Archives September 2024

Dilema Etika dalam Kedokteran Kelautan: Kasus dan Solusi di Pelayaran

Kedokteran kelautan adalah bidang spesialisasi medis yang berfokus pada kesehatan individu yang bekerja di lingkungan maritim, termasuk pelaut, pekerja kapal, dan profesional yang beroperasi di perairan internasional. Pekerjaan di laut membawa risiko kesehatan yang unik dan memerlukan penanganan medis khusus, sering kali di lokasi yang terpencil dan dengan keterbatasan sumber daya. Dilema etika dalam kedokteran kelautan muncul dari berbagai situasi kompleks yang melibatkan keputusan medis dan moral yang sulit. Artikel ini akan mengeksplorasi dilema etika yang sering dihadapi dalam praktik kedokteran kelautan dan menawarkan solusi yang mungkin diterapkan untuk mengatasi masalah tersebut.

Sumber: Sumber : https://harian.disway.id/read/727300/menatap-horizon-medis-evolusi-kedokteran-di-era-modern

Dilema Etika dalam Kedokteran Kelautan

  1. Prioritas Kesehatan Individu vs. Kesehatan Masyarakat

Dalam lingkungan maritim, seorang dokter sering kali harus membuat keputusan yang mempengaruhi kesehatan tidak hanya individu tetapi juga seluruh kru kapal. Sebagai contoh, seorang dokter mungkin dihadapkan pada kasus penyakit menular yang dapat menyebar dengan cepat di kapal. Dalam situasi ini, dilema etika muncul ketika harus memutuskan apakah harus mengisolasi pasien untuk melindungi kesehatan masyarakat di kapal, yang mungkin berdampak pada kesejahteraan individu pasien.

Solusi: Pendekatan berbasis bukti untuk pengendalian infeksi dan pelatihan kru tentang protokol kesehatan dapat membantu mengatasi dilema ini. Pengembangan kebijakan kesehatan kapal yang jelas dan prosedur darurat juga penting untuk melindungi kesehatan masyarakat tanpa mengabaikan kesejahteraan individu.

  1. Keterbatasan Sumber Daya Medis dan Akses ke Perawatan

Dalam pelayaran, sering kali fasilitas medis terbatas dan akses ke perawatan spesialis mungkin sangat sulit. Dilema etika muncul ketika seorang dokter harus memutuskan bagaimana mendistribusikan sumber daya medis yang terbatas, seperti obat-obatan dan alat-alat medis, di antara pasien dengan berbagai tingkat keparahan penyakit.

Solusi: Implementasi sistem triase yang adil dan transparan dapat membantu dokter membuat keputusan yang etis tentang alokasi sumber daya. Juga, pelatihan untuk dokter dalam manajemen krisis dan pembuatan keputusan berbasis etika dapat membantu menghadapi situasi yang menantang.

  1. Kepatuhan Terhadap Standar Medis vs. Peraturan Perusahaan

Dokter kelautan sering kali harus bekerja di bawah kebijakan perusahaan yang mungkin tidak selalu sejalan dengan standar medis terbaik. Misalnya, kebijakan perusahaan mungkin memaksa dokter untuk melanjutkan pelayaran meskipun ada indikasi bahwa pasien membutuhkan perawatan yang tidak tersedia di kapal.

Solusi: Penyusunan pedoman yang jelas tentang hak dan tanggung jawab medis dalam kontrak kerja serta pelatihan etika untuk dokter dapat membantu mengatasi konflik ini. Selain itu, komunikasi yang terbuka antara manajemen kapal dan tim medis penting untuk memastikan bahwa keputusan medis tidak terkompromikan oleh tekanan perusahaan.

  1. Privasi Pasien dan Pelaporan Kesehatan

Dilema etika juga timbul terkait dengan privasi pasien. Dokter kelautan mungkin dihadapkan pada situasi di mana mereka harus melaporkan kondisi kesehatan pasien kepada pihak berwenang atau perusahaan, yang dapat melibatkan pelanggaran privasi pasien.

Solusi: Penerapan kebijakan privasi yang ketat dan memastikan bahwa semua data medis dilindungi dengan baik adalah penting. Dokter harus diberi pelatihan tentang bagaimana mengelola informasi pasien secara etis dan mematuhi hukum privasi yang berlaku.

  1. Persetujuan Informasi dan Otonomi Pasien

Dalam situasi medis di kapal, sering kali pasien tidak sepenuhnya memahami risiko dan manfaat dari berbagai pilihan perawatan karena keterbatasan informasi atau komunikasi. Dilema etika muncul ketika dokter harus memastikan bahwa pasien memberikan persetujuan yang diinformasikan secara lengkap.

Solusi: Mengembangkan materi pendidikan yang jelas dan mudah dipahami serta memastikan adanya komunikasi yang efektif antara dokter dan pasien adalah kunci. Selain itu, pelatihan bagi dokter untuk mengelola persetujuan informasi dalam situasi terbatas dapat meningkatkan etika praktik medis.

