oxygen therapy in stroke.” Experimental Neurology, 320, pp. 113-123.

Program Pendidikan Dokter Spesialis Kedokteran Kelautan
Universitas Hang Tuah