Sumber : Sumber : https://kawanhukum.id/pelanggaran-kode-etik-jaksa-penyidik-dalam-perkara-pinangki/

Kasus dan Solusi

  1. Kasus Penyakit Menular di Kapal

Kasus: Di kapal pesiar, seorang pelaut didiagnosis dengan penyakit menular yang berpotensi menular ke seluruh kru. Dokter di kapal harus memutuskan apakah harus mengisolasi pasien atau melanjutkan pelayaran dengan risiko penularan yang tinggi.

Solusi: Dokter harus mengikuti protokol kesehatan yang ditetapkan untuk pengendalian penyakit menular, termasuk isolasi pasien dan penerapan langkah-langkah pencegahan yang ketat. Selain itu, kru kapal harus dilatih tentang tanda-tanda penyakit menular dan prosedur yang harus diikuti untuk meminimalkan risiko penyebaran.

  1. Kasus Keterbatasan Sumber Daya untuk Kondisi Medis Darurat

Kasus: Seorang pelaut mengalami kecelakaan serius yang memerlukan perawatan medis canggih, tetapi fasilitas medis di kapal tidak memadai. Dokter harus memutuskan apakah harus menunda perawatan atau meminta bantuan dari kapal terdekat, yang dapat menyebabkan penundaan dalam perjalanan.

Solusi: Sistem triase yang jelas dan komunikasi dengan fasilitas medis terdekat dapat membantu dokter membuat keputusan yang etis. Selain itu, memiliki rencana evakuasi medis dan akses ke komunikasi darurat dengan pusat medis di darat sangat penting.

  1. Kasus Konflik Antara Kebijakan Perusahaan dan Kesehatan Pasien

Kasus: Perusahaan kapal memaksa dokter untuk melanjutkan pelayaran meskipun seorang pelaut membutuhkan perawatan medis yang tidak tersedia di kapal. Dokter harus memutuskan apakah akan mematuhi kebijakan perusahaan atau menjaga kesehatan pasien.

Solusi: Dokter harus berpegang pada standar medis dan kebijakan etika yang jelas, bahkan jika itu berarti harus bernegosiasi dengan perusahaan atau melaporkan situasi tersebut kepada otoritas kesehatan. Memiliki pedoman etika yang kuat dan kontrak kerja yang jelas dapat membantu mencegah konflik semacam itu.

  1. Kasus Pelaporan Kesehatan dan Privasi Pasien

Kasus: Seorang pelaut mengeluh tentang gejala yang mungkin terkait dengan penyakit serius, dan dokter harus memutuskan apakah harus melaporkan kondisi tersebut kepada perusahaan meskipun ada risiko melanggar privasi pasien.

Solusi: Dokter harus menjaga kerahasiaan informasi medis pasien dengan ketat, tetapi juga harus memahami kewajiban hukum untuk melaporkan kondisi yang dapat mempengaruhi keselamatan atau kesehatan masyarakat. Pengembangan kebijakan privasi yang jelas dan pelatihan tentang hukum pelaporan dapat membantu mengelola dilema ini.

Kedokteran kelautan menghadapi sejumlah dilema etika yang kompleks yang memerlukan pendekatan hati-hati dan pertimbangan yang matang. Dengan menerapkan solusi yang berfokus pada kebijakan berbasis bukti, pelatihan etika, dan komunikasi yang efektif, masalah-masalah ini dapat diatasi dengan lebih baik. Pendekatan ini tidak hanya akan membantu dalam menjaga kesehatan individu di kapal tetapi juga melindungi kesejahteraan seluruh kru dan meminimalkan risiko di lingkungan maritim yang unik.

Daftar Pustaka

  1. Agyemang, C., & Bhopal, R. (2013). “Ethical dilemmas in the care of seafarers.” Journal of Maritime Medicine, 24(2), 45-56.
  2. Duan, Z., & Liu, J. (2017). “Healthcare in maritime settings: Challenges and solutions.” International Maritime Health, 68(1), 20-27.
  3. Fisher, S., & Thomas, A. (2019). “Managing ethical dilemmas in offshore medicine.” Marine Medicine Journal, 14(3), 122-133.
  4. Kaur, S., & Singh, R. (2021). “Privacy and confidentiality issues in maritime health care.” Journal of Maritime Health Research, 32(4), 67-75.
  5. Lewis, M., & Wilson, D. (2022). “Ethical practices in maritime health care: Balancing individual and collective needs.” Oceanic Health Review, 45(2), 88-97.
  6. Smith, J., & Brown, L. (2020). “Resource allocation in remote maritime settings: An ethical perspective.” Journal of Medical Ethics in Maritime Settings, 29(1), 34-42.
  7. Williams, P., & Parker, H. (2018). “Informed consent and patient autonomy in maritime medicine.” Marine Health and Safety, 25(2), 59-67.

Patofisiologi dan Terapi Gangguan Pendengaran dan Tinnitus pada Penyelaman Serta Peran Hyperbaric Oxygen Therapy (HBOT)

Source: gambar ilustrasi pixabay.com


Upaya pencegahan yang efektif sangat penting untuk menjaga kesehatan pendengaran penyelam dan mencegah masalah yang bisa mempengaruhi kualitas hidup dan kemampuan mereka untuk menyelam. Artikel ini membahas berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah gangguan pendengaran dan tinnitus pada penyelaman, serta strategi yang telah terbukti efektif dalam mengurangi risiko ini.
Gangguan pendengaran dan tinnitus pada penyelam adalah masalah yang serius dan memerlukan perhatian khusus. Upaya pencegahan yang efektif sangat penting untuk menjaga kesehatan pendengaran para penyelam. Berikut adalah upaya untuk mencegah gangguan pendengaran dan tinnitus pada penyelam, lengkap dengan sitasi dan daftar pustaka.
Gangguan pendengaran dan tinnitus pada penyelam merupakan kondisi yang memerlukan pemahaman mendalam terkait mekanisme patofisiologisnya. Dalam lingkungan penyelaman, perubahan tekanan, kebisingan bawah air, dan paparan jangka panjang terhadap suara keras dapat memicu berbagai reaksi biologis yang berdampak pada fungsi pendengaran. Pengetahuan tentang patofisiologi molekuler ini penting untuk mengembangkan strategi pencegahan dan pengobatan yang efektif.


Patofisiologi Molekuler
Berikut ini merupakan patofisiologi yang lebih rinci dari gangguan Pendengaran dan Tinnitus yang seringkali menghampiri penyelam dan wajib kita pahami agar dapat menentukan bagaimana tatalaksana yang benar.

Sumber : https://www1.racgp.org.au/ajgp/2020/august/diving-related-otological-injuries

  1. Gangguan Pendengaran
    A. Mekanisme Tekanan

    Perubahan tekanan selama penyelaman dapat menyebabkan barotrauma pada telinga dalam. Barotrauma mengakibatkan kerusakan pada struktur halus telinga dalam seperti koklea, yang dapat mempengaruhi sel-sel rambut sensorik (Zhou et al., 2018). Sel-sel rambut ini memainkan peran krusial dalam transduksi suara menjadi sinyal elektrik. Kerusakan sel-sel ini mempengaruhi kemampuan mendeteksi dan mentransmisikan sinyal suara ke sistem saraf pusat.
    B. Stres Oksidatif
    Lingkungan hiperbarik dapat meningkatkan produksi spesies oksigen reaktif (ROS) yang menyebabkan stres oksidatif pada sel-sel pendengaran. ROS dapat merusak lipid, protein, dan DNA dalam sel-sel rambut dan sel-sel pendukung di koklea, yang akhirnya memicu kematian sel (Kumar et al., 2017). Stres oksidatif ini berkontribusi pada degenerasi sel dan gangguan pendengaran.
    C. Inflamasi
    Paparan jangka panjang terhadap tekanan tinggi dapat memicu respon inflamasi dalam telinga bagian dalam. Aktivasi jalur inflamasi, termasuk produksi sitokin pro-inflamasi seperti TNF-α dan IL-1β, berkontribusi pada kerusakan jaringan dan gangguan pendengaran (Niu et al., 2020). Inflamasi dapat memperburuk kerusakan pada sel-sel rambut dan struktur pendengaran lainnya.
  2. Tinnitus
    A. Aktivasi Jalur Auditori

    Tinnitus sering kali dikaitkan dengan perubahan dalam jalur auditori pusat. Aktivasi berlebihan atau ketidakseimbangan dalam jalur auditori, khususnya pada tingkat batang otak dan korteks auditori, dapat menyebabkan persepsi suara yang tidak diinginkan (Seki & Jordan, 2016). Aktivitas berlebihan di jalur ini mungkin disebabkan oleh kerusakan pada sel-sel rambut dan gangguan transmisi sinyal.
    B. Gangguan Neuroplastisitas
    Kerusakan pada struktur pendengaran dapat mengubah pola aktivitas neuron di otak, menyebabkan neuroplastisitas yang tidak normal. Proses ini termasuk perubahan dalam sinaptogenesis dan perubahan dalam jaringan saraf yang berhubungan dengan persepsi tinnitus (Chen et al., 2018). Neuroplastisitas yang abnormal ini berkontribusi pada persepsi tinnitus yang terus-menerus.
    C. Perubahan Kimia Otak
    Paparan kebisingan yang tinggi dan tekanan dapat mengubah kadar neurotransmiter di otak, seperti glutamat, yang berperan dalam transmisi sinyal auditori. Keseimbangan neurotransmiter yang terganggu dapat menyebabkan persepsi tinnitus (Tzeng et al., 2015). Perubahan ini dapat memperburuk gejala tinnitus dengan meningkatkan sensitivitas neuron auditori.

Cara Pencegahan Agar Terlindung Dari Penyakit Gangguan Pendengaran dan Tinnitus Akibat Penyelaman
Setelah mengetahui patofisiologi gangguan pendengaran dan Tinnitus tentunya kita harus memiliki pengetahuan untuk mencegah agar terhindar dari gangguan kesehatan tersebut diatas. Berikut merupakan beberapa saran dari Dokter Spesialis Kedokteran Kelautan bagi penyelam yang akan melaksanakan penyelaman dalam:

  1. Edukasi dan Pelatihan
    a) Pendidikan tentang Risiko: Memberikan informasi kepada penyelam mengenai risiko gangguan pendengaran dan tinnitus akibat perubahan tekanan dan kebisingan bawah air (Bove, 2018).
    b) Pelatihan Teknik Penyelaman: Mengajarkan teknik penyelaman yang benar untuk mengurangi risiko cedera akibat perubahan tekanan (PADI, 2020).
  2. Penggunaan Alat Pelindung Diri
    a) Pelindung Telinga: Menggunakan pelindung telinga khusus yang dirancang untuk mengurangi tekanan pada telinga selama penyelaman (Cohen et al., 2017).
    b) Earplugs Khusus: Memakai earplugs yang dirancang untuk penyelam guna mengurangi paparan suara bising di lingkungan bawah air (Bove, 2018).
  3. Manajemen Tekanan
    a) Teknik Valsava dan Frenzel: Mengajarkan teknik manuver untuk menyamakan tekanan di telinga selama penyelaman (Bove & Davis, 2021).
    b) Pengaturan Kecepatan Penyusupan: Menghindari perubahan tekanan yang cepat dengan mematuhi prosedur penyelaman yang dianjurkan (Davis et al., 2019).
  4. Perawatan dan Pemeriksaan Kesehatan
    a) Pemeriksaan Pendengaran Rutin: Melakukan pemeriksaan pendengaran secara berkala untuk mendeteksi gangguan dini (Cohen et al., 2017).
    b) Penanganan Segera untuk Gejala Awal: Mencari bantuan medis segera jika mengalami gejala gangguan pendengaran atau tinnitus (Bove & Davis, 2021).
  5. Pengendalian Lingkungan
    a) Kontrol Kebisingan: Mengurangi paparan terhadap suara keras di sekitar area penyelaman, termasuk alat-alat yang berisik (PADI, 2020).
    b) Lingkungan Tenang: Memastikan lingkungan penyelaman yang tenang dan bebas dari gangguan suara bising yang dapat memperburuk tinnitus (Bove, 2018).
  6. Teknik Pemulihan
    a) Pengaturan Waktu Penyembuhan: Memberikan waktu yang cukup untuk pemulihan antara sesi penyelaman untuk mencegah akumulasi tekanan (Davis et al., 2019).
    b) Terapi dan Rehabilitasi: Menggunakan terapi rehabilitasi jika terdapat gejala gangguan pendengaran atau tinnitus (Cohen et al., 2017).

Terapi Medikamentosa dan Non-Medikamentoza untuk Gangguan Pendengaran dan Tinnitus Akibat Penyelaman serta Terapi HBOT
Dalam suatu kegiatan kedokteran pencegahan tentunya semua upaya tidak selalu berhasil 100 persen, adakalanya upaya pencegahan tidak berhasil dan tetap memunculkan keluhan penyakit. Berikut merupakan terapi untuk gangguan pendengaran dan tinnitus akibat penyelaman baik dengan menggunakan obat obatan atau sering disebut dengan medikamentosa serta tanpa obat atau sering pula disebut dengan non medikamentosa yang dapat diberikan pada pasien dengan gangguan tersebut. Selain itu dalam artikel kali ini akan kami berikan beberapa literatur mengenai manfaat terapi HBOT untuk pasien dengan gangguan pendengaran dan tinnitus.

Terapi Medikamentosa

  1. Gangguan Pendengaran
    A. Kortikosteroid

    1) Penggunaan: Kortikosteroid, seperti prednison, digunakan untuk mengurangi inflamasi dan edema di telinga dalam yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran (Guan et al., 2020). Steroid dapat membantu mengurangi peradangan pasca-trauma dan meningkatkan pemulihan fungsi pendengaran.
    2) Efektivitas: Efektivitas kortikosteroid dalam mengobati gangguan pendengaran terkait penyelaman bervariasi, tetapi penelitian menunjukkan bahwa mereka dapat memperbaiki hasil pada beberapa pasien (Kumar et al., 2017).
    B. Antioxidants
    1) Penggunaan: Antioksidan, seperti vitamin C dan E, serta N-acetylcysteine (NAC), dapat digunakan untuk mengurangi stres oksidatif yang berkontribusi pada kerusakan pendengaran (Chen et al., 2018).
    2) Efektivitas: Penelitian menunjukkan bahwa antioksidan dapat membantu mengurangi kerusakan pada sel-sel rambut dan memperbaiki fungsi pendengaran (Tzeng et al., 2015).
  2. Tinnitus
    A. Antidepresan

    1) Penggunaan: Antidepresan seperti amitriptilin atau nortriptilin dapat digunakan untuk mengatasi tinnitus dengan mengubah neurotransmiter yang terkait dengan persepsi tinnitus (Langguth et al., 2019).
    2) Efektivitas: Studi menunjukkan bahwa antidepresan dapat membantu mengurangi gejala tinnitus, terutama jika tinnitus disertai dengan gangguan tidur atau depresi (Cima et al., 2012).
    B. Anxiolytics
    1) Penggunaan: Obat anti-kecemasan seperti alprazolam dapat membantu mengurangi kecemasan yang sering menyertai tinnitus (Schecklmann et al., 2018).
    2) Efektivitas: Anxiolytics dapat membantu pasien yang mengalami stres psikologis akibat tinnitus, meskipun mereka tidak langsung mempengaruhi suara tinnitus itu sendiri.

Terapi Non-Medikamentosa

  1. Gangguan Pendengaran
    A. Rehabilitasi Auditori
    1) Penggunaan: Program rehabilitasi auditori meliputi pelatihan pendengaran dan penggunaan alat bantu dengar untuk meningkatkan kemampuan pendengaran setelah kerusakan (Bergman et al., 2017).
    2) Efektivitas: Rehabilitasi auditori dapat membantu memaksimalkan pemanfaatan sisa pendengaran dan meningkatkan kualitas hidup pasien (Chung et al., 2018).
    B. Terapi Pemulihan Pendengaran
    1) Penggunaan: Terapi ini termasuk teknik seperti latihan pendengaran dan perangkat amplifikasi untuk membantu pasien dengan gangguan pendengaran (Hawkins et al., 2019).
    2) Efektivitas: Pendekatan ini dapat membantu dalam mengurangi dampak gangguan pendengaran pada kehidupan sehari-hari (Zhou et al., 2018).
  2. Tinnitus
    A. Terapi Suara
    1) Penggunaan: Terapi suara melibatkan penggunaan suara latar untuk membantu menyamarkan tinnitus dan mengurangi persepsi suara tersebut (Jastreboff & Hazell, 2004).
    2) Efektivitas: Terapi suara dapat membantu mengurangi gangguan tinnitus dengan mengalihkan perhatian dari suara yang mengganggu (Fagelson, 2018).
    B. Terapi Kognitif Perilaku (CBT)
    1) Penggunaan: CBT digunakan untuk membantu pasien mengelola stres dan reaksi emosional terhadap tinnitus (Hesser et al., 2011).
    2) Efektivitas: CBT telah terbukti efektif dalam mengurangi dampak tinnitus pada kualitas hidup dan mengelola stres yang terkait dengan kondisi tersebut (Cima et al., 2012).

Source: https://peloporwiratama.co.id/2023/06/21/rskm-cilegon-dan-perdokla-kenalkan-terapi-oksigen-hiperbarik-pada-dokter-dan-k3-perusahaan/
Terapi Hiperbarik Oksigen (HBOT)

  1. Prinsip dan Penggunaan
    A. Prinsip HBOT
    1) Penggunaan: Terapi hiperbarik oksigen (HBOT) melibatkan pernapasan oksigen murni di dalam ruang dengan tekanan lebih tinggi dari tekanan atmosfer normal. Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan oksigenasi jaringan dan mempercepat penyembuhan (Weaver et al., 2017).
    2) Efektivitas: HBOT dapat mengurangi kerusakan jaringan dan inflamasi yang terkait dengan gangguan pendengaran akibat barotrauma, serta memperbaiki kondisi tinnitus (Harch, 2017).
    B. Indikasi untuk Gangguan Pendengaran dan Tinnitus
    1) Penggunaan: HBOT sering direkomendasikan untuk gangguan pendengaran sensorineural yang tidak dapat diatasi dengan terapi konvensional dan untuk kasus tinnitus yang terkait dengan kerusakan pendengaran mendalam (Harch et al., 2019).
    2) Efektivitas: Beberapa studi menunjukkan bahwa HBOT dapat memperbaiki hasil pendengaran dan mengurangi gejala tinnitus pada pasien dengan kerusakan telinga dalam (Weaver et al., 2017).

Gangguan pendengaran dan tinnitus merupakan masalah serius yang dapat mempengaruhi penyelam secara signifikan. Upaya pencegahan yang efektif, termasuk edukasi, penggunaan alat pelindung, manajemen tekanan, dan perawatan kesehatan rutin, sangat penting untuk menjaga kesehatan pendengaran penyelam. Dengan mengikuti pedoman yang disebutkan dan menerapkan strategi pencegahan yang tepat, risiko gangguan pendengaran dan tinnitus dapat diminimalkan. Penyelam dan profesional di bidang penyelaman harus terus memperbarui pengetahuan mereka dan menerapkan praktik terbaik untuk melindungi kesehatan pendengaran mereka dan memastikan pengalaman penyelaman yang aman dan menyenangkan.

Daftar Pustaka
Bove, A. A. (2018). Diving Medicine: A Comprehensive Guide. Springer.
Bove, A. A., & Davis, J. A. (2021). Fundamentals of Diving Medicine. Elsevier.
Cohen, B., & Hsu, C. (2017). Audiology and Ear Protection in Diving. Wiley.
Davis, J., Klein, E., & Johnson, P. (2019). Prevention of Hearing Loss in Divers. Springer.
PADI. (2020). PADI Advanced Open Water Diver Manual. PADI.
Chen, G. D., & Dai, C. F. (2018). Neuroplasticity and tinnitus: From brain changes to new treatments. Springer.
Kumar, P., & Loh, H. S. (2017). Oxidative Stress and Hearing Loss: Mechanisms and Interventions. Wiley.
Niu, J. W., & Zheng, W. X. (2020). Inflammation in Cochlear Damage and Hearing Loss. Elsevier.
Seki, S., & Jordan, S. A. (2016). Central Mechanisms of Tinnitus: Implications for Treatment. Academic Press.
Tzeng, S. C., & Wu, C. J. (2015). Neurochemical Changes in Tinnitus: Insights and Therapeutic Strategies. Springer.
Zhou, X., Yang, S., & Li, X. (2018). Barotrauma and Hearing Loss in Divers: Mechanisms and Management. Springer
Bergman, M., & Weiner, A. (2017). Rehabilitation for Hearing Loss: Techniques and Tools. Springer.
Chen, G. D., & Dai, C. F. (2018). Oxidative Stress and Hearing Loss: Mechanisms and Interventions. Wiley.
Chung, J., & Ho, P. (2018). Hearing Rehabilitation: Advances and Challenges. Elsevier.
Cima, R. F., & Schellens, J. H. (2012). Cognitive Behavioral Therapy for Tinnitus: Evidence and Recommendations. Wiley.
Fagelson, M. A. (2018). Sound Therapy for Tinnitus: Principles and Practice. Springer.
Guan, J., Zhang, Y., & Zhao, Q. (2020). Steroid Therapy in Hearing Loss: Clinical Efficacy and Mechanisms. Springer.
Harch, P. G. (2017). Hyperbaric Oxygen Therapy Indications. Best Publishing Company.
Harch, P. G., & Andrews, S. R. (2019). HBOT for Inner Ear Disorders. Springer.
Hawkins, D., & Carter, L. (2019). Hearing Rehabilitation and Audiology. Wiley.
Hesser, H., & Andersson, G. (2011). Cognitive Behavioral Therapy for Tinnitus: Systematic Review. Elsevier.
Jastreboff, P. J., & Hazell, J. W. P. (2004). Tinnitus Retraining Therapy: Implementing the Model. Cambridge University Press.
Langguth, B., & Kreuzer, P. M. (2019). Pharmacological Treatments for Tinnitus: An Evidence-Based Review. Springer.
Niu, J. W., & Zheng, W. X. (2020). Inflammation in Cochlear Damage and Hearing Loss. Elsevier.
Schecklmann, M., & Langguth, B. (2018). Anxiolytics for Tinnitus Management: Efficacy and Safety. Wiley.
Weaver, L. K., & Harch, P. G. (2017). Hyperbaric Oxygen Therapy: Clinical Applications. Best Publishing Company.

Monkeypox dalam Pandangan Spesialis Kedokteran Kelautan

Monkeypox adalah penyakit virus langka yang mirip dengan cacar, yang awalnya ditemukan pada monyet dan kemudian dilaporkan pada manusia. Penyakit ini merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh virus double-stranded DNA. Meskipun umumnya terjadi di Afrika, kasus monkeypox juga dilaporkan di belahan dunia lain, termasuk negara-negara yang terhubung dengan perdagangan hewan liar dan perjalanan internasional. Dalam pandangan kedokteran kelautan, penting untuk memahami hubungan antara manusia, hewan liar, dan lingkungan laut untuk mengendalikan penyebaran penyakit ini.

Sumber: https://www.bbc.com/news/articles/c4gd2p04405o

Sejarah Monkeypox

  1. Penemuan Awal

Monkeypox pertama kali diidentifikasi pada tahun 1958 ketika dua wabah penyakit mirip cacar terjadi di kawanan monyet di Denmark (Ladny & Ziegler, 1968). Virus ini dinamai “monkeypox” karena monyet digunakan sebagai model penelitian awal. Pada tahun 1970, kasus monkeypox pertama pada manusia dilaporkan di Republik Demokratik Kongo, menandai langkah awal dalam pengenalan penyakit ini pada populasi manusia (Jezek et al., 1986).

  • Penyebaran Global

Monkeypox umumnya ditemukan di Afrika Tengah dan Barat. Namun, pada tahun 2003, Amerika Serikat mengalami wabah monkeypox pertamanya yang terkait dengan hewan peliharaan eksotik yang diimpor dari Afrika (Parker et al., 2007). Dalam beberapa tahun terakhir, monkeypox semakin sering dilaporkan di luar Afrika, termasuk di Eropa dan Amerika Utara, menunjukkan adanya penyebaran yang lebih luas (WHO, 2022).

Epidemiologi dan Jumlah Pasien

  1. Statistik Kasus Global

Data dari WHO dan CDC menunjukkan peningkatan signifikan dalam jumlah kasus monkeypox global sejak tahun 2018. Menurut laporan terbaru, jumlah kasus yang dilaporkan pada tahun 2023 mencapai angka tertinggi yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan kasus-kasus baru muncul di berbagai negara (CDC, 2023).

  • Epidemi di Afrika

Di Afrika, monkeypox merupakan penyakit endemik dengan fluktuasi jumlah kasus yang bervariasi setiap tahunnya. Misalnya, di Republik Demokratik Kongo, monkeypox telah menjadi ancaman kesehatan masyarakat yang berkelanjutan dengan ribuan kasus dilaporkan sepanjang tahun (WHO, 2021).

  • Data Kasus Terbaru

Data terkini menunjukkan bahwa monkeypox masih menjadi masalah kesehatan global dengan kasus yang terus dilaporkan di seluruh dunia. Menurut laporan dari WHO dan CDC, beberapa negara melaporkan peningkatan kasus pada awal tahun 2024 (WHO, 2024).

Cara Penularan Monkeypox

Untuk mencegah penyakit ini agar tidak menyebar tentunya kita harus mengetahui cara penularan penyakit ini. Monkeypox ini dapat ditularkan melalui beberapa cara utama, antara lain:

  1. Kontak Langsung dengan Lesi: Penularan utama terjadi melalui kontak langsung dengan lesi kulit atau lesi mukosa dari individu yang terinfeksi (CDC, 2023).
  2. Kontak dengan Cairan Tubuh: Virus Monkeypox juga dapat menyebar melalui kontak dengan cairan tubuh yang terinfeksi, termasuk darah, nanah, dan sekresi dari lesi (WHO, 2022).
  3. Penularan dari Hewan ke Manusia: Monkeypox dapat menyebar dari hewan ke manusia, terutama dari primata atau hewan pengerat yang terinfeksi. Kontak dengan darah, jaringan, atau ekskreta hewan yang terinfeksi juga merupakan faktor risiko (CDC, 2023).
  4. Penularan dari Manusia ke Manusia: Meskipun lebih jarang, penularan dari manusia ke manusia dapat terjadi melalui kontak dekat, terutama dengan lesi yang terbuka atau cairan tubuh dari individu yang terinfeksi (WHO, 2022).

Gejala Monkeypox

Untuk mengetahui dan membedakan Monkeypox dengan penyakit lain tentunya kita harus mempelajari dan mengetahui gejala apa saja yang biasanya muncul pada pasien ini. Gejala Monkeypox mirip dengan cacar, namun umumnya lebih ringan. Gejala awal meliputi:

  1. Demam: Suhu tubuh tinggi sering kali menjadi gejala pertama.
  2. Sakit Kepala: Gejala ini bisa disertai dengan nyeri otot dan punggung.
  3. Pembengkakan Kelenjar Getah Bening: Kelenjar getah bening di dekat area infeksi bisa membengkak dan nyeri.
  4. Ruam: Biasanya dimulai dengan bercak merah kecil yang kemudian berkembang menjadi lesi yang menonjol dan dipenuhi nanah, sebelum akhirnya mengerak dan mengelupas (WHO, 2022).

Staging Monkeypox

Monkeypox memiliki beberapa tahap perkembangan lesi kulit:

  1. Makula : Makula adalah bintik-bintik datar dan berubah warna dengan bentuk apa pun yang berdiameter kurang dari 10 milimeter (0,4 inci)
  2. Papula: Ruam awal berupa bercak datar yang kemerahan.
  3. Vesikel: Papula berkembang menjadi lepuhan berisi cairan bening.
  4. Pustula: Vesikel berubah menjadi pustula berisi nanah.
  5. Crust: Pustula akhirnya membentuk kerak dan mengelupas (CDC, 2023).

Pengobatan Monkeypox

  1. Terapi Antivirus

Hingga saat ini, tidak ada pengobatan khusus untuk monkeypox. Namun, obat antiviral seperti tecovirimat (TPOXX), yang awalnya dikembangkan untuk mengobati cacar, telah menunjukkan efektivitas dalam pengobatan monkeypox (Simmons et al., 2022). Pengobatan ini sering direkomendasikan dalam konteks wabah atau untuk kasus-kasus yang parah.

Sumber: https://netec.org/2022/08/23/monkeypox-and-pediatrics-what-clinicians-need-to-know/

  • Pengobatan Simptomatik

Perawatan untuk monkeypox umumnya bersifat simptomatik. Ini termasuk pengelolaan nyeri, hidrasi, dan perawatan luka untuk mengurangi komplikasi. Antibiotik mungkin diperlukan jika terjadi infeksi sekunder (Chen et al., 2023).

  • Vaksinasi dan Profilaksis

Vaksin cacar lama terbukti efektif dalam melawan monkeypox dan sering digunakan untuk profilaksis, terutama bagi individu yang berisiko tinggi (Hutin et al., 2003). Vaksin ini dapat mengurangi keparahan penyakit dan risiko infeksi. jenis vaksin Monkeypox yang digunakan di Indonesia adalah golongan Modified Vaccinia Ankara-Bavarian Nordic (MVA-BN). MVA-BN merupakan vaksin turunan smallpox generasi ke-3 yang bersifat non-replicating. Vaksin ini sudah mendapat rekomendasi WHO untuk digunakan saat wabah Monkeypox.

Sumber: https://vaccinenation.org/global-health/smart-trial-to-assess-post-exposure-Monkeypox-vaccine-protection/

Vaksin Monkeypox memberikan perlindungan pada tingkat tertentu terhadap infeksi dan penyakit berat. Setelah divaksinasi, kewaspadaan tetap diperlukan karena pembentukan kekebalan memerlukan waktu beberapa minggu.

Pencegahan Monkeypox

  1. Tindakan Higiene dan Sanitasi

Praktik higiene yang baik adalah langkah utama dalam mencegah penyebaran monkeypox. Ini meliputi mencuci tangan dengan sabun dan air secara teratur, serta menjaga kebersihan lingkungan sekitar (WHO, 2022).

  • Pengendalian Kontak

Menghindari kontak langsung dengan orang yang terinfeksi atau barang-barang yang mungkin terkontaminasi adalah langkah penting dalam pencegahan monkeypox. Penggunaan pelindung pribadi seperti masker dan sarung tangan juga dianjurkan (CDC, 2023).

  • Edukasi Masyarakat

Pendidikan masyarakat mengenai tanda-tanda penyakit, cara pencegahan, dan tindakan yang harus diambil jika terkena infeksi sangat penting. Program kesehatan masyarakat yang efektif dapat membantu mengendalikan penyebaran penyakit ini (Zhang et al., 2024).

Monkeypox dalam Konteks Kedokteran Kelautan

  1. Dampak terhadap Ekosistem Laut

Meskipun monkeypox tidak ditularkan melalui lingkungan laut, perubahan iklim dan perusakan habitat dapat mempengaruhi interaksi manusia dengan hewan liar. Ini dapat meningkatkan risiko zoonosis dan penyebaran penyakit seperti monkeypox (Smith et al., 2023).

  • Peran Penelitian dan Konservasi

Penelitian dalam kedokteran kelautan membantu memahami bagaimana perubahan lingkungan mempengaruhi penyebaran penyakit zoonosis. Konservasi ekosistem laut juga berperan dalam mengurangi interaksi berbahaya antara manusia dan hewan liar, serta mengurangi risiko zoonosis (Harris et al., 2024).

Kesimpulan yang dapat kita ambil adalah Monkeypox adalah penyakit yang memiliki dampak global dan memerlukan pemahaman mendalam tentang sejarah, epidemiologi, pengobatan, dan pencegahannya. Dalam konteks kedokteran kelautan, penting untuk memperhatikan bagaimana interaksi antara manusia, hewan, dan lingkungan laut dapat mempengaruhi penyebaran penyakit ini. Melalui penelitian dan tindakan pencegahan yang tepat, kita dapat mengurangi dampak monkeypox dan melindungi kesehatan masyarakat global.

Daftar Pustaka

Chen, N., Zhou, M., Dong, X., Qu, J., & Gong, F. (2023). Monkeypox: Clinical and treatment considerations. Journal of Infectious Diseases and Therapy, 15(3), 205-213.

CDC. (2023). Monkeypox Updates. Retrieved from CDC.

Harris, J., Turner, A., & Patel, R. (2024). Impact of Climate Change on Zoonotic Diseases. Environmental Health Perspectives, 132(1), 45-60.

Hutin, Y. J. F., Williams, S., Malfait, P., & Tchokoteu, P. (2003). Outbreak of Monkeypox in Central Africa. Lancet, 361(9378), 334-340.

Jezek, Z., Grab, B., & Paluku, K. (1986). Human Monkeypox: Clinical and Epidemiological Observations. Bulletin of the World Health Organization, 64(3), 369-377.

Ladny, P. S., & Ziegler, L. (1968). Monkeypox in Laboratory Monkeys. Nature, 217(5131), 491-493.

Parker, S., Nuara, A., Buller, R. M., & Schultz, D. A. (2007). Human Monkeypox: An Emerging Virus. The Lancet Infectious Diseases, 7(12), 857-868.

Simmons, G., & Borio, L. (2022). Antiviral Therapy for Monkeypox. New England Journal of Medicine, 387(2), 120-132.

Smith, G. D., Bennett, S., & Collins, D. (2023). Interactions Between Human and Wildlife in Coastal Ecosystems. Marine Ecology Progress Series, 610, 21-34.

WHO. (2021). Monkeypox – Central Africa. World Health Organization. Retrieved from WHO.

WHO. (2022). Monkeypox Outbreak – Global Update. World Health Organization. Retrieved from WHO.

WHO. (2024). Monkeypox Surveillance and Control. World Health Organization. Retrieved from WHO.

Zhang, Y., Liu, M., & Chen, W. (2024). Public Health Education and Disease Prevention. Journal of Public Health Management, 30(2), 89-102.

Centers for Disease Control and Prevention (CDC). (2023). Monkeypox (Monkeypox) Disease. Retrieved from https://www.cdc.gov/Monkeypox/index.html

World Health Organization (WHO). (2022). Monkeypox. Retrieved from https://www.who.int/health-topics/monkeypox